logo web

Dipublikasikan oleh Ridwan Anwar pada on .

Hakim PA Selatpanjang Narasumber Penyuluhan Hukum Terpadu Bagi Masyarakat

Hakim PA Selatpanjang Yengkie Hirawan, S. Ag., M. Ag (Memegang Mikrofon) saat menjadi Narasumber pada Penyuluhan Hukum Terpadu pada Masyarakat di Kec. Merbau

Selatpanjang | www.pa-selatpanjang.go.id

PA Selatpanjang diminta sebagai salah satu nara sumber dalam penyuluhan hukum dengan tema Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) pada kegiatan penyuluhan hukum terpadu yang dilaksanakan oleh Bagian Hukum dan HAM Pemda Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Nara sumber lainnya berasal dari Pengadilan Negeri Bengkalis, Kejaksaan Negeri Selatpanjang, Polres Kabupaten Kepulauan Meranti, Advokat, dan Kabag Hukum dan HAM Kabupaten Kepulauan Meranti.

Pada penyuluhan hukum yang diadakan di Kecamatan Selatpanjang Timur, hari Rabu tanggal 2 September 2015, dan di Kecamatan Merbau, hari Kamis tanggal 3 September 2015, PA Selatpanjang mengutus YENGKIE HIRAWAN, S.Ag., M.Ag., Hakim, sebagai nara sumber pada kegiatan tersebut.

Nara sumber dari PA tersebut memberi judul materinya dengan “Peran PA dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)”. Pembahasannya difokuskan kepada: 1) Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap formulasi dan unsur kekerasan yang terdapat dalam UU No 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT? Poin ini difokuskan pula kepada: a) Apakah negara boleh “hadir” dalam mengatur persoalan KDRT yang selintas terkesan merupakan hukum privat? b) Apakah unsur dan bentuk kekerasan yang terdapat dalam UU No 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT telah sesuai dengan ketentuan hukum Islam? 2) Apa saja hak keperdataan korban KDRT yang dapat diajukan ke PA?

Nara sumber menjelaskan bahwa ditinjau dari konsep hak dalam perspektif hukum Islam, persoalan KDRT termasuk kategori haqq al-adamiy (hak manusia), bukan haqq Allah (hak Allah). Itu penyebabnya kenapa di dalam kitab-kitab fikih ditemukan formulasi yang mengatur hak-hak anggota keluarga tersebut, baik dari segi perdata maupun pidana. Jadi persoalan KDRT merupakan hukum publik. Dengan demikian, negara harus hadir dengan membuat regulasi yang mengatur aturan untuk melindungi korban KDRT tersebut. Anggapan yang menyatakan bahwa seseorang dapat melakukan apa saja terhadap anggota rumah tangganya adalah suatu anggapan yang keliru.

Selanjutnya nara sumber menjelaskan bahwa keempat bentuk kekerasan dalam UU No 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT tersebut (kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga) sesungguhnya telah diatur pelarangan melakukannya dalam hukum Islam, yaitu terdapat pada beberapa ayat al-Qur`an dan beberapa hadis Nabi Saw.

Mengenai beberapa nash yang terkesan menolerir adanya kekerasan, yaitu perintah “memukul” sebagai salah satu cara dalam menghadap istri yang berada dalam keadaan nusyuz dalam al-Qur`an, dan perintah “memukul” anak yang tidak mau melakukan ibadah shalat setelah berumur 10 tahun dalam hadis Nabi Saw, sesungguhnya tidak bertentangan dengan konsep kekerasan dalam UU No 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT tersebut. Sebab “memukul” dalam bentuk muthlaq yang dimaksud dalam nash-nash tersebut, telah di-taqyîd oleh Nabi Saw dalam hadisnya yang berfungsi sebagai penjelas (tafsîr al-Qur`an bi al-sunnah) dengan menyatakan bahwa pukulan tersebut hanya pukulan berkategori ghair al-mubarrih (tidak menyengsarakan; tidak menimbulkan penderitaan) dan menurut para ulama berfungsi sebagai pelajaran (ta`diban), di samping itu bersifat eksepsional dan kasuistik, sementara kekerasan yang dimaksud dalam UU No 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 undang-undang tersebut adalah setiap perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan. Jadi, formulasi dan unsur kekerasan yang terdapat dalam UU No 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT telah sesuai dengan ketentuan hukum Islam, demikian beliau menyimpulkan.

Mengenai hak-hak keperdataan korban KDRT yang dapat diajukan ke PA, lanjut beliau, di antaranya adalah:

  1. Gugatan perceraian.
  2. Melalui gugatan provisi, memohon ditetapkan adanya pendamping dari pihakyang merupakan  koban KDRT.
  3. Melalui gugatan provisi, memohon agar korban KDRT dizinkan selama dalam proses persidangan perceraian untuk tidak tinggal serumah dengan pasangannya, ditetapkannafkah yang harus ditanggung oleh suami, hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak, serta menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yag menjadi hak suami atau istri.
  4. Gugatan mut’ah.
  5. Gugatannafkah, maskan, dan kiswah selama istri berada dalam masa ‘iddah.
  6. Gugatan melunasi mahar yang masih terhutang.
  7. Gugatan nafkah terhutang.
  8. Gugatan hak pengasuhan anak.
  9. Gugatan pencabutan hak pengasuhan anak.
  10. Gugatan pencabutan hak perwalian anak (penguasaan terhadap anak).
  11. Gugatan penggantian harta anak yang diakibatkan oleh sikap dari walinya yang membuat anak tersebut rugi.
  12. Gugatan nafkah anak yang belum dewasa.
  13. Gugatan harta bersama.
  14. Gugatan agar pelaku KDRT sebagaimana maksud Pasal 173 KHI terhalang mendapatkan harta warisan.
  15. Gugatan agar wasiat yang diberikan kepada pelaku KDRT dibatalkan sebagaimana maksud Pasal 197 ayat (1) KHI.(Tim Redaksi PA Selatpanjang)

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice