logo web

Dipublikasikan oleh Iwan Kartiwan pada on . Dilihat: 7081

KEMBALI KEPADA HUKUM ALLAH

Oleh: Mumu Mumin Muktasidin, S.H.I.[1]

 

Kerusuhan Lapas Tanjung Gusta Medan, kamis tanggal 11 juli 2013 dan Pembakaran Lapas Labuhan Ruku, Ahad tanggal 18 Agustus 2013 cukup mengagetkan publik. Yang mana sebelumnya publik mengira bahwa Lapas adalah tempat terakhir bagi narapidana yang terjerat masalah pelanggaran hukum untuk bertobat dan kembali kejalan yang benar, ternyata masih banyak menyimpan masalah-masalah pelik yang belum terselesaikan. Masalah-masalah tersebut seperti narapidana yang mengendalikan peredaran narkoba dari balik jeruji besi, hukum rimba, sampai perlakuan tidak berimbang antara orang berduit (kaum the have) dengan orang-orang biasa.

Kenyataan seperti itu menyadarkan kita bahwa bagaimanapun memenjarakan seseorang bukanlah merupakan solusi terbaik, melainkan dalam prakteknya akan menimbulkan permasalahan baru yang akan merugikan, baik bagi si narapidana itu sendiri maupun bagi bangsa dan negara, yang pada akhirnya permasalahan tersebut akan terus membengkak dan suatu saat akan pecah bagaikan bom waktu yang sewaktu-waktu akan meledak menimbulkan ledakan yang sangat dahsyat seperti yang terjadi belakangan ini.

Untuk memperjelas kerugian apa saja yang akan diderita baik oleh si narapidana maupun oleh bangsa dan negara dengan sistem pemenjaraan, pada ksempatan ini penulis akan menguraikannya satu persatu:

Kerugian bagi narapidana pertama mereka harus berpisah dengan orang-orang tercinta dengan segala tugas dan tanggung jawabnya seperti memberi nafkah bagi anak, isteri, orang tua dan kepada orang-orang yang lain yang menjadi tanggungannya. Kedua mereka akan bertemu, berkumpul dan berkomunikasi  dengan para penjahat lainnya yang mungkin lebih profesional sehingga pengalaman yang disampaikan oleh temannya tersebut  kemungkinan akan ditiru sebgai pembelajaran dan akan dipraktekkan oleh napi tersebut sehingga Lapas tidak ubahnya seperti academy crime, maling kecil sepulang dari Lapas, bisa berubah menjadi maling besar, dan penyalur narkoba akan berubah menjadi Bos narkoba setelah berinteraksi dan berkomunikasi dengan penjahat yang lebih profesional. Ketiga , kebebasan sinarapidana akan terkungkung dan tidak produktif.

Sedangkan kerugian bagi negara adalah  Pertama, negara harus menyiapkan anggaran yang besar untuk biaya  makan, minum dan fasilitas-fasilitas untuk si Napi itu sendiri. Biaya tersebut adalah biaya yang tidak produktif mengingat banyaknya orang-orang yang melanggar hukum yang harus dipenjarakan. Andaikan saja dana tersebut digunakan untuk sarana pendidikan, infrastruktur dan membangun lapangan pekerjaan,  mungkin sudah ratusan bahkan ribuan sekolah, jalan-jalan dan pabrik-pabrik  yang bisa dibangun oleh negara ini. Kedua, sistim pemenjaraan tidak menimbulkan efek jera dengan kenyamanan yang ada bahkan lebih nyaman daripada mereka harus tinggal di kolong jembatan seperti para pemulung, sehingga para alumnus Lapas dengan mudahnya akan melakukan kejahatan serupa.

Tapi bagaimanapun permasalahan ini harus diatasi dengan solusi terbaik, yang dapat menyelesaikan  permasalah ini secara tuntas sampai keakar-akarnya. Lalu apa solusi terbaik tersebut? Solusi tersebut adalah kembali kepada konsep yang ditawarkan oleh Al-qur’an yaitu memberlakukan hukuman hadd, qisas, ta’zir dan diyat bagi para pelanggar hukum.

Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”[2]

Pencurian itu terbagi dua yaitu, pencurian besar dan pencurian kecil. Jika pencurian besar hukumnya yaitu hukuman mati, atau disalib, atau dipotong kaki-tangan, atau diasingkan, maka hukuman pencurian kecil ini terbagi dua yaitu, hukuman hadd dan hukuman takzir.[3]

Para pencuri atau koruptor yang melakukan pencurian sampai kepada batas/hadd pencurian harus dipotong tangannya. Keuntungannya; pertama, sipencuri atau koruptor yang telah telah terbukti melakukan pencurian akan jera dengan sakitnya kehilangan anggota vital tubuhnya sehingga dia tidak bisa mencuri lagi karena sudah tidak mempunyai tangan. Kedua, setelah tangannya sembuh dia akan beraktifitas lagi seperti biasanya dan dapat menafkahi keluarganya tanpa membebani siapapun termasuk negara. Ketiga, negara tidak terbebani memberikan makan dan minum bagi pelaku pencurian atau koruptor lengkap dengan fasilitas-fasilitasnya nya sehingga negara dapat mengalihkan anggaran tersebut untuk hal-hal lain yang lebih bermanfaat.

