logo web

on . Dilihat: 3210

Nonton Bola Bareng, Bersama Chief Justice


*


Chief Justice Diana Bryant adalah wanita kedua dalam sejarah Australia yang memimpin pengadilan tingkat federal. Bu Diana, sebut saja begitu, diangkat sebagai Ketua Pengadilan Keluarga Australia pada tahun 2004. Sebelumnya, alumni the University of Melbourne (S1) dan Monash University (S2) ini pernah menjabat sebagai Ketua Pengadilan Federal Magistrate, Direktur Perusahaan Penerbangan Australia dan pengacara.


Orangnya ramah, lincah, sederhana dan menyenangkan. Namun demikian, dari sikap dan langkahnya, Bu Diana terlihat berwibawa dan penuh keibuan.
Saya punya kesan mendalam selama 6 tahun bergaul dengan tokoh kelahiran Perth, Australia Barat, ini. Bu Diana  sangat perhatian akan perkembangan peradilan agama. Beliau banyak melakukan langkah-langkah  yang  menguntungkan peradilan agama.

Coba saja lihat. Antara lain karena peran Bu Diana, berpuluh hakim dan aparat Peradilan Agama  telah dapat melakukan pelatihan di Australia. Karena supportnya, Putusan PTA se Indonesia dapat dipublikasikan pada situs AsianLII, situs yang banyak diakses masyarakat hukum internasional, hasil  kerja sama University of Technology, Sydney dan University of New South Wales Australia.


Karena dukungan beliau pula, peradilan agama diberi kesempatan untuk mempresentasikan pengalaman reformasinya dalam forum internasional. Saya selalu bersama Bu Diana, dan Cate Sumner, dalam mempresentasikan peradilan agama, seperti di Sydney (Feb 2009), Istanbul (Okt 2009), Bogor (Mar 2011) dan Sydney (Nov 2011). Beliau sendiri sehari-harinya berkantor di Melbourne.


Beliau pula yang meluncurkan buku “Courting Reform” edisi Bahasa Inggris, di Sydney (Des 2010) dan edisi Bahasa Indonesia, di Jakarta (Mar 2011), bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Dr. Harifin A Tumpa, SH, MH.


Karena kesupelan dan kesederhanaan beliau itulah juga, saya dan 16 orang dari peradilan agama, ketika sedang mengikuti pelatihan “Client Service” di Melbourne, akhir Mei 2008, dibuat kaget dan senang oleh Bu Diana ini. Kami diajak nonton bola bareng oleh beliau di “Stadion Senayannya” kota Melbourne. Bukan main.


**


Kebetulan, di malam hari setelah pelatihan, ada jadwal pertandingan Liga Bola Australia. Dua tim papan atas akan bertanding, yaitu Collingwood dan Geelong. Kata Bu Diana, pertemuan dua tim ini selalu ditunggu masyarakat bola. Kepada saya, beliau berceritera banyak tentang bola dan perkembangan “Australian Football League” (AFL). Hebat juga, Bu Diana ini nampak hobi nonton dan mengikuti perkembangan AFL.


Walaupun beliau tahu, “Australian football”, yang semacam rugby ini, tidak dikenal di Indonesia, Bu Diana nampak ingin menyenangkan para peserta pelatihan, setidaknya ingin memberikan suatu pengalaman unik yang tidak ada di Indonesia. Dan memang benar, tidak ada satupun di antara kami yang pernah nonton Bola Australia langsung di lapangan. Kalaupun pernah nonton melalui TV, itupun hanya sekilas saja, sebab kita tidak biasa main dan tidak tahu aturannya.


Hebatnya lagi, Chief Justice ini sengaja memberikan ceramah khusus di depan kelas tentang perkembangan “AFL”  dan aturan-aturan mainnya. Tidak tanggung-tanggung, penyampaian pelajaran khusus ini dilengkapi dengan alat peraga bola benerannya, yang lonjong itu, dan peragaan bagaimana cara melempar, menendang dan menangkapnya. Sarana Teknologi Informasipun digunakan pada pelajaran ini, seperti in-fokus dan slide-slide yang menampilkan aturan main, gambar dan ukuran lapangan, serta foto-foto berkaitan dengan AFL.


Bukan hanya itu saja, Bu Dianapun membagikan “halesduk”  dan "kerepus" penutup kepala syang merupakan asesori khas dari  tim yang bertanding, sebagai hadiah untuk para peserta. Halesduk  dan  kerepus tebal itu berfungsi untuk memberi support kepada tim masing-masing, sekaligus untuk menutup kepala dan leher dari rasa dingin, karena saat itu berada di musim dingin yang sangat menyengat.   Bu Diana juga secara pribadi menyediakan hampir 10 baju tebal, untuk dipinjamkan kepada para peserta yang kebetulan tidak membawa baju tebal. Maasya Alloh.

***


Pada waktu yang telah ditentukan, setelah maghrib, kami berangkat dari apartemen tempat menginap dengan menggunakan bis, menuju ke stadion. Di sana disambut sendiri oleh Chief Justice Diana, dan beberapa stafnya. Di antaranya Hakim Senior Naum Mushin, Pansek/CEO  Richard Foster dan Ahli IT, Stephen Andrew.


Pikiran saya, karena nonton bareng bersama Chief Justice, mesti tempat duduknyapun akan berada pada ruangan VIP, atau setidaknya ruangan khusus. Tapi, eh, perkiraan saya meleset. Kami bersama Chief Justice dan staf-stafnya itu masuk di ruangan umum, sejenis kelas ekonomi. Namun tetap nyaman.

Di samping ruangannya rapih dan bersih, juga setiap penonton telah mempunyai kursi sesuai nomor yang tertera pada tiket masing-masing. Di ruangan yang terbuka untuk masyarakat luas, kami bisa secara bebas mengekspresikan emosi kami sebagai penonton, sebagaimana penonton biasa pada umumnya. Lain ceritanya kalau kami berada pada ruangan VIP atau ruangan khusus. Mesti akan sangat terbatas.

Lagi-lagi, saya salut terhadap Honourable Chief Justice yang satu ini. Beliau dengan nyaman, riang dan tanpa canggung, nonton bareng bersama para stafnya dan peserta pelatihan, di tengah publik yang demikian banyak.

Mengenai tim yang bertanding, benar juga apa kata beliau, pertandingan Collingwood dan Geelong ini banyak ditunggu masyarakat bola Australia. Hal itu terlihat dari banyaknya penonton. Stadion yang digunakan hampir dipenuhi padat oleh para supporter dari kedua tim. Stadion itu nampak lebih besar dari Gelora Bung Karno Senayan, sebab ukuran lapangan bolanyapun jauh lebih besar dari lapangan bola kita.

Ada yang lucu pada saat menonton pertandingan itu. Sebagaimana biasanya, para penonton menyuarakan yel-yel atau nyanyian-nyanyian masal yang merupakan penyemangat bagi tim favoritnya. Kami tidak tahu, mana yel-yel atau nyanyian untuk Collingwood dan mana untuk Geelong. Yang kami tahu, suasana nonton itu demikian ramai dan riuh rendah dengan yel-yel dan nyanyian-nyanyian para suporter.

Supaya kamipun terlibat dengan kemeriahan dan ke”heboh”an, saya minta kawan-kawan untuk menyanyikan lagu “Gelang sipatu gelang”, dengan mengganti kata “Gelang” menjadi “Geelong”. Kamipun menyanyikan lagu itu dengan penuh semangat, lantang dan dengan kepalan tangan diacung-acungkan ke atas. Bu Diana kelihatan senyum-senyum saja melihat polah kami bernyanyi-nyanyi itu.

Nyanyian kami itu ternyata banyak mendapatkan perhatian dari penonton lainnya. Mereka pada menoleh ke arah kami. Lalu, sekilas memperhatikan kami dan …tersenyum. Setelah itu di antara mereka saling berbisik sambil tersenyum pula.

Kami telah berhasil mencuri perhatian mereka, pikir saya. Mereka nampak tertarik kepada kami. Mungkin karena lagunya yang asing bagi mereka, walaupun ada kata “Geelong” yang berkali-kali disebut, mungkin karena kekompakan dan semangat kami dalam menyanyikan lagu itu, mungkin karena kami orang asing, atau mungkin pula karena mereka melihat di antara kami ada Chief Justice yang mereka kenal.

Kami tidak peduli alasan apa mereka menaruh perhatian kepada kami, yang jelas kami senang telah ikut berbaur dengan mereka, melakukan yel-yel dan nyanyian-nyanyian sebagaimana yang mereka lakukan. Saya merasa senang sekali dan puas dengan pengalaman menjadi “bobotoh” di negeri orang, yang difasilitasi Chief Justice itu.

Namun, belakangan baru ketahuan mengapa para penonton lain tersenyum setelah memperhatikan kami ketika menyanyikan lagu “Geelong sipatu Geelong, Geelong sirama-rama…”.  Ternyata kami pada memakai selendang biru tua bergaris putih, sebagai atribut tim “Collingwood”, yang kami tidak tahu sebelumnya.  Mungkin para penonton itu berfikir, atau malah bingung, “kelompok mana ini, dalam nyanyiannya selalu nyebut “Geelong”, tapi atributnya “Collingwood?”.  Hehe…, dasar “bobotoh” gadungan, tidak tahu mana lawan mana kawan.

Kami pulang ke apartemen dengan puas, bukan karena telah menikmati tehnis permainan bola Australia, sebab nontonpun baru pertama kali, namun karena telah menikmati suasana dan pengalaman baru yang mungkin tidak akan pernah kami alami lagi. Di samping itu, kamipun puas dan bangga atas penghormatan yang diberikan oleh Chief Justice dan jajarannya, kepada para peserta pelatihan dari peradilan agama ini.

Kegembiraan kami ketika hampir tiba di apartemen sedikit terusik. Saat itu diketahui, Bu Maryam, Pansek PTA Yogyakarta waktu itu, hilang, tidak terangkut bis kami ketika pulang. Bu Maryam, jelas ketinggalan. Kami bingung. Tapi, hebatnya beliau, begitu kami turun dari bis untuk masuk ke apartemen, beliau telah tiba lebih dulu dengan menyewa taksi sendirian. Kamipun bersyukur dan senang.

****

Dari pengalaman nonton bola bareng itu, saya mendapat banyak pelajaran. Betapa hebatnya Ibu Diana Bryant, sebagai Chief Justice dari suatu pengadilan yang berskala nasional di suatu negara maju, yang sifat dan sikapnya sangat menakjubkan.


Sifatnya yang ramah, supel, sederhana, selalu menghormat staf, kolega dan tamu, tapi tetap menjaga muru’ah, dapat menjadi contoh bagi kita dalam kehidupan  sehari-hari. Saya yakin, Peradilan Agama akan tambah maju, jika pimpinan, hakim dan aparatnya menerapkan sifat-sifat itu dalam pergaulan sehari-hari  di kantor. Bukankah itu sifat yang Islami, yang para ulama dan hakim-hakim kita dahulu selalu melaksanakan dan memeliharanya?

Barangkali karena sifat-sifat itulah, Bu Diana dikenal berhasil dalam menjalankan tugasnya sebagai Chief Justice Family Court of Australia (FCoA), yang sudah diembannya selama 7 tahun lebih. Pantas pula beliau ini pernah dianugerahi sebagai “Queen’s Counsel” pada tahun 1997, suatu penganugerahan yang prestisius di bidang hukum dan peradilan di Australia.

Saya yakin karena kepemimpinan dan support  dari Bu Diana pula, Richard Foster sebagai CEO (semacam Pansek, red) FCoA, terpilih sebagai President of IACA (International Association of Court Administration) tingkat dunia pada pemilihan tahun 2009 di Istanbul Turki.

Saya juga yakin, karena sifat-sifat itu pulalah hubungan antara FCoA yang dipimpinnya, dengan Mahkamah Agung Indonesia, berjalan mulus, lancar dan dianggap berhasil dalam meningkatkan banyak hal untuk pengembangan peradilan di ke dua negara.

Oleh karena itu, pelajaran yang baik dari manapun datangnya pantas untuk kita terima dan laksanakan. Dalam era reformasi yang sedang kita galakkan, pimpinan, hakim dan para pejabat Peradilan Agama sangat dituntut untuk menerapkan sifat-sifat kepemimpinan yang terpuji, dapat diteladani, punya visi dan selalu mengayomi.

Kalau itu semua sudah terjadi, maka badan peradilan Indonesia yang agung yang dicita-citakan kita semua akan segera terwujud dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi. Mudah-mudahan. (WW).

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice