Mendidik Anak dan Masa Depan Kita[1]
Oleh:Samsul Zakaria, S.Sy., M.H.
Calon Hakim di PA Kabupaten Malang Kelas 1A,
Guru Privat Agama di Yogyakarta (2013-2018)
“SEBENARNYA saya ingin haji, Mas. Tapi anak saya banyak. Saya ingat pesan Qur’an. Jangan meninggalkan generasi yang lemah!” tutur seorang bapak saat kami naik travel jurusan Malang-Ponorogo. Bapak yang berprofesi sebagai guru tersebut bagi saya adalah orangtua yang berpikiran maju. Sebagai muslim yang taat tentu dia sadar akan kewajiban haji sebagai penyempurna rukun Islam. Namun mendidik anak agar menjadi generasi yang kuat tidak kalah wajibnya. Bahkan dalam konteks tertentu adalah mendesak.
“Orangtua haruslah menjadi sosok yang pertama mengerti bila anak punya masalah,” lanjutnya setengah menasihati saya. Ungkapan tersebut benar adanya. Sebab, anak yang mendapati orangtuanya sebagai tempat ternyaman untuk curhat tidak akan mencari tempat atau orang lain untuk curhat. Sebaliknya, bila orangtua tidak perhatian dan tidak mau tahu dengan masalah anak maka anak akan mencari kenyamanan di luar rumah. Akhirnya, orangtua tidak lebih mengerti tentang problematika anaknya dibandingkan orang lain.
Setiap orangtua tentu memiliki “seni” tersendiri dalam mendidik anak. Saya terkesan dengan cara almarhum ayah saya memahamkan pentingnya olahraga. Ayah tidak pernah bilang, misalnya, “Olahragalah, Le. Olahraga itu penting untuk kesehatanmu. Dengan olah raga kamu mudah dapat teman.” Tidak, ayah tidak melakukan itu. Ayah melakukan cara yang unik. Setiap ada even olahraga, khususnya bola voli, sepak bola, dan balap motor (grasstrack), saya selalu diajak nonton. Dari situlah saya menjadi cinta olahraga dan berlanjut sampai saat ini.
Cara tersebut nampaknya menarik untuk diduplikasi dalam konteks lain. Targetnya adalah dalam rangka menanamkan kesadaran kepada anak akan pentingnya belajar, olahraga, ibadah, dan segenap hal positif lainya. Anak tidak selalu butuh “ceramah” tentang urgensi hal-hal dimaksud. Anak hanya perlu diajak untuk menyaksikan dan merasakan sensasi belajar, serunya even olahraga, dan syahdunya ibadah. Akhirnya, kesadaran anak akan terbentuk dan yang demikian ini lebih membekas nan bertahan lama.
Namun demikian, setiap orangtua tentu memiliki cara sendiri untuk mendidik anak. Poin pentingnya adalah setiap orangtua harus memiliki komitmen untuk memberikan pendidikan yang terbaik kepada anaknya. Pasalnya, anak adalah amanah ilahiah yang setiap orangtua akan dimintai pertanggungjawaban. Selain itu, anak adalah masa depan orangtua: masa depan kita. Anak adalah kepanjangan orangtua untuk melestarikan kebaikan yang pernah ditanam orangtuanya. Karenanya, orangtua harus memberikan bekal pendidikan yang terbaik kepada anak(-anak)nya.
Ibarat rantai kehidupan, setiap zaman ada generasinya dan setiap generasi ada zamannya. Anak kita kelak akan menjadi orangtua bagi anak-anaknya yang tiada lain adalah cucu-cucu kita. Dengan demikian, menyiapkan anak yang tangguh sama halnya dengan menyiapkan cucu yang tangguh. Sebab, anak yang terdidik dengan baik kemungkinan besar akan memiliki kesadaran untuk mendidik anak-anaknya dengan baik pula. Artinya, mendidik anak dengan baik adalah menyiapkan masa depan yang panjang.