Sedangkan bagi para pelaku kriminal Allah SWT berfirman:

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim[4]

Pada ayat ini Allah menerangkan hukum qisas sebagai yang termaktub dalam kitab Taurat. Karena dalam ayat ini ini tersebut “ nyawa dengan nyawa” maka Abu Hanifah mengatakan, bahwa kata nyawa itu adalah umum, baik untuk umat Islam maupun orang kafir. Oleh sebab itu wajib dilakukan qisas terhadap seorang muslim yang membunuh diri bukan muslim, dan terhadap seorang laki-laki yang membunuh diri perempuan.[5]

Bagi pelaku pembunuhan mereka harus dibunuh lagi kecuali keluarganya memberi maaf diganti dengan membayar diyat dalam artian sudah diselesaikan secara baik-baik dengan keluarga korban sehingga tidak akan menimbulkan dendam baru. Eksekusi mati bagi pembunuh merupakan hal yang paling adil, cobalah kita buka hati nurani kita ketika persidangan pembunuhan sedang berlangsung, keluarga korban sering berteriak meminta agar Majelis Hakim menghukum mati pelaku pembunuhan tersebut bukankah itu hal yang paling mendekati rasa keadilan.

Firman Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih[6]

Ayat ini menjelaskan tentang hak-hak qisas dalam pembunuhan. Seseorang dapat dibunuh karena dia membunuh orang yang merdeka. Seorang hamba dapat dibunuh karena dia membunuh hamba pula, dan seorang perempuan dapat dibunuh karena dia membunuh seorang perempuan. Tetapi jika wali dari pihak yang terbunuh itu memberi maaf atas satu kesalahan dari pihak yang membunuh, artinya tidak dituntut kisas atas pembunuhan tersebut, maka wajiblah pembunuh membayar diyat, yang diserahkan dengan jalan yang baik kepada wali dari pihak yang terbunuh.[7]

Aturan hadd, qisas, diyat dan ta’zir andaikan diberlakukan akan mengurangi penumpukan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, sehingga kerusuhan-kerusuhan akibat lembaga pemasyarakatan over kapasitas dapat diminimalisir, Wamenkumham pun tidak akan repot-repot berdebat dengan Yusril tentang remisi bagi koruptor layak ataukah tidak.

Kita sebagai seorang muslim rasanya sangat naif andaikata menganggap bahwa aturan (Al-Qur’an) tersebut sangat kolot dan tidak pantas, sebab aturan (Al-qur’an) tersebut dibuat oleh Allah Al-khalik sang maha pencipta. Di dalam proses penciptaan nya Allah terbebas dari sikaf flagiat alias copas (copy paste), Dia adalah Al-badi’ sang maha pencipta tanpa butuh contoh dan bahan baku , Allah sudah tahu aturan seperti apa yang bisa membuat kehidupan manusia di dunia ini menjadi tertib hanya saja kita sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam terasa kurang percaya diri (minder) untuk mengambil Al-Qur’an sebagai rujukan sehingga memilih konsep-konsep barat yang kelihatan nya lebih keren dan berkelas, padahal semua konsep, baik konsep kebenaran, keadilan, kejujuran, kebaikan, ketaqwaan, ketulusan, balasan baik, kompensasi, permusyawaratan dan berbagai norma baik yang mesti ditegakkan. Teks-teks yang sama juga berbicara tentang norma-norma buruk seperti kebatilan, kezaliman, kebohongan, keburukan, kefasiqan, balasan jahat, ketimpangan dan lain-lain yang mesti dihindari semuanya telah temaktub dalam Al-Qur’an.[8]

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran[9]

Keinginan manusia untuk kembali kepada hukum Allah merupakan usaha ibadah, bukan ideologi kaum teroris seperti anggapan masyarakat awan selama ini, bahkan dapat dikatagorikan sebagai keharusan ditengah-tengah situasi yang telah mencapai fase kritis (a situation that has reached a critical phase)[10]. Seharusnya kita tidak perlu takut untuk menyampaikan keinginan tersebut karena tidak ingin dicap teroris kaum radikal dan lain-lain karena sesungguhnya penegakan syariat Islam itu legal sebagaimana Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”.

 

 


[1] Calon Hakim Angkatan II Program Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu  (PPC Terpadu) MA-RI. Satker: Pengadilan Agama Cianjur;

[2] Surat Al-Maidah ayat 38

[3] Dr. H. Lahmudin Nasuton, Tafsir Al-Ahkam (Jakarta: Prenada Media Group, 2006) hlm. 375

[4]Surat  Al-Maidah  ayat 45;

[5] Dr. H. Lahmudin Nasuton, Tafsir Al-Ahkam (Jakarta: Prenada Media Group, 2006) hlm. 381;

[6] Surat Al-Baqoroh ayat 178;

[7] Dr. H. Lahmudin Nasuton, Tafsir Al-Ahkam (Jakarta: Prenada Media Group, 2006) hlm. 26;

[8] Dr. Rifyal Ka’bah M.A., Penegakan Syari’at Islam di Indonesia (Surabaya : Khairul Bayan, 2004) hlm. 31;

[9] Al-Qur’an Surat An-Nahl, ayat 90;

[10] Dr. Rifyal Ka’bah M.A., Penegakan Syari’at Islam di Indonesia (Surabaya : Khairul Bayan, 2004) hlm. 38

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice