logo web

Dipublikasikan oleh Ridwan Anwar pada on .

Sita Jaminan Dalam Rekonvensi


Tampak Ketua Majelis Hakim C5 Drs. H. Abdullah Berahim, M.H.I. (tengah)Saat menyampaikan makalah didampingi anggota majelis Drs. H. Muhammad Darin, S.H., M.S.I. (kiri)

Samarinda | www.pta-samarinda.net

Dengan mengambil tempat di ruang Aula belakang Pengadilan Tinggi Agama Samarinda, Rabu tanggal 25 Maret 2015 telah dilangsungkan acara diskusi yang dilaksanakan oleh Kelompok Kerja (Pokja) Pengadilan Tinggi Agama Samarinda dengan mengambil judul Sita Jaminan Dalam Rekonvensi (Akibat Gugurnya Kekuatan Hukum Dalam Sebuah Putusan Cerai Talak).

Acara diskusi tersebut dihadiri oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Samarinda, para Hakim Tinggi, Pejabat Kepaniteraan dan Para Penitera Pengganti Pengadilan Tinggi Agama Samarinda, Ketua dan Panitera Sekretaris Pengadilan Agama Samarinda.

Acara diskusi yang dilaksanakan setiap bulan tersebut berjalan dengan lancar dan mendapat perhatian serius dari peserta. Setelah penyampaian pokok-pokok materi yang berjudul Sita jaminan dalam rekonvensi (Akibat Gugurnya Kekuatan Hukum Dalam Sebuah Putusan Cerai Talak) melalui LCD disamping makalah tertulis yang disajikan oleh Ketua Majelis Hakim C5 Drs. H. Abdullah Berahim, M.H.I. didampingi oleh anggota majelis Drs. H. Muhammad Darin, S.H., M.S.I. yang bertindak sebagai Moderator  dan Dra. Hj. Masunah, M.H.I. sebagai Notulen, acara dilanjutkan dengan tanya jawab.

Sesuai dengan maksud pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, jo pasal 66 dan pasal 70 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah untuk yang kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 dan pasal 129 Kompilasi Hukum Islam, bahwa apabila seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang kemudian akan menceraikan istrinya,  ia harus mengajukan surat (permohonan) kepada pengadilan  yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon (istri), kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.

Surat permohonan tersebut berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Dalam pemeriksaan perkara tersebut dipersidangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pihak istri selaku termohon menyampaikan jawaban yang disertai dengan gugatan rekonvensi terhadap permohonan cerai talak yang diajukan oleh suaminya. Dalam gugatan rekonvensi itu, istri memohon agar pengadilan meletakkan sita jaminan (CB) terhadap harta bersama yang saat pemeriksaan perkaranya masih dalam kekuasaan pemohon.

Oleh majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara permohon cerai talak dimaksud, dalam amar putusannya disamping mengabulkan permohonan pemohon dan menetapkan memberi izin kepada pemohon untuk berikrar menjatuhkan talak terhadap termohon. Majelis hakim juga mengabulkan gugatan rekovensi yang diajukan oleh penggugat, yakni istri pemohon yang awalnya menjadi pihak termohon, dengan “menyatakan sita jaminan sah dan berharga”.

Setelah putusan diucapkan di depan sidang, ditunggu sampai dengan berakhirnya upaya hukum banding untuk memberikan kesempatan  kepada salah satu dan/atau kedua belah pihak menggunakan haknya menerima atau tidak terhadap putusan pengadilan tersebut, yang kemudian ternyata kedua belah pihak tidak ada yang mengajukan keberatan dan banding. Berarti putusan pengadilan pemberian izin kepada pemohon untuk mengikrarkan talaknya terhadap termohon sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).  

Tugas majelis hakim selanjutnya sesuai dengan bunyi pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut, adalah dengan memanggil kedua belah pihak, pemohon dan termohon atau wakilnya untuk hadir dalam sidang penyaksian ikrar talak yang akan diucapkan oleh pemohon. Namun ternyata, pihak pemohon (juga termohon) tidak datang menghadap dipersidangan pada waktu yang telah ditentukan sampai dengan batas waktu enam bulan.

Peserta saat mengikuti acara Diskusi Pokja

 

Dengan demikian, sesuai dengan maksud pasal 70 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut, gugurlah kekuatan putusan tersebut. Artinya, putusan yang menetapkan memberi izin kepada pemohon untuk mengikrarkan talaknya tersebut sudah tidak mempunyai kekuatan hukum lagi, atau kekuatan hukum dari putusan tersebut sudah tidak ada lagi, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.

Dari kasus di atas, timbul beberapa pertanyaan yang memerlukan jawaban atau solusi yang tepat dan benar sesuai ketentuan yang berlaku, antara lain yaitu:

  1. Apakah harus ada penetapan yang menyatakan bahwa kekuatan hukum dari putusan tersebut, gugur? Ataukah tidak diperlukan adanya penetapan, karena kekuatan hukum dari putusan gugur sacara otomatis?
  2. Kalau diperlukan adanya penetapan   yang menyatakan bahwa kekuatan hukum dari putusan tersebut, gugur. Siapakah yang membuat atau menerbitkan penetapan tersebut, apakah Ketua Majelis ataukah Ketua Pengadilan yang bersangkutan?
  3. Bagaimana kaitannya dengan sita jaminan (CB) yang oleh Pengadilan dan telah disebutkan dalam putusan tersebut dinyatakan sah dan berharga. Apakah sita jaminanan tersebut secara otomatis telah terangkat dengan sendirinya bersamaan dengan gugurnya kekuatan hukum dari putusan tersebut? Atau apakah diharuskan adanya permohonan tersendiri untuk mengangkat sita jaminan tersebut?

Untuk memberikan jawaban dari beberapa pertanyaan di atas, dari forum diskusi dengan merujuk kepada Buku II dan arahan dari Narasumber Drs. H. Muhammad Yamin Awi, SH., MH selaku Ketua PTA Samarinda dan Drs. H. Syofrowi, SH., MH Wakil Ketua PTA Samarinda dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Bahwa gugurnya kekuatan hukum dari putusan yang lampau waktu 6 bulan, tidak diperlukan adanya “penetapan” tersendiri baik oleh Ketua Majelis Hakim atau Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan,  tapi Panitera membuat catatan pada halaman terakhir putusan berbunyi: “Kekuatan hukum putusan ini gugur sejak tanggal   .................”.(lihat  halaman 39 Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama atau buku II edisi tahun 2013).
  2. Bahwa mengenai  sita jaminan (CB) yang oleh Pengadilan dan telah disebutkan dalam putusan tersebut dinyatakan sah dan berharga. Tidak secara otomatis ikut gugur bersamaan dengan gugurnya kekuatan hukum dari putusan tersebut;
  3. Bahwa sita jaminan (CB) sebagaimana dimaksud dalam putusan tersebut, karena pada prinsipnya pengadilan perdata itu sifatnya pasif, maka pengadilan agama tidak boleh mengangkat sita jaminan tersebut kecuali ada permohonan dari yang bersangkutan (termohon konvinsi/penggugat rekonvensi).

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice