Drs. Saukani bin H. Abd. Rozak dalam Memori

Bungo | www.pa-muarabungo.go.id
Pagi itu, Senin, 07 Juli 2014, biasanya ruangan depan sisi sebelah kanan kantor Pengadilan Agama Muara Bungo telah bangun di saat ruangan lain masih tidur. Sejatinya kolom lembaran absen telah terisi penuh sampai pukul 08.00 WIB. Biasanya gelak tawa pengisi pagi menjadi menu rutin sehabis rehat akhir pekan.
Mestinya pagi itu ada debat kusir soal pilpres antara pendukung Jokowi-JK dengan Prabowo-Hatta. Seharusnya ada pidato pengukuhan kehebatan Messi, atau komentar aksi militan para pemain Costa Rica di Piala Dunia Brasil yang bermain sehari sebelumnya.
Tapi tidak pagi itu! Sunyi senyap ruangan itu seperti tak bertuan. Satu list lembaran absen belum tergores pena. Raut serius seisi gedung sangat jauh dari kesan normal pasca akhir pekan. Tak ada nama Jokowi dan Prabowo dalam obrolan. Kehebatan Messi yang meliuk di barisan defender Belgia, atau fighting spirit para pemain Costa Rica kala melawan Belanda sehari sebelumnya luput dari perbincangan.
Sebaliknya, aura senyap dan beku lebih dominan. Pagi itu, di sudut meja informasi, sekumpulan ibu-ibu berkumpul layaknya sebuah arisan, tapi dengan raut wajah yang tak biasa. Ada gurat aneh, ada air muka yang memasam, ada sorot mata yang gundah dan kosong, jauh menelusuri cakrawala yang tak berujung.
Para mata itu bening berbinar seolah turut merasakan ada yang hilang pagi itu. Mereka mencoba menutupi perasaan pagi itu, tapi terlalu kuat untuk dibohongi. Mereka tak mempedulikan ada kegiatan rutin di ruang sidang. Sudah dua puluh menit Sang Ketua berada di ruang itu, duduk terpaku tanpa pendamping sebelum dua orang hakim mengambil tempat dan turut melibatkan diri dalam lamunan. Ya, pertemuan itu molor tiga puluh dua menit.
Sejatinya, pertemuan reguler bulanan pagi itu dirancang serius tapi santai, nyatanya berubah serius dan tegang. Joke-joke segar pimpinan rapat tak mampu mencairkan suasana. Bahkan, interupsi ngawur dan keseleo tak dapat mengusik tawa hadirin.
Bayangkan! Sekelas bendahara, orang yang paling dikenal karena kepentingannya, oleh seorang teman dipanggil dengan nama ‘Anwar’ (bukan disengaja), padahal tak pernah ada nama itu sepanjang sejarah berdirinya Pengadilan Agama Muara Bungo. Itu saja tak mampu mencairkan suasana! Padahal biasanya keseleo semacam itu set piece yang enak disundul dan memantik gelak tawa yang hanya dapat dihentikan oleh ketokan palu.
Ya…, Pengadilan Agama Muara Bungo tengah berduka. Sabtu, tanggal 06 Juli 2014, sekira delapan belas menit lewat pukul enam sore, seiring gema adzan penanda ta’jil, penghuni ruangan itu telah dipanggil pemiliknya, rabb penguasa hidup dan mati. Pangkuan istri dan dua orang anaknya menjadi saat penyerahan kepada rabb-nya. Serah terima itu berlangsung singkat seiring larian kecil si sulung dari ruangan ICCU RS. H. Hanafie Muara Bungo menuju ruangan tunggu, Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Sejak itu, calling, SMS, dan tangisan saling bersahutan. Tak tahu siapa yang memulai dan tak ada yang memerintahkan, tapi bukan tanpa sebab dan alasan. Segalanya berjalan natural bak luapan air, bagian kecil penanda adanya sesuatu yang hilang. Serine ta’jil seolah tak ditunggu setelah 14 jam dalam lapar dan dahaga. Ya Allah, Engkau telah menguji kami dari titik kami yang paling lemah.
Pria santun nan stylist itu sangat membekas di hati kami. Jejak kerja kerasnya akan selalu kami kenang. Rekam senyum dan rangkulan keakrabannya tak akan lekang di relung hati kami. Usianya yang memasuki bilangan 51 memang tidak terbilang muda, tapi berlebihan disebut tua jika usia dijadikan patok menghadap Sang Pemilik. Apalagi tak ada qarinah kepergiannya, tak ada sakit yang memulai, tak ada keluhan sebagai alamat.
Karenanya, kepulangan lelaki berdarah Sunda ini menghadap Sang Khaliq terkesan mendadak, banyak yang tidak percaya dan berharap salah nama, sampai dilihat nyata jasad Wakil Panitera itu telah terbujur tak berdaya.
Tangis orang-orang yang melepas kepergiannya bukan tak bermakna. Dalam tangis itu, ada untaian doa yang indah untuk kebahagiannya di jalan yang panjang. Dalam tangis itu, ada janji terpatri tuk melanjutkan perjuangannya terhadap istri dan dua orang anaknya yang masih terbengkalai. Masih banyak doa dan asa lain dari air mata itu. Begitulah hidup seorang kawan sederhana. Hadirnya memberi semangat dan kesejukan pada sekitarnya. Perginya menoreh kesedihan tanda kecintaan.
Selamat jalan Kang, semoga Allah Swt. menyediakan tempat terbaik untukmu di alam baqa. Tawa dan amal baikmu tak akan terhapus dan kiranya Allah Swt. menggantinya di alam sana. (Af – Jurdilaga PA Muara Bungo/PTA Jambi)