Mendidik anak tentu saja tidak harus dilakukan oleh orangtua secara langsung. Ketika orangtua memfasilitasi anak untuk belajar di sekolah sampai perguruan tinggi adalah juga bagian dari mendidik. Termasuk ketika orangtua mempersilakan anak untuk mendalami ilmu agama di TPA/TPQ atau pesantren. Namun yang perlu diingat pendidikan moral di rumah harus terus diikhtiarkan. Prof. Drs. H. Akh. Minhaji, M.A., Ph.D (Mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga) pernah berujar bahwa pendidikan sekolah adalah keberlanjutan dari pendidikan yang sudah dibangun sejak dari keluarga.
Pendidikan bagi anak, dengan begitu, harus berimbang. Antara pendidikan di sekolah dan pendidikan di rumah. Teladan seorang bapak yang saya ceritakan di awal tulisan ini penting untuk dipedomani. Selain mendukung anak untuk menempuh sekolah formal, orangtua juga mengawal kebutuhan anak yang lain. Termasuk saat anak punya masalah maka orangtua yang lebih dahulu tahu dan membantu anak untuk menemukan solusi terbaik. Untuk mencapai level “orangtua yang lebih mengerti anak” berarti orangtua harus membangun komunikasi yang menyenangkan dengan anak.
Komunikasi yang menyenangkan antara orangtua dan anak adalah utama. Bila iklim yang demikian sudah terjalin maka baik orangtua maupun anak nyaman untuk saling cerita dan berbagi (sharing). Bahkan ketika anak sudah berkeluarga. Meskipun harus dalam batas yang wajar. Sebab bila berlebihan, orangtua terkesan memiliki intervensi yang ekstra bagi keluarga sang anak. Namun bila orangtua merasa keluarga anaknya butuh pendampingan maka “intervensi” tersebut memang harus dilakukan. Sebab bila tidak, bisa menjadi masalah yang lebih besar.
Pengalaman saya magang di PA Kabupaten Malang. Ketika Hakim mengabulkan permohonan dispensasi kawin (karena mempelai belum berumur 19 tahun), Hakim berpesan kepada orangtua (calon) mempelai. “Karena anak yang mau nikah masih belum dewasa maka orangtua wajib mendampingi. Kalau ada kekurangan ekonomi orangtua harus membantu. Termasuk kalau ada masalah maka harus didampingi,” pesannya. Hal itu perlu dilakukan supaya keluarga anak bisa bertahan dan tidak ke PA lagi untuk mengajukan gugatan perceraian.
Penting dicatat bahwa Hakim juga berhati-hati dalam memutus permohonan dispensasi kawin. Sebelumnya, Hakim menasihati orangtua supaya anaknya disekolahkan dulu atau dipesantrenkan. Hal tersebut demi masa depan anak supaya anak punya bekal hidup yang cukup. Sayangnya, nasihat itu hanya sekadar nasihat. Sebab para Pemohon tetap ingin menikahkan anaknya karena sudah terlanjur menetapkan tanggal pernikahan atau khawatir terjadi hal-hal yang dilarang agama bila nikahnya ditunda. Tidak sedikit juga karena si anak perempuan sudah hamil.
Fakta tersebut semakin mengafirmasi pentingnya mendidik anak secara lahir batin. Bahasa kalangan pesantren, perlu dengan tirakat (riyadhah). Dengan mendidik secara benar maka anak akan mengerti batasan mana yang boleh dan mana yang dilarang. Dengan pendidikan yang cukup, anak juga memiliki kemungkinan masa depan yang lebih cerah. Namun tidak dapat dimungkiri bahwa tidak semua orangtua mampu menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi. Pada akhirnya, boleh berhenti sekolah tetapi tidak boleh berhenti belajar. Belajar bisa dimana saja. Karena setiap tempat adalah madrasah. Dan sesiapa saja yang ditemu(i) adalah guru. Semoga! []
[1] Artikel ini sebelumnya telah terbit di Harian Malang Post, Sabtu, 14 Maret 2020. Secara online dapat pula dibaca melalui url berikut ini: (https://malang-post.com/berita/detail/mendidik-anak-dan-masa-depan).