JADIKAN KRITIK SEBAGAI TEMAN BERPIKIR
Oleh:
Drs. H. Muchlis, S.H., M.H
Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI
Kritik sering kali dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Banyak orang merasa tersinggung atau defensif ketika menerima kritik, baik dalam konteks pribadi maupun profesional. Reaksi ini wajar, karena kritik sering kali menyentuh aspek yang mungkin belum kita sadari atau terima. Namun, jika kita mampu mengubah perspektif kita terhadap kritik, kita bisa melihatnya sebagai alat yang berharga untuk berkembang, bukan sebagai ancaman. Kritik bisa menjadi "teman berpikir" yang membantu kita merenungkan keputusan, tindakan, dan langkah-langkah ke depan dengan lebih bijaksana.
Dalam perspektif Islam, kritik adalah bagian dari konsep "amrun syar'iyyun," yang termasuk dalam kategori amar ma'ruf nahyi munkar—mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dengan kata lain, kritik memiliki nilai spiritual yang penting dalam mendorong perbaikan dan menghindari hal-hal yang salah. Karena itu, Darul Ifta Jordan mendefinisikan kritik sebagai:
تَقْدِيْمُ النُّصْحِ وَالْمُلَاحَظَاتِ بَعْدَ النَّظَرِ وَالتَّمْحِيْصِ. وَهُوَ أَمْرٌ مَشْرُوْعٌ فِي الْاِسْلَامِ، بَلْ اِنَّهُ مَطْلُوْبٌ، وَهُوَ مِنْ صُوَرِ الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ
Artinya: “Kritik pada dasarnya adalah memberikan nasihat dan komentar setelah adanya pertimbangan dan observasi. Kritik merupakan perbuatan yang disyariatkan dalam Islam, bahkan dianjurkan. Kritik juga menjadi bagian dari amar makruf dan nahi mungkar.”
Kritik adalah elemen yang sangat penting dalam proses perbaikan dan pengembangan diri. Melalui kritik, kita dapat mengetahui hal-hal yang memerlukan perhatian dan perbaikan, sehingga kritik berfungsi sebagai alat evaluasi yang membantu kita menyusun langkah-langkah yang lebih baik di masa mendatang. Lebih dari itu, kritik juga dapat berfungsi sebagai cermin, memberikan refleksi diri, dan menjadi dorongan kuat untuk menciptakan inovasi baru.
Kritik sebagai Cermin untuk Perbaikan Diri
Kritik dapat berperan sebagai cermin yang membantu kita melihat diri sendiri dari perspektif orang lain. Dalam psikologi, konsep "self-awareness" atau kesadaran diri memainkan peran penting dalam pertumbuhan pribadi. Individu dengan tingkat kesadaran diri yang tinggi cenderung lebih sukses di berbagai aspek kehidupan. Hal ini karena mereka lebih mampu menerima masukan dari luar, termasuk kritik, dan menggunakan masukan tersebut untuk berkembang. Cara kita merespons kritik mempengaruhi bagaimana kita bertindak, berperilaku, dan berinteraksi dengan orang lain. Kritik yang diterima dengan baik dapat memperluas sudut pandang kita, membantu kita menyadari kelemahan, dan menjadi sarana untuk terus memperbaiki diri.
Ketika kritik dipandang sebagai kesempatan untuk belajar dan bukan sebagai serangan pribadi, maka proses perbaikan menjadi lebih efektif. Kritik yang membangun dapat membantu kita meningkatkan kualitas diri dalam berbagai aspek, baik dalam kehidupan pribadi, profesional, maupun sosial. Melalui kesadaran akan pentingnya menerima kritik, kita dapat mencapai kemajuan yang lebih berarti dan menjadi pribadi yang lebih bijak dalam menghadapi tantangan kehidupan.
Kritik sebagai Dorongan untuk Menciptakan Inovasi
Dalam dunia bisnis, kritik sering kali menjadi pemicu lahirnya inovasi baru. Perusahaan-perusahaan besar seperti Apple dan Google secara aktif mencari kritik dan umpan balik dari pengguna layanan mereka. Dengan terbuka terhadap kritik, mereka mampu mengidentifikasi area yang perlu diperbaiki dan menciptakan produk yang lebih baik. Apa yang mereka lakukan seharusnya menjadi contoh, tidak hanya untuk bisnis, tetapi juga untuk lembaga-lembaga publik, seperti lembaga peradilan, yang perlu terbuka terhadap kritik dan masukan. Kritik dalam konteks ini bukan sekadar penilaian negatif, tetapi juga masukan berharga yang dapat memicu perbaikan dan inovasi.
Namun, banyak orang masih enggan menerima kritik karena takut dinilai negatif. Padahal, kritik yang konstruktif tidak bertujuan untuk merendahkan, melainkan untuk membantu kita tumbuh dan berkembang. Para ahli menyebutkan bahwa keberanian untuk menerima kritik merupakan langkah penting dalam membangun ketahanan emosional dan mental. Kita perlu belajar untuk memisahkan identitas diri dari kritik yang diterima, sehingga kritik dapat dilihat sebagai kesempatan untuk belajar dan memperbaiki diri.
Dengan pandangan yang positif terhadap kritik, kita dapat menjadikannya sebagai alat untuk mencapai perbaikan yang berkelanjutan.
Etika dalam Mengkritik
Perlu dicatat bahwa dalam menyampaikan kritik kepada seseorang atau lembaga, kita harus selalu mengedepankan adab dan etika. Hal ini penting karena kita adalah makhluk beradab dan beragama. Dalam ajaran agama, terdapat prinsip bahwa kita harus bersikap lemah lembut kepada siapa pun dan dalam situasi apa pun, seperti yang diajarkan dalam QS. Ali 'Imran ayat 159: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut kepada mereka...” Ayat ini menekankan bahwa sikap santun dan lembut, termasuk dalam memberikan kritik, memiliki kekuatan untuk menyampaikan pesan dengan lebih efektif.
Ketika kita mematuhi prinsip kelemahlembutan ini, esensi dari kritik yang kita sampaikan lebih mungkin diterima dengan baik oleh pihak yang kita tuju. Kritik yang disampaikan dengan penuh etika dan empati tidak hanya lebih mudah diterima, tetapi juga lebih berpotensi memunculkan perbaikan yang diinginkan. Sebaliknya, jika adab ini diabaikan, kritik yang seharusnya konstruktif bisa berubah menjadi sumber konflik dan resistensi. Orang yang dikritik cenderung menolak atau merasa diserang apabila kritik disampaikan dengan cara yang kasar atau merendahkan, sehingga tujuan perbaikan tidak tercapai.
Dalam konteks ini, penting untuk merujuk pada pedoman yang telah disusun oleh para ulama , seperti Darul Ifta Jordan. Mereka memberikan arahan yang dapat kita jadikan panduan dalam mengutarakan kritik secara tepat dan bijaksana sebagai berikut:
وأول ما يجب على الناقد أن يكون نقده نصيحة، والقيام بواجب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، وأن يقدم النقد بأسلوب الحكمة واللطف وحسن الظن، وأن يتحرى الصدق والصواب بما يقول، ويجتنب سوء الظن والسب والشتم والسخرية والاستهزاء لأن هذا كله من كبائر الذنوب
Artinya: “Dan kewajiban pertama bagi orang yang mengkritik adalah: (1). Kritiknya harus berupa nasihat; (2) Bertujuan untuk melakukan amar makruf nahi mungkar; (3). Menyampaikan kritik dengan cara bijaksana, lemah lembut, dan prasangka yang baik; (4). Apa yang disampaikan harus berupa kejujuran dan kebenaran;(5) Menghindari prasangka buruk, memaki, mengutuk, mengejek, dan mencemooh, karena semua ini merupakan bagian dari dosa besar.
Mengkritik dengan cara yang benar bukan hanya tentang menyampaikan pendapat, tetapi juga tentang menjaga hubungan sosial, menghindari permusuhan, dan menciptakan suasana yang kondusif untuk perubahan yang lebih baik. Kritik yang didasarkan pada niat yang baik dan disampaikan dengan penuh hikmah, selain berpotensi membawa perubahan positif, juga menjadi cerminan kedewasaan moral dan spiritual kita sebagai individu yang beradab. Lebih Jauh, Imam Syafi’i dalam syairnya menjelaskan bahwa:
تعمدني بنصحك في انفرادي ** وجنبْني النصيحة في الجماعهْ
Berilah nasihat kepadaku ketika aku sendiri, jauhilah memberikan nasihat di tengah-tengah keramaian.
فإن النصح بين الناس نوع ** من التوبيخ لا أرضى استماعهْ
Sesungguhnya nasihat di tengah-tengah manusia itu termasuk sesuatu pelecehan yang aku tidak suka mendengarkannya.
وإن خالفتني وعصيت قولي ** فلا تجزعْ إذا لم تُعْطَ طاعهْ
Jika engkau menyelisihi dan menolak saranku maka janganlah engkau marah jika kata-katamu tidak aku turuti.
Bait syair di atas menegaskan bahwa kritik yang baik adalah kritik yang disampaikan langsung kepada orang yang bersangkutan dengan cara yang tepat dan bijaksana. Imam Syafi’i, salah satu ulama besar, mengajarkan bahwa kritik yang disampaikan di hadapan umum, alih-alih menjadi masukan yang membangun, sering kali berubah menjadi pelecehan dan penghinaan. Menurut beliau, kritik yang disampaikan di muka umum berisiko mempermalukan orang yang dikritik, dan hal ini dapat menciptakan suasana yang tidak kondusif untuk introspeksi maupun perbaikan.
Kritik yang dilakukan secara privat, secara langsung kepada individu yang bersangkutan, akan lebih efektif dalam mencapai tujuan perbaikan. Cara ini memungkinkan terjadinya percakapan yang lebih terbuka dan jujur, tanpa adanya tekanan dari pihak luar atau perasaan terpojok. Sebaliknya, kritik di hadapan banyak orang sering kali memicu reaksi defensif, karena orang yang dikritik merasa diserang secara personal di depan umum, yang pada akhirnya dapat merusak hubungan baik dan menghalangi proses perbaikan.
Pesan yang diajarkan oleh Imam Syafi'i ini menekankan pentingnya kebijaksanaan dalam menyampaikan kritik. Kritik seharusnya menjadi sarana untuk membangun, bukan merendahkan, dan oleh karena itu harus disampaikan dengan penuh pertimbangan dan kesantunan. Dengan cara ini, kritik akan lebih mudah diterima dan diresapi oleh orang yang dikritik, serta membuka ruang dialog yang produktif untuk mencapai perubahan yang diharapkan.
Penutup
Untuk menjadikan kritik sebagai "teman berpikir," kita perlu mengubah cara pandang dan respons kita terhadap kritik. Pertama, kita harus memahami bahwa kritik adalah sarana pembelajaran yang berharga, sebuah cermin yang merefleksikan diri kita, serta pendorong bagi terciptanya inovasi. Kritik yang diterima dengan terbuka memungkinkan kita untuk memanfaatkannya sebagai alat pertumbuhan, baik secara pribadi maupun profesional.
Namun, sebagai individu yang beradab dan beragama, penting bagi kita untuk menyampaikan kritik dengan cara yang benar dan santun. Kritik yang disampaikan dengan etika dan kelembutan akan lebih mudah diterima dan dipahami oleh orang yang kita kritik. Kita harus membangun budaya kritik yang positif, di mana kritik disampaikan secara konstruktif dan disertai dengan solusi yang membangun. Budaya seperti ini tidak hanya mendorong penerimaan kritik yang lebih baik, tetapi juga menciptakan umpan balik yang produktif sehingga semua pihak dapat tumbuh dan berkembang bersama.
Dengan sikap yang tepat, kritik yang awalnya terasa pahit bisa berubah menjadi obat yang menyembuhkan dan menyehatkan. Kritik yang disampaikan dengan niat baik dan diterima dengan pikiran terbuka dapat memperbaiki kesalahan, memperkuat hubungan, serta mendorong kita untuk terus belajar dan berinovasi. Inilah esensi dari kritik yang sejati: bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk membangun dan memperbaiki diri serta lingkungan di sekitar kita.
Jakarta, 15 November 2024
Untuk format berbentuk PDF dapat diunduh disini