POLIGAMI: DARI MUHAMMAD ABDUH SAMPAI TAFSIR FEMINIS
Oleh: Fahadil Amin Al Hasan, S.Sy., M.Si
(Calon Hakim Magang Pengadilan Agama Bandung Kelas IA) &
Gumilar Irfanullah, Lc., M.Si
(Dosen IAIN Cirebon)
A. Pendahuluan
Hadirnya praktik poligami dalam kehidupan Muslim nampaknya masih menarik perdebatan yang sengit terkait cara pandang terhadap wanita. Dalam diskursus kewanintaan moderen, ada cara pandang yang mengatakan bahwa poligami merupakan aksi yang merampas hak-hak wanita dan mencengkeram kebebasannya. Sebagai warisan dari fenomena feminisme yang menyeruak sejak abad 19 M, emansipasi wanita menjadi salah satu hak yang disuarakan secara keras dalam masyarakat modern. Beberapa negara Barat bahkan membuat peraturan sipil khusus untuk melarang praktik poligami, semisal Prancis, Italia, Yunani dan negara-negara Eropa lainnya. Emansipasi wanita yang memandang poligami sebagai bentuk “pencengkeraman” terhadap hak asasi wanita mulai menjangkit budaya-budaya Timur yang sudah sejak lama terbiasa dengan poligami. Konsep emansipasi wanita “radikal” mulai menggerogoti cara pandang budaya setempat terhadap wanita, sehingga beberapa negara Islam memberlakukan peraturan-peraturan khusus untuk praktik poligami. Tunisia, berbeda dengan negara berpenduduk Muslim lainnya, melarang secara legal praktik poligami dan akan mengganjar pelakunya dengan hukuman penjara atau denda.[1]
[1] https://dunia.tempo.co/read/1169708/jadi-kontroversi-warga-tunisia-minta-poligami-diatur-hukum diakses pada tanggal 10 Agustus 2019
Selengkapnya KLIK DISINI