logo web

Dipublikasikan oleh Ridwan Anwar pada on .

IKAHI PA Bengkalis Kembali Gelar Diskusi Hukum

Narasumber (Dra. Hj. Nursyamsiah, MH) di dampingi oleh Waka PA Bengkalis (Dra. Burnalis, MA) sedang menyampaikan materi Diskusi Hukum

Bengkalis | www.pa-bengkalis.go.id

Melanjutkan diskusi hukum yang rutin dilakukan di PA Bengkalis, IKAHI PA Bengkalis kembali menggelar diskusi hukum pada hari Kamis, 28-03-2013 dengan mengangkat tema Bentuk Gugatan / Permohonan”. dengan penyaji makalah ibu Dra.Hj.Nursyamsiah, MH, Hakim Pengadilan Agama Bengkalis, dengan Moderator Helmi Cendra, S.Ag.

Diskusi hukum kali ini agak berbeda dengan diskusi-diskusi yang dilaksanakan sebelumnya karena biasanya hanya melibatkan hakim dan panitera pengganti namun kali ini pesertanya selain hakim juga diikuti oleh seluruh unsur kepaniteraan yang terkait mulai dari petugas penerimaan perkara (Meja I), kasir, petugas Meja II (register), jurusita pengganti, panitera pengganti bahkan pegawai dari unsur kesekretariatan dan pegawai honorer tak mau ketinggalan dalam diskusi yang diadakan di ruang kepaniteraan ini.

Berkaitan dengan persyaratan isi gugatan tidak diatur dalam HIR maupun RBg. Persyaratan mengenai isi gugatan ditemukan dalam Pasal 8 RV yang mengharuskan gugatan pada pokoknya memuat :

Identitas para pihak, yang meliputi : Nama (beserta bin/binti dan aliasnya), Umur, Agama, Pekerjaan dan Tempat tinggal. Bagi pihak yang tempat tinggalnya tidak diketahui hendaknya ditulis, “dahulu bertempat tinggal di......tetapi sekarang tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia, dan kewarganegaraan (bila perlu). Pihak-pihak yang ada sangkut pautnya dengan perkara itu harus disebut secara jelas tentang kedudukannya dalam perkara, apakah sebagai penggugat, tergugat, turut tergugat, pelawan, terlawan, pemohon atau termohon. Dalam praktik dikenal pihak yang disebut turut tergugat dimaksudkan untuk mau tunduk terhadap putusan pengadilan. Sedangkan istilah turut penggugat tidak dikenal. Untuk menentukan tergugat sepenuhnya menjadi otoritas penggugat sendiri.

Fundamentum Petendi (Posita), yaitu penjelasan tentang keadaan/peristiwa dan penjelasan yang berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar/alasan gugat. Posita memuat dua bagian: (a) alasan yang berdasarkan fakta/peristiwa hukum”, dan (b) alasan yang berdasarkan hukum, tetapi hal ini bukan merupakan keharusan. Hakimlah yang harus melengkapinya dalam putusan nantinya”.

Petitum (tuntutan), menurut Pasal 8 Nomor 3 R.Bg. ialah apa yang diminta atau yang diharapkan oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan. Petitum akan dijawab oleh majelis hakim dalam amar putusannya. Petitum harus berdasarkan hukum dan harus pula didukung oleh posita. Pada prinsipnya posita yang tidak didukung oleh petitum (tuntutan) berakibat tidak diterimanya tuntutan, pun sebaliknya petitum (tuntutan) yang tidak didukung oleh posita berakibat tuntutan penggugat ditolak.(DR.AHMAD MUJAHIDIN,MH.Pembaharuan Hukum Acara Perdata; hal 95)

A. Kedudukan Penggugat Formil

1. Penyebutan pihak dalam surat gugatan yang menggunakan kuasa harus terlebih dahulu menyebutkan Penggugat materilnya dari pada kuasanya (Penggugat formil) karena kuasa hukum tidak berkepentingan langsung secara pribadi dalam suatu surat gugatan.

2. Jika Kuasa Hukum dalam surat gugatan disebut/ditulis mendahului penggugat materil, hakim dapat menegur kuasa hukum tersebut untuk memperbaiki surat gugatannya.

3. Apabila kuasa hukum tetap tidak mau merubah, surat gugatan tetap sah dan tidak dapat dinyatakan cacat formil dengan alasan obscuur libel, akan tetapi dalam putusannya hakim harus menyesuaikan dengan ketentutan pada nomor 1 diatas.

B. Identitas Para Pihak

1. Pasal 67 huruf a undang-undang Nomor 7 tahun 1989 memang menyebutkan bahwa identitas para pihak (Pemohon/Penggugat dalam perkara perceraian) hanyamencakup tiga hal; Nama, Umur dan Tempat tinggal, akan tetapi karena ada kepentingan tertentu perlu ditambah tiga hal lagi; pendidikan, perkerjaan dan agama, sehingga selengkapnya identitas para pihak dalam surat permohonan/gugatan adalah: Nama, Umur, Agama, Pendidikan, Pekerjaan dan Tempat tinggal. Sebagian surat gugatan ditemukan penyebutan kata “alamat” sebagai pengganti tempat tinggal. Hal ini tidak tepat, karena alamat adalah istilah dalam korespondensi, bukan istilah hukum.

2. Identitas pekerjaan diperlukan untuk mengetahui tingkat kemampuan para pihak sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menetapkan beban kewajiban yang harus dipikul para pihak. Oleh karena itu dalam mnecantumkan pekerjaan para pihak harus disebut pekerjaanya yang riel dan lengkap, tidak hanya secara umum saja; seperti “wiraswasta” mesti jelas apa nama wiraswasta/usaha swastanya serta apa jabatannya dalam usaha tersebut, “PNS” perlu dicantumkan apa instansi dan jabatannya, “petani” perlu disebutkan apakah buruh tani, penggarap atau petani yang mempunyai lahan sendiri, dll.

3. Tentang identitas agama juga perlu dicantumkan, karena personalitas keislaman bagi Pengadilan Agama sangat diperlukan, sehubungan dengan kewenangan Pengadilan Agama dengan pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Agama yang bukan hanya orang-orang Islam saja, akan tetapi juga orang-orang nonmuslim, seperti dalam perkara ekonomi syari’ah.

4. Dalam masalah perceraian, berdasarkan hasil Rakernas di Semarang dan Bandung, yang dilihat adalah pada saat peristiwa hukum nikah itu dilakukan. Apabila seseorang menikah dengan cara dan dalam keadaan beragama islam, kemudian masuk agama lain, maka Pengadilan Agama berwenang mengadilinya. Sebaliknya bila dia menikah dengan cara dan dalam keadaan beragama non islam, kemudian dia masuk agama islam, maka bila ia hendak melakukan perceraian, Pengadilan Agama tidak berwenang mengadilinya.

5. Kemudian apabila alasan perceraiannya karena murtad maka bukan dijatuhkan dengan talak bain sebagaimana yang tersebut dalam buku II, akan tetapi yang benar adalah dengan menjatuhkan fasakh pernikahan tersebut.

6. Tentang pendidikan juga perlu dimuat dalam identitas surat gugatan. Hal ini diperlukan untuk kepentingan penelitian. Dasarnya adalah surat Dirjen yang sampai sekarang surat edaran tersebut belum dicabut.

C. Patokan Obscuur Libel

1. Surat gugatan dapat dianggap obscuur libel, apabila:

  1. Posita tidak menjelaskan dasar hukum dan kejadian yang mendasari gugatan atau ada dasar hukum tetapi tidak menjelaskan kerugian yang ditimbulkan, atau tidak menjelaskan fakta kejadian atau sebaliknya;
  2. Objek yang disengketakan tidak jelas, termasuk luas dan batas-batasannya, jika objek sengketanya berupa tanah;
  3. Penggabungan gugatan yang tidak dibenarkan, karena seharusnya gugatan tersebut berdiri sendiri (lihat ketentuan tentang kumulasi subyektif dan kumulasi objektif);
  4. Petitum tidak terperinci tetapi hanya berbentuk kompesitur atau ex aequo et bono (mohon keadilan);
  5. Bertentangan antara potista dengan petitum atau petitum tidak didukung posita;

2. Apabila ada dalil yang kurang jelas dalam surat gugatan jangan langsung di NO, tetapi Penggugat disuruh untuk memperbaiki/memperjelaskan dan bila ada keraguan tentang objek sengketa maka lebih baik dilakukan descente lebih awal, sehingga sebelum diperiksa pokok perkara sudah dapat di NO, agar sidang tidak sia-sia dan berlarut-larut berkepanjangan. Jadi descente lebih baik dilakukan lebih awal;

3. Dalam melakukan descente tidak boleh dikutip honor dan biaya makan, akan tetapi yang dapat dikutip adalah biaya rental mobil. Berita acara descente harus dibuat dengan jelas tentang kondisi objek sengketa di lapangan dan bila ternyata tidak sesuai dengan gugatan, maka perkara dapat di NO;

D. Error in Persona

1. Error in Persona adalah Penggugat tidak mempunyai kedudukan untuk mengajukan gugatan atau para pihak tidak jelas atau Tergugat yang ditarik tidak lengkap, dengan patokan:

  1. Diskualifikasi in person, yaitu Penggugat bukan persona standi in judicio atau bukan orang yang mempunyai hak dan kepentingan.
  2. Gemis aanhoedanig heid yaitu orang yang ditarik sebagai Tergugat tidak tepat.
  3. Plurium litis consortium yaitu orang yang ditarik sebagai Tergugat tidak lengkap, dengan demikian dalam bidang kewarisan umpamanya ahli waris harus semuanya lengkap, dan apabila ada ahli waris yang pasif, maka didudukkan sebagai turut Tergugat. Sebab dalam yurisprudensi disebutkan bahwa semua ahli waris harus lengkap.

2. Apabila ada pihak yang gila maka harus berada dalam pengampuan, meskipun terkadang sembuh dan terkadang kambuh.

E. Fakta Kejadian

Dalam membuat surat gugatan ada dua sistem yang dikenal dalam Hukum Acara Perdata, yaitu:

1. Substanstiering theorie, yakni selain harus menyebut peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus menyebut kejadian-kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum dan menjadi sebab timbulnya peristiwa hukum tersebut. Dengan demikian penggugat harus menyebut sejarah kepemilikkannya terhadap objek yang digugatnya.

2. Individualisering theorie, yakni dalam gugatan cukup menyebut peristiwa-peristiwa atau kejadian yang menunjukkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan, tanpa harus menyebut peristiwa nyata yang mendahuluinya. Jadi sejarah terjadinya peristiwa itu tidak perlu diurai, tapi dapat dikemukaan dalam persidangan.

Dari dua macam teori tersebut, seharusnya teori yang pertama yang lebih utama diterapkan, terutama dalam masalah kewarisan, yakni dijelaskan darimana perolehan harta itu didapatkan, apakah dengan jalan membeli, warisan, hadiah, hibah dan sebagainya. Hal ini tentu lebih memudahkan dalam proses pembuktian.

F. Fakta Hukum

Walaupun ada sementara praktisi hukum yang berpendapat bahwa fakta hukum tidak perlu dicantumkan dalam surat gugatan, tetapi yang lebih baik tetap dicantumkan sebagai dasar tuntutannya.

Memang pencantuman peraturan-peraturan hukum itu tidak perlu disebut secara detail pasal demi pasal, tetapi cukup secara umum. Sebagai contoh seorang istri yang mengajukan gugatannya ia cukup menyebutkan bahwa tergugat sudah melanggar Undang-undang Perkawinan atau telah melanggar taklik-talak yang diucapkannya pada saat menikah dahulu.

Fakta ialah peristiwa yang terikat ruang dan waktu serta berstruktur, jadi tidak bisa dituntut dengan uang, bila suami tidak bisa mencampuri istrinya sekian kali dalam sekian bulan. Dengan demikian tidak boleh mengabulkan gugatan 1 miliar umpamanya karena sudah 3 tahun tidak mencampuri isterinya.(BIMTEK Bagi Hakim dan,Mahasiswa dan Praktisi Hukum; Hukum Acara Peradilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama Medan Pengadilan Tinggi Agama Pekanbaru, tahun 2012; hal. 1-6);

PERMOHONAN

a. Permohonan (Volunter)

Permohonan diajukan kepada ketua pengadilan agama di tempat tinggal pemohon secara tertulis yang ditanda tangani oleh pemohon atau kuasanya yang sah (Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).

Pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan dihadapan ketua pengadilan agama, permohonan tersebut dicatat oleh ketua atau hakim yang ditunjuk (Pasal 120 HIR/Pasal 144 RBg).

Permohonan didaftarkan dalam buku register dan diberi nomor perkara setelah pemohon membayar verskot biaya perkara yang besarnya sudah ditentukan oleh pengadilan agama (Pasal 121 ayat (4) HIR/Pasal 145 ayat (4) RBg).

Perkara permohonan harus diputus oleh hakim dalam bentuk penetapan.

Pengadilan agama berwenang memeriksa dan mengadili perkara permohonan sepanjang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau jika ada kepentingan hukum.

Jenis-jenis permohonan yang dapat diajukan melalui pengadilan agama antara lain:

Permohonan pengangkatan wali bagi anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua (Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan).

Permohonan pengangkatan wali/pengampu bagi orang dewasa yang kurang ingatannya atau orang dewasa yang tidak bisa mengurus hartanya lagi, misalnya karena pikun (Pasal 229 HIR/Pasal 262 RBg).

Permohonan dispensasi kawin bagi pria yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi wanita yang belum mencapai umur 16 tahun (Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).

Permohonan izin kawin bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun (Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).

Permohonan pengangkatan anak (Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).

Permohonan untuk menunjuk atau beberapa orang wasit (arbiter) oleh karena para pihak tidak bisa atau tidak bersedia untuk menunjuk wasit (arbiter) (Pasal 13 dan 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).

Permohonan sita atas harta bersama tanpa adanya gugatan cerai dalam hal salah satu dari suami isteri melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya (Pasal 95 ayat (1) Komplikasi Hukum Islam).

Permohonan izin untuk menjual harta bersama yang berada dalam status sita untuk kepentingan keluarga (Pasal 95 ayat (2) Komplikasi Hukum Islam).

Permohonan agar seseorang dinyatakan dalam keadaan mafqud (Pasal 96 ayat (2) dan Pasal 171 Komplikasi Hukum Islam).

Permohonan penetapan ahli waris (Penjelasan Pasal 49 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).(BUKU II Edisi Revisi 2010; hal.56-60)

Para peserta sedang antusias mendengarkan materi dari Penarasumber

Demikian disampaikan dalam diskusi hukum dalam acara BIMTEK yang dilaksanakan oleh IKHAHI. Pengadilan Agama Bengkalis, semoga bermanfaat dan semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat ilmu Pengetahuan kepada kita bersama amin ya Rabbal ‘alamin.

 

***(Tim Redaksi PA Bengkalis)***

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice