NASKAH KHUTBAH IDUL FITRI 1434 H/8 AGUSTUS 2013
Di Masjid Al-Mughirah Pisangan, Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan
Oleh: Prof. DR. H.M. Atho Mudzhar
(Guru Besar Pada Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta)
Bismillahirrohmanirrohim.
Assalamu’alaikum w. w.
Kaum muslimin dan muslimat yang kami hormati.
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadhirat Allah SWT bahwa pada pagi hari yang penuh kedamaian ini, kita masih diberi umur panjang sehingga kita dapat menyaksikan dan melaksanakan salat sunat Idul Fitri 1434 H/8 Agustus 2013 sekarang ini. Kita datang berduyun-duyun ke tempat ini untuk mengumandangkan takbir dan tahmid, serta melaksanakan salat sunat Idul Fitri, menandai berakhirnya bulan suci Ramadhan 1434 H dan datangnya tanggal 1 Syawwal 1434 H. Hari ini kita bersuka cita karena telah mendapatkan kesempatan untuk menunaikan ibadah puasa Ramadhan dengan segala amalan-amalan kebaikan yang ada di dalamnya yang pahalanya dijanjikan oleh Allah berlipat ganda, apalagi apabila kita memperoleh Lailatul Qadar, yang pahalanya lebih baik dari amalan ibadah 1000 bulan atau sekitar 80 tahun. Bulan Ramadhan memang laksana tamu agung yang penuh berkah dan ampunan. Sejak terbenam matahari kemarin sore, bulan yang agung itu telah pergi. Mudah-mudahan kita telah berhasil dalam puasa kita, dan marilah kita juga memohon kepada Allah SWT semoga kita akan diberi kesempatan untuk bertemu kembali dengan bulan Ramadhan pada tahun depan. Amin.
Allahu Akbar 3x Walillahilhamd.
Kaum muslimin dan muslimat yang kami hormati.
Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah dalam Al-Quran, surat Al-Baqarah ayat 183, tujuan puasa ialah agar kita menjadi orang yang bertaqwa, Laállakum tattaqun. Dalam bahasa Arab, kata LA’ALLA disebut sebagai ungkapan ungkapan TARAJJI, artinya suatu harapan yang tidak mustahil dan dapat direalisasikan dalam kenyataan. Lawannya ialah TAMANNI yang berarti keinginan yang hanya bersifat angan-angan. Dengan demikian ujung dari pelaksanaan ibadah puasa sebulan penuh ialah tercapainya derajat taqwa. Kata taqwa itu biasanya diartikan sebagai menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya. Pengertian demikian tentulah sudah benar, terutama dalam pandangan yang legalistic, dari segi hukum. Tetapi kalau kita cermati beberapa ayat Al-Quran yang menguraikan mengenai sifat-sifat orang yang muttaqin, ternyata kata taqwa juga mempunyai arti dalam dimensi teologis dan psikologis atau tasawuf. Marilah kita perhatikan beberapa ayat Al-Quran di bawah ini.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 1 s/d 5 dikatakan sebai beikut:
Artinya:
Alif lam mim. Itulah kitab (al-Quran) yang tiada keraguan padanya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang taqwa (muttaqin); yaitu orang-orang beriman kepada yang ghaib (iman kepada Allah dan Malaikat), menegakkan salat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka; kemudian juga beriman kepada (kitab) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan kitab-kitab yang diturunkan kepada (rasul-rasul) sebelum kamu; serta meyakini akan datangnya hari akherat. Mereka itu adalah orang-orang yang berada dalam koridor petunjuk Tuhan dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan. (Surah Al-Baqarah, 1-5).
Ayat-ayat tersebut memperlihatkan bahwa selain melaksanakan salat dan membayar zakat, ciri-ciri lain dari muttaqin adalah bersifat teologis, bersifat keimanan, yaitu beriman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab dan hari akherat.
Kemudian dalam Surat Ali ‘Imran ayat 133-136 disebutkan sebagai berikut:
Artinya:
Dan bersegeralah kamu menuju ampunan Tuhannmu dan menuju taman surga yang lebarnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang taqwa (muttaqin); yaitu orang menafkahkan harta mereka baik dalam keadaan sempit maupun lapang, mampu menahan marah, suka memberi maaf kepada sesama manusia, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan. (Orang muttaqin) juga adalah orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, segera mengingat Allah, kemudian memohon ampun kepadaNya atas dosa-dosanya itu, karena siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah; kemudian tidak mengulangi perbuatan buruknya sedangkan mereka mengetahuinya. Balasan bagi mereka itu ialah ampunan Tuhan dan surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, merekapun kekal di dalamnya.Itulah sebaik-baik balasan bagi orang yang beramal. (Ali Imran, ayat 133-136).
Ayat-ayat di atas menerangkan bahwa kualitas orang yang taqwa itu selain menafkahkan harta, ialah kualitas-kualitas kepribadian mulia yaitu tidak pemarah, pemaaf, suka berbuat kebaikan (dermawan), dan senantiasa bertaubat kepada Allah SWT. Kualitas-kualitas ini nampaknya lebih bersifat psikologis dan kepribadian mulia atau akhlakul karimah.
Allahu Akbar 3x Walillahilhamd.
Kaum muslimin dan muslimat yang kami muliakan.
Dari ayat-ayat di atas terlihat bahwa terhadap definisi taqwa yang cenderung bersifat legalistic, yaitu menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi laranganNya, sesungguhnya harus ditambahkan pula dua dimensi lain yaitu dimensi keimanan dan akhlak (kepribadian mulia). Karena itulah suksesnya pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan bukan hanya karena telah ditahannya secara fisik rasa lapar dan haus selama seharian, sejak terbit fajar sampai terbenam matahari, melainkan juga apabila si pelaku puasa itu dapat memperkuat tali iman kepada Allah SWT, menjadi lebih dermawan dan mampu menahan diri dari segala godaan syeitan yang bersifat psikologis seperti nafsu amarah, berkata dusta, serakah, dan lain-lain. Sifat-sifat kejiwaan mulia ini biasanya banyak dilatihkan oleh kaum sufi. Dengan kata lain, selain berdimensi legal, puasa juga berdimensi eskatisme (ascetism). Bahkan boleh dikatakan bahwa ibadah puasa Ramadhan adalah gerakan eskatisme yang terprogram, terstruktur dan bersifat massal dalam Islam. Adanya hadis-hadis Nabi Muhammad yang menekankan aspek spiritualitas puasa menjadi bukti pentingnya dimensi eskatisme dalam ibadah puasa Ramadhan.
Dalam sebuah hadis diriwayatkan dari Abi Hurairah bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda:
Artinya:
Dari Abi Hurairah Nabi Muhammad SAW bersabda: (Orang yang berpuasa) tetapi tidak meninggalkan perkataan kotor bahkan (tetap) mengamalkan (yang kotor itu), maka Allah tidak perlu (memperhatikan fakta) bahwa ia telah meninggalkan makan dan minum (selama puasanya.(Riwayat Bukhari, hadis Nomor 1784).
Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas dikatakan:
Artinya:
Abu Hurairah berkata bahwa Nabi Muhammad itu adalah orang yang paling dermawan; tetapi pada bulan puasa Ramadhan beliau lebih dermawan lagi. (Riwayat Bukhari).
Bahkan dalam sebuah hadis riwayat Al-Nasai dari Abi Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda:
Artinya:
Berapa banyak orang yang berpuasa yang tidak mendapatkan sesuatu apapun , kecuali lapar dan dahaga. (Riwayat An-Nasai).
Kaum muslimin dan muslimat yang kami hormati.
Dengan demikian pada hari Idul Fitri ini, setelah sebulan penuh kita berpuasa Ramadhan, maka secara teoritik semestinya setiap kita telah menjadi orang yang taqwa dalam tiga dimensi pengertiannya itu, yaitu taqwa dalam pengertian legal, menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya; taqwa dalam pengertian keimanan, semakin kuat imannya dan semakin dekat jaraknya kepada Allah; dan taqwa dalam pengertian karakter psikologis atau akhlak (kepribadian) mulia. Marilah kita evaluasi diri kita masing-masing, seberapa jauh hasil puasa dalam tiga dimensinya itu telah kita raih. Mudah-mudahan ada diantara kita yang telah berhasil meraih seluruh tujuan puasa yang komprehensif itu pada hari ini. Dalam praktek dan untuk kebanyakan orang, tujuan puasa yang amat komprehensif itu mungkin sulit dicapai seluruhnya pada hari ini. Mereka mungkin baru meraih sebagiannya, tetapi hal itu tidak mengapa karena taqwa adalah juga suatu proses. Itulah sebabnya mungkin dalam ayat yang mewajibkan puasa Ramadhan itu Allah menggunakan kata kerja , FIIL MUDHARI’, yaitu TLA’LLAKUM ATTAQUN, bukan LITAKUNU MINAL MUTTAQIN misalnya, sehingga TATTAQUN dapat diartikan sebagai proses menjadi taqwa. Maksudnya mulai hari ini, kita perlu terus melakukan upaya-upaya dan penyesuaian-penyesuaian agar tujuan-tujuan puasa yang belum tercapai itu dapat segera kita raih pasca Idul Fitri ini sambil kita amalkan dalam sebelas bulan mendatang serta sekaligus sambil menghadapi atau meresponi tantangan-tantangan baru kehidupan keberagamaan yang terus berubah di depan dan di sekeliling kita.
Allahu Akbar 3x Walillahilhamd.
Kaum muslimin dan muslimat yang berbahagia.
Tantangan kehidupan keberagamaan kita setahun ke depan, sebagaimana biasanya, nampaknya juga akan beragam dan sebagiannya mungkin tidak mudah. Insyaallah dengan bekal hasil puasa Ramadhan, semua tantangan itu akan dapat kita hadapi dengan izin Allah SWT. Amin ya rabbal ‘alamin. Apabila disederhanakan, ada tiga jenis tantangan kehidupan keberagamaan ke depan: pertama, tantangan yang bersifat perseorangan; kedua, tantangan yang bersifat kelompok kecil (keluarga); dan ketiga, tantangan yang bersifat kelompok besar dalam masyarakat, bangsa atau masyarakat dunia.
Mengenai tantangan kehidupan keberagamaan yang bersifat perseorangan, nampaknya yang paling menonjol ialah gejala materialisme di negeri kita ini. Arti dan manfaat dari segala tindakan kita sekarang ini secara sadar atau tidak sadar diukur dari segi keuntungan materiil yang diperoleh. Gejala ini bergandengan dengan gejala sekularisme yang pada ujungnya akan mendorong manusia secara pelan-pelan melupakan akan adanya kehidupan akherat dan bahkan melupakan adanya Sang Maha Pencipta alam jagat raya ini sendiri, Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Keterlibatan sejumlah pejabat public dan politisi, bahkan juga pelaku-pelaku ekonomi dari sector swasta, dalam tindak pidana korupsi adalah pertanda telah semakin mengguritanya sikap hidup materialistic dan telah semakin merasuknya pengaruh faham materialisme di kalangan anak bangsa ini. Allah berfirman dalam surat Al-Adiyat ayat 8 sebagai berikut:
Artinya:
Dan sesungguhnya manusia itu sangat berlebihan dalam mencintai materi. (Al-Adiyah: 8).
Inilah tantangan yang paling berbahaya, karena pelan-pelan akan menggusur iman kita. Di sinilah hasil puasa Ramadhan harus kita maksimalkan penggunaan dan dampaknya. Iman kita kepada Allah SWT yang insyaallah telah semakin kuat selama Ramadhan sebagai hasil ibadah dan TAQARRUB kita, hendaknya kita gunakan sebagai JUNNAH, sebagai perisai, untuk menahan dan melawan bahaya filsafat hidup materialistik dan sekularistik itu. Bahkan dengan adanya tantangan itu, iman kita justru akan semakin kuat sebagaimana firman Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 124 yang berbunyi:
Artinya:
Adapun orang-orang yang (sungguh-sungguh) beriman, maka akan semakin bertambah (kuat) iman mereka. (At-Taubah, 124).
Kaum muslimin dan muslimat yang kami hormati.
Tantangan kehidupan keberagamaan yang kedua menyangkut pemeliharaan keberagamaan dalam keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakt. Dunia kita sekarang ini adalah dunia kemajuan teknologi informasi dan kebebasan berekpresi. Dengan alat-alat komunikasi yang ada, segala macam informasi membanjiri rumah kita. Sebagian informasi itu tentu saja amat positif dan diperlukan bagi kemajuan kehidupan manusia, seperti informasi tentang kemajuan Iptek, informasi tentang ketersediaan lembaga-lembaga pendidikan, informasi tentang solidaritas masyarakat dunia atas musibah bencana alam yang melanda sesuatu negeri, informasi tentang upaya-upaya perdamaian di berbagai belahan dunia, dan lain-lain. Selain itu banyak pula informasi negative yang sesungguhnya tidak kita perlukan sebagai manusia mukmin dan muslim, seperti informasi tentang kekerasan, prilaku menyimpang, penipuan, perdukunan, dan lain-lain yang oleh para pelakunya dianggap sebagai perbuatan yang biasa-biasa saja. Kehadiran informasi-informasi seperti ini telah berdampak negative karena menyandingkan atau bahkan mencampuradukkan nilai-nilai rendah dari berbagai pndangan dan prilaku menyimpang dengan nilai-nilai luhur agama. Apabila keluarga kita kurang mampu melakukan penyaringan dan seleksi, maka anak-anak kita akan dapat terpengaruh oleh nilai-nilai rendah itu. Banyak keluarga telah sanggup membuat mekanisme pertahanan diri (defensive mechanism) atas kebanjiran nilai yang heterogen dan saling bertentangan itu dengan cara menjaga anak-anak mereka agar hanya disuguhi berita dan informasi positif, tetapi banyak pula keluarga yang tidak mampu mengendalikan telunjuk jari mereka untuk sekedar mematikan sesuatu program tayangan tv yang terpapar di layar kaca tv mereka. Waktu-waktu makan sahur selama Ramadhan yang seharusnya diiringi lantunan ayat-ayat suci Al-Quran dan kesyahduan doa-doa, dinodai oleh lawakan ke kanan dan ke kiri yang tidak membawakan nilai-nilai luhur agama, sementara banyak keluarga justru mempersilahkan tayangan tak bermutu tinggi itu masuk ke dalam rumah mereka di pagi buta itu karena merekalah sesungguhnya yang menghidupkan tv itu di rumah mereka. Dalam kaitan ini, nilai-nilai luhur hasil puasa hendaknya kita maksimalkan untuk menghadapi tantangan-tantangan seperti itu. Kedisiplinan dan kecermatan yang kita latihkan selama bulan puasa, hendaknya kita terapkan pula dalam mengatur informasi bagi keluarga kita. Sebaliknya informasi-informasi positif yang masuk ke rumah kita, hendaknya kita kembangkan dan lipatgandakan dengan nilai-nilai kedermawanan, silaturrahmi, dan solidaritas social yang kita peroleh dari latihan puasa Ramadhan.
Kaum muslimin dan muslimat yang kami hormati.
Adapun tantangan kehidupan beragama ketiga yang menyangkut kehidupan masyarakat luas, dua yang utama diantaranya ialah di bidang ekonomi dan politik. Di bidang ekonomi, Umar Juoro, seorang pakar mengatakan bahwa sampai pertengahan tahun depan kita masih akan mengalami ketidakpastian ekonomi. Inflasi akibat kenaikan harga BBM baru-baru ini yang semula diperkirakan pemerintah hanya 7,2 % ternyata faktanya mencapai 8,6 %. Penyebab utamanya karena keterlambatan pemerintah mengendalikan harga bahan pangan. Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga 0,75% dan dengan laju inflasi seperti sekarang kemungkinan BI akan menaikan lagi sukubunganya. Jika ini terjadi maka implikasinya akan menaikan bunga pinjaman dan sekaligus menurunkan pertumbuhan ekonomi. Dengan pertumbuhan ekonomi yang menurun itu dan dengan keadaan ekonomi global yang belum membaik, maka diperkirakan kesempatan kerja tidak akan membaik sampai petrtengahan tahun depan dan harga bahan pangan akan terus bergejolak karena masih banyak yang harus tergantung kepada impor. Hasil akhirnya ialah bahwa rakyat akan menanggung beban ekonomi lebih berat lagi daripada beban sekarang yang sudah berat ini. Artinya angka kemiskinan tidak akan menurun, bahkan mungkin meningkat. Dalam keadaan demikian maka kita dipanggil untuk menerapkan nilai solidaritas social yang telah kita latihkan selama bulan puasa Ramadhan. Kita harus lebih sering lagi berbagi, kita harus lebih dermawan lagi ke depan. Bagi mereka yang memiliki modal, hendaklah segera menginvestasikannya di sector ekonomi riil untuk ikut menumbuhkan lapangan kerja. Bagi mereka yang bergerak di bidang social, agar segera memperkuat system kesejahteraan social kita, termasuk melalui simpul-simpul dan lembaga keagamaan agar resources atau kekayaan tidak bergulir hanya di kalangan segelintir orang kaya saja. Allah berfirman dalam surat Al-Hasyr ayat 7 sebagai berikut:
Artinya:
Agar resources (kekayaan) itu tidak berputar hanya di kalangan orang-orang kaya di antara mereka. (Al-Hasyr: 8).
Di bidang politik, tantangan kita setahun ke depan adalah jelas karena kita akan menyelenggarakan pemilihan umum. Para politisi bahkan telah menyebutnya sebagai tahun politik, meskipun penyebutan itu sesungguhnya keliru, karena pandangan seperti itu adalah padangan dari sudut partai politik yang hendak beramai-ramai berkompetisi memperebutkan kursi parleman/kursi perwakilan dan kursi kepresidenan. Sesungguhnya bagi rakayt, tahun politik itu bukan ketika mereka ramai-ramai memilih para wakil atau pimpinan mereka, tetapi tahun politik adalah tahun ketika para wakil rakyat atau pimpinan yang dipilih itu bekerja keras mewujudkan politik nasional Indonesia memakmurkan rakyat. Dalam rangkaian menuju pemilihan umum itu banyak janji dan bujuk rayu akan disampaikan kepada rakyat dan kita telah menyaksikan hal seperti ini pada pemilu-pemilu sebelumnya. Kali ini rakyat harus lebih bermartabat dengan mengatakan “no” terhadap money politics (politik uang/suap suara). Kali ini rakyat harus lebih bermartabat dengan mengatakan “no” terhadap calon pemimpin/calon wakil rakyat yang tidak bersih dari korupsi. Kali ini rakyat harus lebih bermartabat dengan mengatakan “no” terhadap calon pemimpin/calon wakil rakyat yang hanya suka mengumbar janji, tetapi lamban dan tidak suka bekerja keras untuk rakyatnya. Kali ini rakyat harus lebih bermartabat dengan mengatakan “no” terhadap konflik-konflik kelompok sebagai ekses Pemilu, karena hanya akan merusak kesatuan dan persatuan Indonesia. Seperti halnya orang yang sedang berpuasa yang digoda oleh berbagai godaan maksiat atau keburukann hati, katakan “no” terhadap semua godaan itu. Katakan “Inni shoimun.” Aku sekarang berpuasa atas segala yang akan menodai Pemilu itu. Katakan: aku sekarang adalah warga Negara yang bermartabat. Itulah panggilan untuk menerapkan hasil puasa kita menghadapi tantangan kehidupan di bidang politik ke depan. Katakan: aku akan ikut ambil bagian dalam pemilu itu, tetapi dengan tetap menjaga martabat rakyat.
Allahu Akbar 3x, Walillahilhamd.
Kaum muslimin dan muslimat yang kami hormati.
Demikianlah uraian singkat mengenai dimensi-dimensi taqwa tujuan puasa dan implementasinya dalam menghadapi tantangn kehidupan ke depan. Semoga ada manfaatnya. Pasca Ramadhan ini, marilah kita saling berwasiat untuk terus menghidupkan nilai-nilai hasil puasa kita: keimanan yang semakin kokoh dan istiqomah, ibadah yang semakin baik, hati yang semakin bersih, kedisiplinan yang meningkat, kesabaran yang semakin teguh, kedermawanan yang meningkat, sifat pemaaf yang semakin lembut, kejujuran yang semakin tinggi, karakter kepribadian yang semakin terpuji, dan ukhuwwah serta solidaritas social yang semakin tinggi. Marilah kita juga saling memaafkan untuk menyambung yang terputus dan memulai hubungan silaturrahim yang baru. Akhirnya marilah kita menengadahkan tangan, berdoa dan memohon kepada Allah SWT, bagi keselamatan kita semua, keselamatan bangsa Indonesia, dan keselamatan umat manusia secara keseluruhan . Amin ya rabbal alamin. Alhamdulillahi rabbil’alamin. Allahumma salli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi wasahbihi ajma’in.
Ya, Allah ya Tuhan kami. Ampunilah segala dosa kami dan dosa kedua orang tua kami. Ampunilah pula dosa nenek dan kakek kami serta semua keluarga yang telah mendahului kami.
Ya Allah ya Tuhan kami, meskipun kami tidak maksimal dalam mengisi bulan Ramadhan lalu, tetapi izinkanlah kami memohon kiranya kami dipertemukan kembali dengan bulan Ramadhan yang akan datang. Berilah kami petunjuk dan kekuatan untuk mempertahankan hasil puasa kami yang sedikit itu dan mengamalkan serta mengembangkannya ke depan dalam proses tiada henti untuk menjadi orang yang taqwa.