Prinsip Mempersulit Perceraian: Upaya Menjaga Keutuhan Keluarga
Oleh:
Drs. H. Muchlis, S.H., M.H
Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI
Prinsip mempersulit perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia merupakan sebuah langkah strategis yang bertujuan untuk menjaga keutuhan rumah tangga dan mencegah terjadinya perceraian yang dilakukan dengan sembarangan. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa perkawinan bukan hanya sekadar ikatan antara dua individu, melainkan juga merupakan sebuah institusi sosial yang memiliki dampak luas terhadap masyarakat. Oleh karena itu, upaya untuk memperkuat ikatan perkawinan menjadi sangat relevan, terutama dalam menghadapi peningkatan angka perceraian yang terjadi di berbagai kalangan masyarakat.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Ditjen Badilag) Mahkamah Agung RI, angka perceraian di Indonesia masih tetap tinggi dan belum menunjukkan penurunan yang signifikan. Pada tahun 2023, tercatat ada sekitar 465.063 perkara perceraian yang diajukan di pengadilan agama. Angka ini mencerminkan tantangan yang dihadapi dalam menjaga keutuhan keluarga di tengah berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi kehidupan rumah tangga di Indonesia. Karena itu, prinsip mempersulit perceraian sebagaimana yang tertuan dalam Undang-Undang Perkawinan harus menjadi pedoman utama.
Implementasi dari prinsip ini tercermin dalam kewajiban bahwa setiap proses perceraian harus dilakukan melalui jalur pengadilan. Hal ini bukan sekadar prosedur administratif, tetapi lebih kepada upaya untuk memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil adalah hasil pemikiran yang matang dan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk dampak psikologis dan sosial bagi pasangan serta anak-anak mereka. Proses pengadilan memberikan ruang bagi pasangan untuk mendiskusikan masalah mereka secara terbuka dan, jika memungkinkan, mencari solusi yang lebih baik daripada perceraian.
Dalam pemeriksaan perkara perdata, termasuk perceraian, Pengadilan memiliki kewajiban untuk memerintahkan pihak-pihak yang ingin bercerai untuk menjalani mediasi sampai dengan 30 hari. Jika hasil mediasi belum memuaskan, maka jangka waktu tersebut dapat diperpanjang berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI (Perma) Nomor 1 Tahun 2016. Bahkan, Pasal 130 HIR/154 Rbg mengatur bahwa Pengadilan wajib mengupayakan perdamaian terlebih dahulu. Artinya, setiap kali persidangan, hakim berkewajiban memberikan nasihat kepada para pihak untuk mempertimbangkan kembali rencana perceraian mereka. Rangkaian proses ini memberikan kesempatan bagi pasangan yang ingin bercerai untuk menemukan jalan tengah sebelum benar-benar memutuskan berpisah.
Pendekatan yang dilakukan pengadilan ini sejalan dengan ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits. Misalnya, dalam QS. Thalaq: 1, QS. Al-Baqarah: 232, serta sabda Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Sallam:
أبغض الحلال إلى الله تعالى الطلاق
Artinya: “Kehalalan yang paling dibenci oleh Allah Ta’ala adalah Thalak (perceraian)”.
Sabda Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Sallam di atas menegaskan bahwa perceraian seharusnya menjadi pilihan terakhir setelah semua upaya untuk mempertahankan pernikahan telah dilakukan. Dengan demikian, prinsip ini bukan hanya sekadar hukum, tetapi juga merupakan refleksi dari nilai-nilai moral dan etika yang harus dijunjung tinggi dalam kehidupan berkeluarga.
Untuk memperkuat penerapan prinsip ini, Mahkamah Agung (MA) telah menetapkan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk membatasi perceraian akibat perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga. Kebijakan ini tidak muncul begitu saja, melainkan melalui proses yang panjang dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Dalam Rapat Pleno Kamar, rumusan hukum ini dituangkan dalam sejumlah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang memberikan pedoman bagi pengadilan dalam menangani kasus perceraian. SEMA No. 1 Tahun 2014 menjadi langkah awal yang penting, di mana rumusan hukum tersebut mencakup berbagai aspek yang perlu diperhatikan oleh pengadilan dalam memutuskan perkara perceraian.
Kemudian, SEMA No. 03 Tahun 2018 memberikan pembaruan dan penguatan terhadap kebijakan yang telah ada, dengan menyesuaikan dengan dinamika sosial yang berkembang. SEMA No. 1 Tahun 2022 dan SEMA No. 3 Tahun 2023 semakin melengkapi dan menyempurnakan ketentuan ini, memberikan kejelasan lebih lanjut mengenai syarat dan prosedur yang harus diikuti dalam proses perceraian. Dalam SEMA No. 3 Tahun 2023, misalnya, dinyatakan bahwa perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus hanya dapat dikabulkan setelah terbukti bahwa perselisihan tersebut bersifat berkelanjutan dan tidak ada lagi harapan untuk hidup rukun. Hal ini menunjukkan bahwa pengadilan tidak hanya berfungsi sebagai lembaga yang memutuskan perkara, tetapi juga sebagai penengah yang berupaya menjaga keharmonisan keluarga.
Kemudian syarat yang ditetapkan lainnya, yaitu telah berpisah tempat tinggal selama enam bulan. Ini menunjukkan bahwa ada upaya untuk memberikan waktu bagi pasangan untuk merenungkan keputusan mereka. Dalam banyak kasus, waktu terpisah dapat membantu masing-masing individu untuk mengevaluasi kembali hubungan mereka dan mencari solusi yang lebih baik. Namun, dalam situasi yang lebih serius, seperti adanya tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), pengadilan memberikan kelonggaran dengan membolehkan perceraian meskipun syarat pisah tempat tinggal belum terpenuhi. Ini adalah langkah yang sangat penting, mengingat keselamatan dan kesejahteraan individu harus selalu menjadi prioritas utama.
Langkah-langkah kebijakan ini dirancang untuk mendorong pasangan suami istri agar mencoba menyelesaikan permasalahan mereka secara damai dan konstruktif sebelum memutuskan untuk bercerai. Dalam banyak kasus, masalah yang muncul dalam rumah tangga sering kali dapat diselesaikan melalui komunikasi yang baik dan saling pengertian. Oleh karena itu, pengadilan diharapkan untuk memfasilitasi proses mediasi dan penyelesaian konflik yang dapat membantu memperbaiki hubungan rumah tangga. Dengan memberikan kesempatan bagi pasangan untuk berbicara dan mendiskusikan masalah mereka, diharapkan akan muncul solusi yang lebih baik daripada keputusan untuk berpisah.
Secara keseluruhan, kebijakan pembatasan perceraian yang disebabkan oleh perselisihan dan pertengkaran mencerminkan komitmen Mahkamah Agung dalam menjaga keutuhan keluarga. Dalam konteks ini, penting untuk diingat bahwa keluarga adalah unit dasar dalam masyarakat, dan stabilitas keluarga berkontribusi pada stabilitas sosial yang lebih luas. Dengan mendorong penyelesaian masalah secara konstruktif, diharapkan angka perceraian dapat ditekan, dan keluarga dapat tetap utuh, memberikan stabilitas emosional dan kesejahteraan bagi seluruh anggota keluarga. Kebijakan ini bertujuan agar setiap permasalahan rumah tangga dihadapi dengan usaha rekonsiliasi, sehingga hanya dalam keadaan-keadaan tertentu yang serius perceraian diizinkan sebagai langkah terakhir.
Dalam kesimpulan, prinsip mempersulit perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan merupakan langkah penting untuk menjaga keutuhan pernikahan dan mencegah perceraian yang dilakukan dengan mudah. Dengan mengharuskan proses perceraian melalui pengadilan dan menerapkan kebijakan yang mendukung penyelesaian masalah secara damai, diharapkan dapat tercipta keluarga yang harmonis dan stabil. Kebijakan ini tidak hanya sekadar hukum, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai moral yang harus dijunjung tinggi dalam kehidupan berkeluarga. Dengan demikian, upaya untuk memperkuat ikatan pernikahan akan memberikan dampak positif tidak hanya bagi individu, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan.
Jakarta, 8 November 2024
Format Pdf dapat di unduh disini