Oleh : Drs. H. Djahidin Jamil
Manusia di berbagai tingkatan usia selalu berharap agar mendapatkan masa depan yang baik. Dimasa anak-anak manusia berangan-angan kiranya diusia remajanya ia menjadi orang yang tampil dan unggul dari kawan-kawannya, baik disegi pendidikan,keterampilan dan lain sebagainya. Dimasa remaja, manusia selalu berkhayal dan berandai-andai kiranya ia diwaktu dewasanya menjadi orang yang berhasil, baik disegi ekonomi, pendidikan, keluarga, sehingga ia membayangkan bagaimana ia bisa mendapatkan penghasilan yang lumayan, rumah dan kendaraan yang mewah serta didampingi oleh seorang isteri yang cantik bagi peria, atau dibimbing oleh suami yang ganteng dan tampan bagi seorang wanita.
Seorang mukmin yang betul-betul beriman, terutama beriman dengan Allah dan hari yang akhir pasti mereka berharap dan mengkhayalkan bagaimana ia bisa mendapatkan kehidupan yang baik di akhirat kelak, sehingga ia membayangkan bagaimana nikmatnya hidup di surga yang serba indah dan serba ada. Apa yang diinginkan, akan muncul sendiri tanpa dicari. Isteri yang mendampingi selalu perawan setiap kali digauli. Begitulah kenikmatan surga yang selalu diimpikan oleh setiap insan yang beriman.
Dalam mewujudkan dan merealisasikan impian masa depan yang baik itu, baik masa depan yang duniawi apalagi masa depan yang ukhrawi, maka sebaiknya kita kembali dan berpedoman kepada beberapa ayat Allah, antara lain surat an-Nahl ayat 97 sebagai berikut:
من عمل صالحا من ذكر او انثى وهو مؤمن فلنحيينه حياة طيبة
" Barang siapa yang mengerjakan amal shalih ,baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan, sedangkan ia beriman,maka pasti bakal kami (Allah) berikan kepada-nya kehidupan yang baik". Beberapa ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kata-kata hayatan thayyibah (kehidupan yang baik) dalam ayat tersebut adalah kehidupan yang baik di akhirat kelak, yaitu kehidupan di surga yang serba indah dan nikmat. Penafsiran ini didukung oleh kurang lebih 60 ayat yang tersebar dalam Al-Qur’an. Seperti yang terdapat dalam surat an-Nisak ayat 57 sebagai berikut
واَّلِذين امنوا وعملوا الصالحات سندخلهم جنات تجرى من تحتها الانـهار خالدين فيها ابـدا
"Dan orang-orang yang beriman dan beramal salih bakal Kami (Allah) masukan kedalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, dan mereka kekal didalamnya untuk selama-lamanya",
Selain pengertian diatas, Hayatan Thayyibah dapat juga diartikan dengan kehidupan yang baik, aman dan tenteram di dunia ini. Pengertian dan penafsiran ini selain didukung oleh riel dan kenyataan, juga didukung oleh beberapa ayat, seperti yang terdapat dalam surat Al-Qasas ayat 67 sebagai berikut :
فاما من تاب وامن وعمل صالحا فعسى ان يكون من المفلحـين. سورة القـصص اية
"Maka adapun orang yang bertaubat, beriman dan percaya diri serta beramal saleh /mengerjakan pekerjaan yang baik, maka ia akan termasuk orang yang beruntung kelak. (Q.S. Al-Qasas: 67)
Berikut surat Al-Baqarah ayat 277 yang berbunyi sebagai berikut :
ان الذيـن أمنوا وعملوا الصالحات واقا موا الصلاة واتوا الزكاة لهم اجرهم عند ربـهم ولا خوف عليهم ولا هم يحـزنون سورة البقرة اية .
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh (mengerjakan pekerjaan yang baik) dan mereka mendirikan shalat dan membayarkan zakat, mereka akan mendapatkan upah disisi Tuhannya, dan mereka tidak akan merasa takut dan gelisah dalam kehidupannya".
Dari dua ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang beriman dan percaya diri serta mau mengerjakan pekerjaan yang baik, maka Allah akan memberikan keberuntungan kepada mereka dimasa depannya, sebagaimana yang tercantum dalam ayat yang pertama, dan mereka akan terhindar dari rasa takut dan gelisah dalam kehidupannya, sebagaimana yang dipahami dari ayat yang kedua. Keberuntungan tersebut, apakah mereka diberi kekayaan yang bermanfaat oleh Allah, atau mereka diberi anak dan keturuan dalam satu rumah tangga yang bahagia yang sakinah atau yang lain-lainnya, semuanya tergantung kepada pemberian Allah. Yang penting orang tersebut merasa beruntung dari pemberian Allah itu. Keberuntungan yang dilengkapi dengan rasa aman, tenteram serta terhindar dari rasa takut dan gelisah itulah, salah satu yang dimaksud dari Hayatan Thayyibah dalam ayat diatas.
Selain dukungan dari dua ayat yang berlalu, prinsip ayat 97 surat An-Nahl ini, dapat juga di buktikan dalam kehidupan yang lalu, sekaligus dapat diterapkan dalam kehidupan selanjutnya, dalam rangka mencapai dan meraih kehidupan yang baik di masa depan.
Untuk mendapatkan kehidupan yang baik dimasa depan, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kemasyarakatan berdasarkan ayat tersebut, ada tiga kata kunci yang harus diperhatikan. Pertama kataعمل منyaitu berbuat dan bekerja. Kedua kata صالحا yaitu perbuatan yang dikerjakan itu perbuatan yang baik. Ketiga kata وهو مؤمـن yaitu seseorang itu beriman dan percaya diri tidak boleh ragu-ragu dalam berbuat, tentunya sesuai dengan ilmu pengetahuan dan kemampuan masing-masing. Setelah terujud ketiga kata kunci tersebut, baru Allah akan memberikan حياة طيبـة yang dijanjikan-Nya itu. Jika salah satu dari tiga kata kunci tersebut tidak terpenuhi, jangan diharapkan akan terujud kehidupan dan masa depan yang baik, sebagai mana yang diharapkan.
Dalam kehidupan pribadi orang yang tidak mau bekerja, jarang atau tidak mungkin sama sekali untuk mendapatkan kehidupan yang baik kelak. Kalaulah ada, hanya jarang sekali, seperti orang menerima warisan dalam jumlah besar dan orang yang selalu dibiayai oleh orang tuanya, sedangkan ia sudah dewasa. Namun lambat laun ia pasti merasa resah dan gelisah, karena ia khawatir sewaktu-waktu harta warisan itu habis begitu saja tanpa bisa mengembangkannya, dan karena hidupnya selalu tergantung kepada orang tuanya. Apakah ia akan merasa senang bila waktunya dihabiskan dengan duduk-duduk diwarung dan nongkrong di gang-gang dan perempatan jalan, sementara untuk membeli rokok sebungkus harus meminta kepada orang tua, rasanya tidak mungkin. Dalam hal ini Allah juga memberikan pedoman dalam Al-Qur’an surat ar-Ra’d ayat 12 sebagai berikut:
ا ن الله لا يغيـروا ما بـقوم حتى يغيـر ما بـانفسـهم . سورة الـرعـد اية
"Sesungguhnya Allah tidak akan merobah keadaan suatu kaum selama kaum itu belum berusaha untuk merobahnya".
Bagi orang yang tidak mau kembali dan berpedoman kepada ayat Allah ini, disinilah sering timbul kecemburuan sosial dalam kehidupan terhadap orang-orang yang berhasil dalam kehidupan, sementara mereka yang cemburu tutup mata terhadap langkah-langkah dan usaha-usaha yang ditempuh dan dilalui orang yang berhasil itu dari awal. Orang yang sudah kaya itu biasanya berawal dari susah, seperti pedagang osongan, pedagang kaki lima dan lain sebagainya. Seorang Pejabat bisa menjadi pejabat, pasti berawal dari pendidikan, mulai dari Taman Kanak-kanak, sekolah Dasar, sekolah menengah dan Perguruan Tinggi.
Dalam menempuh dan menjalani pendidikan tersebut, pasti melalui suka dukanya. Sering-ditemui orang yang berhasil dalam karirnya itu orang yang mengalami duka dan kesulitan dalam menjalani pendidikannya. Apakah itu berjualan Koran, atau menjadi Pembantu Rumah Tangga, atau menjadi buruh dan lain sebagainya dalam rangka melanjutkan pendidikannya. Sekiranya kita melihat langkah-langkah yang ditempuh oleh orang yang berhasil itu, insya-Allah kita akan terhindar dari rasa cemburu terhadap orang berhasil, dan mudah-mudahan kita bisa berbuat untuk masa depan kita, sesuai dengan prinsip ayat 97 surat An-Nahl tersebut.
Dalam mencapai masa depan yang baik itu , bukan hanya memerlukan mau bekerja saja, tetapi yang terpenting lagi pekerjaan itu harus baik. Banyak contoh yang bisa dilihat, bahwa kebanyakan orang yang berhasil melalui usaha dan pekerjaan yang tidak baik dan tidak benar tersebut, walaupun pada awalnya ia merasa kaya dan berhasil, namun pada akhirnya ia sering mendapatkan kesengsaraan lahir atau batin, ketidak-tenangan, dan kegelisahan dalam kehidupannya, baik kegelisahan dalam batinnya maupun dalam keluarganya.
Semua amal dan pekerjaan yang akan diamalkan itu, tentu tidak akan terlaksana tanpa adanya iman dan percaya diri yang mantap dalam diri kita masing-masing.
Dalam kemasyarakatan, terutama dalam kegiatan dan aktivitas keagamaan, kita juga harus kembali kepada prinsip ayat ini. Dalam kehidupan ini, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat kita dituntut untuk beramal dan berbuat, tidak perlu banyak bicara dan banyak publikasi. Banyak bicara dan banyak publikasi tanpa dibarengi dengan amal perbuatan secara nyata tidak ada hasilnya. Puluhan bahkan ratusan ayat dalam Al-Qur’an yang menyatakan bahwa: Allah hanya menilai amal dan perbuatan manusia. Antara lain dalam surat az-Zumar ayat 35, sebagai berikut :
ويجزيهم اجرهم باحسن الذي كانوا يعملون
"Allah akan membalasi dan memberi upah mereka dengan yang terbaik dari apa yang mereka amalkan (kerjakan)".
Dan surat al-Baqarah ayat 74. yaitu :
وما الله بغا فـل عـما تعـملون
"Allah tidak akan lengah dari apa yang kamu kerjakan". (al-Baqarah, 74).
Berdasarkan dua ayat ini, tergambar bahwa yang dituntut dan dinilai Allah dari manusia adalah amal perbuatan, bukan yang lain. Semua umat Islam dituntut (wajib ‘ain) baginya untuk berjihad menegakan agama-Nya. Tentunya sesuai dengan forsi dan kemampuan masing-masing. Yang berilmu dan yang ahli berkewajiban untuk mengajar dan berda’wah. Yang berkuasa (Pejabat), disamping menjalankan tugas pokok, juga harus memperjuangkan agama lewat kekuasaan yang diberikan Allah kepadanya. Bagi yang ahli fikir dan manajmen tentu bertugas menata dan mengatur bagaimana cara pembinaan dan pengembangan agama yang baik. Yang kaya harus menyumbangkan sebagian hartanya untuk kepentingan Islam, terutama membiayai pembinaan-pembinaan dari segala lapisan, mulai dari tingkat anak-anak, remaja dewasa dan muallaf. Baik untuk kepentingan secara umum apalagi untuk kepentingan guru-guru dan da’i-da’i yang kurang mampu. Semua lapisan itu harus bekerja dengan baik, dan betul-betul karena menegakan agama Allah, bukan karena yang lain, bukan karena mengharapkan materi, apalagi bagi yang sudah mampu. Kita harus berprinsip “ Apa yang telah saya sumbangkan dalam menegakan agama”. Sekali-kali jangan bertekad “apa yang bisa saya ambil dari kegiatan agama”.
Betapa banyaknya tugas dan kewajiban umat Islam dalam usaha menegakan dan mempertahankan keberadaan agama Allah, serta membina umat dalam menjalankan agamanya. Pertama masalah pendidikan, mulai dari pendidikan membaca Al-Qur’an sebagai langkah awal, pembinaan ‘Aqidah dan mental keagamaan yang harus diyakini, pembinaan ilmu syari’ah dan akhlaq yang harus diamalkan, baik untuk seluruh umat, apalagi untuk saudara-saudara kita yang baru se’aqidah dengan kita (muallaf). Begitu juga pengetahuan umum yang sangat mendukung bagi perkembangan agama. Hal ini tidak bisa dilakukan oleh guru-guru dan da’i-da’i saja, apalagi kalau guru dan da’i tersebut orang miskin dan ekonomi lemah.
Dalam pendidikan Al-Qur’an , yang dituntut adalah bagaimana membina umat agar bisa membaca, memahami dan mengamalkan Al-Qur’an itu. Tujuan pendidikan Al-Qur’an bukan untuk di-evaluasi, bukan untuk dilomba dan di musabaqahkan, apalagi evaluasi dan musabaqah yang sampai menghabiskan biaya miliyaran rupiah, dan bukan pula untuk di Wisuda. Semuanya itu hanya sekedar motivasi, bukan tujuan. Tetapi yang jadi tujuan adalah bagaimana umat bisa membaca Al-Qur’an itu setiap hari sebagai ibadah dan penyejuk hati, bagaimana umat bisa memahami, menggali serta mengamalkan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena di dalam Al-Qur’an itu sudah cukup tertuang semua pedoman dan tuntunan hidup, baik kehidupan dunia apalagi kehidupan untuk di akhirat kelak.
Dalam kegiatan keagamaan ini kita tidak perlu banyak bicara dan publikasi, apalagi kalau banyak bicara itu tidak dibarengi dengan amal perbuatan. Karena banyak bicara tersebut, bisa mengakibatkan hal yang tidak baik dalam suatu kegiatan. Seperti rencana untuk melaksanakan suatu kegiatan yang dituangkan dalam suatu proposal yang indah dan muluk, serta dipublikasikan dengan sepanduk yang lebar, bahwa kita akan melaksanakan pelatihan keagamaan sebanyak sepuluh dengan anggaran sekian. Tetapi dalam pelaksanaanya, karena mempertimbangkan segala sesuatu, termasuk mempertimbangkan honor A dan B, jasa ini dan itu, akhirnya pelaksanaan diciutkan, dan target yang tercapai hanya tiga saja diantara sepuluh yang direncanakan.
Melihat proposal dan spanduk besar yang menyatakan kita akan berbuat sepuluh itu, maka pesaing lomba kita berbuat tiga puluh secara riel dan tuntas tanpa spanduk dan tanpa kita ketahui.
Akhirnya, setelah melihat hasil kegiatan masing-masing, maka orang lain (pesaing lomba kita) telah berbuat tiga puluh secara riel dan tuntas, sedangkan kita hanya berbuat tiga saja (10 % dari kegiatan orang lain). Kalau hal yang seperti ini berjalan selama kurang lebih satu dekade (10 tahun), apa yang akan terjadi dalam perkembangan keagamaan, Wallahu a’lam.
Demikianlah prinsip yang terkandung dalam ayat 97 surat an-Nahl tersebut yang sebaiknya kita perpegangi dan jadikan pedoman dalam menempuh hidup dan kehidupan, baik kehidupan dunia apalagi untuk kehidupan akhirat kelak, agar kita bisa mendapatkan kehidupan masa depan yang baik sesuai dengan Hayaatan Thayyibah sebagaimana yang dijanjikan Allah dalam ayat tersebut, amiiin Ya Rabbal’Alamin.