logo web

Dipublikasikan oleh Ridwan Anwar pada on . Dilihat: 3593

Persoalan Eksekusi Hak Tanggungan Dibedah Hakim Agung Soltoni Mohdally

Palangka Raya| Badilag.net

Ekonomi syariah merupakan bidang baru bagi peradilan agama. Setiap hakim peradilan agama diharapkan betul-betul mempelajari dan menguasainya, sehingga apabila ada kasus yang berkaitan dengan ekonomi syariah, hakim peradilan agama telah siap dan mampu menyelesaikannya. Dan, salah satu persoalan mutakhir yang harus dipelajari dan dikuasai adalah eksekusi hak tanggungan dalam sengketa ekonomi syariah.

Demikian disampaikan hakim agung Soltoni Mohdally, S.H., M.H. di depan para peserta Bimbingan Teknis Ekonomi Syariah dan Administrasi Peradilan Agama Se-Wilayah Yurisdiksi Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya, di Swiss BelHotel Danum Palangka Raya, Sabtu (8/8/2015)

Menurutnya, karena ada ketidaksinkronan beberapa peraturan perundang-undangan mengenai aksekusi hak tanggungan, asas yang lebih tepat digunakan untuk mengatasinya adalah lex posteriori derogate legi priori. Maksudnya, hukum yang terbaru (posterior) mengesampingkan hukum yang lama (prior).

Mantan Ketua Pengadilan Tinggi Banjarmasin itu juga meminta para hakim peradilan agama untuk mempelajari Akta Pengikat Hak Tanggungan.

Perlawanan dalam eksekusi via lelang karena harga limit terendah selalu murah, oleh karena itu harus hati-hati dalam penentuan harga.

Dalam proses pengosongan objek sengketa setelah lelang selesai, tetap harus ada aanmaning(tindakan dan upaya yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan berupa teguran kepada pihak yang kalah agar ia melaksanakan isi putusan secara sukarela).

Jika telah dilakukanannmaningtigas kali dan tidak diserahkannya objek sengketa (dalam hal ini rumah dan tanah), maka dibuatlah penetapan pengosongan. “Dalam pengosongan bisa dilakukan oleh jurusita atau panitera, tetapi dalam hal eksekusi lelang harus dilakukan oleh panitera,” jelasnya.

Soltoni Mohdally mengatakan dalam proses pengosongan, jurusita harus menyiapkan surat dari kepolisian dalam hal keamanan. Jika setelah dieksekusi ada pihak yang keberatan, maka bukan perlawanan akan tetapi gugatan dan dalam gugatan tersebut tidak ada rekonvensi. Semua sertifikat (SHT, SHM, SHG) bisa diletakan sebagai jaminan, karena sudah didaftarkan ke Badan Pertanahan Nasional. Jika hanya SKT (Surat Keterangan Tanah dari kelurahan) maka tidak dapat dijaminkan. Apabila sertifikat hak tanggungan atau akta hak tanggungan cacat maka gugatan harus ditolak (Asas Formil).

Lebih lanjut Soltoni Mohdally menyinggung mengenai Arbitrase yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999. Menurutnya perkara yang diselesaikan di luar pengadilan, misalnya melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), harus didaftarkan ke Pengadilan Agama. Hasil Basyarnas jika tidak dilaksanakan maka mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Agama.

Putusan Arbitrase didaftarkan, dicatat diregister dan salinan putusan tersebut ditanda tangani oleh panitera, karena jika tidak didaftarkan maka tidak dapat dieksekusi jika ada persoalan. Putusan Arbitrase yang tidak diserahkan lebih dari 30 hari sejak ditetapkan ke Pengadilan Agama, maka putusan tersebut menjadi mentah lagi. “Mentah dalam arti tidak pernah ada putusan arbitrase,” tegasnya.

(ynt/sef/zsu/sim_pta-palangkaraya.go.id)

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice