logo web

Dipublikasikan oleh Iwan Kartiwan pada on . Dilihat: 56875

MEMAKNAI ULANG ARTI HIJRIAH 

Oleh ; Al Fitri, S.Ag., S.H., M.H.I.

(Hakim Pratama Utama Pengadilan Agama Manna)

Pendahuluan

Allah swt berfirman dalam QS. At Taubah ayat 36:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ (٣٦)

”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS At-Taubah: 36)

Tahun baru selalu identik dengan sesuatu hal serba baru. Hanya saja sesuatu yang baru selalu diidentikkan dengan hal-hal yang bersifat fisik atau material semata. Padahal dibalik yang bersifat materil tersimpan mutiara abadi yang akan mengantarkan manusia bertemu dengan Allah Swt.

Waktu terus silih berganti dari detik ke menit, ke jam, ke hari, ke minggu, ke bulan, ke tahun, lalu menghantarkan ke tahun berikutnya, sehingga membawa kita dari abad ke melenium. Pergantian waktu bergulir membawa manusia dengan kedatangan tahun baru Hijriah seiring munculnya tanggal 1 Muharram.

Rutinitas sehari-hari, terkadang manusia lengah sehingga waktu berlalu begitu saja tanpa disadari. Waktu bergulir secara otomatis apa adanya dengan meninggalkan kenangan tahun sebelumnya. Saat tahun baru Hijriah menyapa, seolah-olah kita tersentak betapa berharganya waktu dan miskinnya nilai kebaikan yang telah dirajut selama  satu tahun telah berlalu.

Pengertian Hijriah

Kata Hijriah secara harfiyah diartikan dengan pindah dari suatu negeri ke negeri lain ( الجرج من بلد اجرى ), atau berubah dari satu keadaan kepada satu keadaan lain. Secara defenitif pindahnya Nabi dan umatnya dari Makkah al Mukarramah ke Madinah al Munawwarah untuk kelangsungan dakwah Islam. Pengertian Hijrah sebagaimana defenisi tersebut tidak akan pernah akan terjadi lagi, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw:

لاهجرة بعد الفتح ولكن جهاد ونية واذاستنفرتم فانفروا (رواه بخارى(

“Tidak akan pernah ada Hijrah pasca penaklukan Kota Makkah (fath al makkah), akan tetapi yang dimaksud hijrah setelah ini adalah jihad, dan niat. Jika kamu diminta untuk itu maka jangan menghindar.” (HR. Bukhari).

Dalam pengertian lain Hijrah adalah meninggalkan sesuatu yang dilarang. Ini berdasarkan hadis dari Abdullah bin Habsyi, bahawa Rasulullah saw bersabda yang bermaksud dengan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah. (HR. Abu Dawud).

Mempergunakan Waktu

Oleh karena waktu terus bergulir tanpa memberitahu manusia, maka sangatlah wajar Nabi Muhammad saw selalu mengingatkan umatnya tentang waktu, sehingga dapat difahami betapa pentingnya waktu, dan bagaimana seharusnya digunakan semaksimal  mungkin dan tidak berlalu begitu saja sehingga akan menjadi waktu yang sia-sia alias mubazir.

Maka jangan heran dimensional waktu ini, secara obyektivitas orang Barat pun mengibaratkan waktu itu adalah emas.

Filusuf Perancis Henry Bergson mengatakan ada 2 macam waktu:[1]

Pertama, waktu kuantitatif yang berhubungan dengan ruang, waktu yang dapat diukur dan dibagi-bagi. Dalam konsep ini,  ia menganalisis waktu dibagi-bagi ke dalam satuan-satuan yang homogeny, seperti melenium, abad, dasawarsa, tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit dan detik. Inilah waktu yang berada pada tataran dimensi objektif-fisis. Dalam istilah Perancisnya, Bergson menyebutnya sebagai tems, waktu yang digunakan secara umum dalam rutinitas kehidupan sehari-hari. Dari sinilah terasa akan sebuah pengalaman yang bersentuhan dengan waktu kuantitatif ini yang dinamakan dengan pengalaman fenomenal, yaitu pengalaman yang banal dalam kebiasaan hidup sehari-hari, dan pengalaman ini nyaris dilakoni oleh mayoritas manusia.

Kedua, waktu kualitatif yang tidak ada hubungannya dengan ruang (tempat) bersifat kontinuitas dan mengalir terus-menerus tak terbagi. Waktu jenis yang berhubungan dengan ruang, waktu yang dapat diukur dan dibagi-bagi Bergson menamakannya dengan durre, yang berarti lamanya waktu yang digunakan manusia secara pribadi-pribadi. Pengalaman kita seringkali bersentuhan dengan waktu kualitatif tersebut yang dinamakan dengan pengalaman eksistensial yakni pengalaman yang dirasakan oleh aspek mental, emosional, bahkan  menyentuh ranah sukma spiritual kita yang terpendam.

Sedangkan menurut Filusuf Jerman Martin Heidegger ada 2 macam waktu; yaitu waktu objektif dan waktu subjektif. Waktu objektif merupakan waktu yang digunakan oleh kronometer, alat pengukur waktu, seperti arloji, kelender dan berbagai petunjuk waktu secara umum. Sedangkan waktu subjektif adalah waktu yang dialami oleh orang perorangan secara individual. Jika waktu objektif berada di luar sana yang dirasakan sama oleh manusia secara umum, maka waktu secara subjektif berada di dalam sini, yang dirasakan secara unik oleh setiap pribadi dan berbeda antara seorang dengan orang yang lain.

Secara objektif orang memandang waktu sehari semalam adalah 24 jam, namun durasinya begitu terasa bagaikan 24 menit bagi sepasang sejoli kekasih yang sedang kencan di bawah terik gairah asmara. Bagi orang yang berpestapora waktu 12 jam terasa begitu cepat berlalu. Namun sangat berbeda bagi orang yang sedang sakit atau yang sedang sekarat diserang penyakit kronis waktu itu sungguh-sungguh terasa sangat lama.

Fakta yang sering kita rasakan secara emperik waktu 1 jam sangat berbeda bagi yang menunggu dan yang sedang ditunggu. Padahal ukuran waktu itu secara nilai matematis yang 24, 12, 6, 3, 1 atau ½ jam tidaklah ada bedanya, karena memang waktu itu bergulir secara objektif di mana dan kapan pun. Albert Einstein menggambarkan pengalaman eksistensial ini secara kontradiktif: “Jika dua jam bersama dengan gadis yang baik, orang merasa dua menit, jika dua menit duduk di atas open panas, orang merasa dua jam.”

Hakikat Hijriah

Bagi umat Islam momentum tahun baru Hijriah harus bermuara pada pertanyaan introspektif-kontemplatif seperti yang dikatakan Khalifah Umar bin Khatthab:

حسبوا انفسكم قبل أن تحسبوا وزنوا انفسكم قبل أن توزنوا

“Hitung-hitunglah dirimu sebelum kamu dihitung, dan timbang-timbanglah dirimu sebelum ditimbang.”

Sasarannya kita harus menginstropeksi diri sejauh mana mungukir waktu dengan amal kebaikan jangan sampai bergelimang dosa. Kita harus menanamkan bentangan usia dilalui  dengan sebuah direnda puspa ragam pesona kebajikan, keberkahan, dan ketaatan wajib menjauhi dengan rajutan kelalaian, kemaksiatan, kemungkaran dan kepongahan atau dengan kata lain bahwa hidup hanya dalam tititsan sia-sia saja.

Sangat wajar jauh-jauh Nabi Muhammad saw mengingat umatnya agar dari waktu ke waktu adanya perubahan agar menjadi orang beruntung, jangan sampai menjadi orang yang merugi apalagi sampai menjadi golongan orang celaka:

من كان يومه خيرا من امسه فهو رابح. ومن كان يومه مثل امسه فهو مغبون. ومن كان يومه شرا من امسه فهو ملعون.( رواه الحاكم)

“Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi dan Barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yang celaka." (HR. Al Hakim).

Momentum tahun baru Hijriah ini seyogianya menghadirkan kegelisahan eksistensi semacam itu,  karena umur merupakan modal setiap saat berkurang dan akan sia-sia akan mebawa celaka apabila tidak diinvestasikan untuk pengabdian sebagai khalifah Allah swt di muka bumi ini. Ingat waktu sedetik pun yang dihembuskan tidak akan pernah kembali  lagi, tidak bisa ditarik kembali. Artinya umur senantiasa berkurang seiring dengan berganti waktu, sudah berapa umur yang kita jalani dalam arena kehidupan di  dunia ini.

Problematika standarnya apakah umur yang telah dihabiskan membawa suatu keberuntungan atau kerugian. Sebesar apapun modal yang dikeluarkan sudah pasti hasil yang dipetik sesuai modal yang diinvestasikan.

Dari perspektif ini kita selayaknya merefleksikan butir-butir mutiara tahun baru Hijriah, agar menghargai waktu, mumpung ada waktu, dalam konteks positif. Jikalau hari ini sama dengan hari kemarin sudah tergolong yang merugi (maqfun); namun jika hari ini lebih baik dari hari kemarin termasuk yang beruntung (roobih), dengan ungkapan lain: “Today must be better than yesterday and tomorrow must be better than today.”  Dalam sebuah hadis Nabi pun bersabda:

خير الناس من طال عمره وحسن عمله وشر الناس من طال عمره وساء عمله. (رواه طبرانى(

“Sebaik-baik manusia orang yang panjang umurnya, dan baik perbuatannya. Dan sejelek-jelek manusia orang yang panjang umurnya, dan buruk kelakuannya.” (HR. Thabrani).

Spirit Hijriah Masa Kini

Sesungguhnya spirit Hijrah rasanya masih relevan diperbincangkan agar direfleksikan dalam kehidupan person maupun kolektif, berbangsa dan bernegara dengan moral addin (regelius) menuju masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai sipil dalam wadah masyarakat madani (social sovety) sebagaimana yang dipraktekkan oleh Rasulullah saw setelah kemenangan Kota Makkah (fathul makkah) terkenal dengan konsep Piagam Madinah dimana masyarakat dalam kehidupan sosialnya bercampur baur tanpa membedakan ras, suku dan keyakinan, hidup saling menghargai dan berdampingan dibawa payung panji kebesaran Piagam Madinah langsung di bawah komando Nabi Muhammad saw. selaku imamul ummah sebagai otoritas tertinggi kekuasaan umat Islam dan juga bagi non Islam, dan sekaligus sebagai nabi dan rasul.

Dalam konteks ekinian Hijrah yang disambut setiap tahun lebih kepada memperingati peristiwa penghijrahan Rasulullah dan sahabat dari Kota Makkah al-Mukarramah ke Kota Madinah al-Munawwarah. Dari peristiwa hijrah ini menyingkap satu perjuangan yang pantang menyerah atau mengaku kalah di samping menjadi garisan pemisah di antara kebenaran dan kebatilan. Hijriah juga diibaratkan sebagai satu jembatan yang menghubungkan antara dua tahap masa perjuangan Nabi yaitu, periodesasi Makkah selama  lebih kurang 13 tahun, dan periodesasi Madinah selama 10 tahun.

Bentuk Hijriah

Sejalan dengan refleksi tahun baru Hijriah kali ini jika dicermati dalam suasana kehidupan umat Islam dewasa ini, paling tidak ada 4 hal yang harus ditranspormasi dalam makna memperingati tahun baru Hijriah sebagai berikut:

Pertama, Hijrah dalam kategori ‘Itiqadiyah (keyakinan) yang merupakan ideologi tauhidiyah seorang muslim, dimana dalam pelaksanaan keyakinan dan ibadah hanya semata-mata ikhlas karena Allah swt. tanpa dicampuri dengan anasir-anasir mengandung kemusyrikan, tahayul, khurafat, bid’ah dan keyakinan nenek moyang yang tidak ada dasar hukumnya. Akhir-akihir ini keyakinan sebagian umat Islam telah mulai melenceng dari ruh tauhid, orang lebih percaya kepada paranormal ketimbang ulama, percaya kepada mistisme ketimbang qudrat dan iradat Allah swt. percaya dengan nabi aspal (nabi asli tapi palsu) ketimbang nabi akhiruzzaman Nabi Muhammad saw. Dalam hal ini umat Islam harus kembali kepada tauhid yang benar yaitu Aqidah Islamiyah. Konsep hijrah dalam kategori ini wajib didakwakan oleh segenap umat Islam untuk meluruskan keyakinan dan aqidah mereka agar jangan tersesat.

Kedua, Hijrah dalam kategori Fikriyah (pemikiran), yakni pemikiran yang dilandasi dengan control wahyu ilahiyah, bukan cara berfikir liberalisme yang menafikan nilai-nilai wahyu, yang hanya memakai kekuatan akal fikiran semata, padahal tanpa disadari ternyata akal fikiran manusia sewaktu-waktu bisa tidak normal, namun jika dilandasai wahyu akal manusia akan tetap stabil, oleh karenanya tujuan hukum Islam salah satunya dalam rangka menjamin terpeliharanya akal fikiran. Fenomena yang terjadi sekarang  orang sering hilang akal sehatnya, sehingga menghalalkan segala cara untuk memenuhi  ambisinya, sesungguhnya dengan Hijrah fikiriyah ini akan mengembalikan manusia sebagai makhluk yang berakal yang terdapat dalam diri manusia yang tidak ternilai harganya sebagai anugrah Tuhan yang tidak diberikan-Nya kepada makhluk lainnya, sekiranya manusia tidak berakal niscaya keadaan dan perbuatannya akan sama dengan hewan.

Ketiga, Hijrah dalam kategori Syuriyah (perasaan) yang muaranya pada ketenangan jiwa (psikologis), sebagaimana yang diuraikan sebelumnya terkait dengan perasaan dan kesadaran, aspek psikologis manusia. Inilah waktu yang berada pada wilayah subjektif-psikologis, hanya dengan banyak mendekatkan diri kepada Allah swt lewat zikir (dalam arti luas beribadah) untuk menuju ketenangan jiwa, lupakan konsep-konsep meditasi melalui semedi di gua, kuburan dan tempat-tempat yang dianggap membawa wangsit. Dengan perasaan dan jiwa yang tenang hidup akan terasa nikmat.

Keempat, Hijrah dalam kategori Sulukiyah (prilaku), dalam konteks ini dimensi pengalaman sehari-hari tentunya harus diperhatikan, betapa banyak manusia hidupnya bermasalah karena ulah tingkah lakunya yang tidak memperhatikan moral atau akhlak, dalam sehari-hari selalu bergelimang dengan maksiat dan dosa, momen tahun baru ini mari kembali kepada prilaku Islami, sementara yang telah berprilaku Islami konsisten dalam mempraktekannya. Dari sinilah terasa akan sebuah pengalaman (emperik) yang bersentuhan dengan waktu kuantitatif yang dinamakan dengan pengalaman fenomenal, yaitu pengalaman yang dalam kebiasaan hidup sehari-hari, dan pengalaman ini nyaris dilakoni oleh mayoritas manusia, prilaku yang Islami-lah yang akan menyelamatkan kelangsungan hidup umat manusia di dunia ini.

Hijriah di sini kemampuan kita untuk menjadikan perilaku kita sebagai titik awal untuk berubah menjadi baik dan atau lebih baik dari sebelumnya. Inilah semangat hijrah yang sesungguhnya, sehingga perayaan pergantian tahun hijriah dari tahun ke tahun memang seharusnya dilakukan dengan cara sederhana dan lebih banyak diarahkan untuk muhasabah dan introspeksi diri.

Penutup

Dari uraian di atas Hijrah membawa pengertian yang luas yakni keluar dari medan perjuangan yang sempit ke gelanggang yang lebih luas dan pemisah di antara yang hak dengan yang batil, atau perpindahan kepada hidup yang lebih baik, lebih maju, lebih mulia dan lebih bermakna, lebih bermatabat serta berada dalam lingkungan rahmat dan keredhan Allah swt. Demikian, yang dapat disajikan dalam tulisan singkat ini, semoga bermamfaat adanya.

Manna,  Oktober 2014.M

Zulhijjah 1435.H

 

Al Fitri, S.Ag., S.H., M.H.I


[1] Terhadap dimensi waktu ini Penulis pernah menulisnya, dan sekedar mengingatkan akan penulis sajikan lagi tentang dimensi waktu menurut dunia Barat.

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice