Isra’ Mi’raj : Perjalanan Menuju “Yang Tak Terbatas”.
Oleh : Iin Maghfirah
Peristiwa Isra’ Mi’raj merupakan salah satu peristiwa akbar dalam perjalanan kerasulan Nabi Muhammad SAW. Peristiwa yang melampaui nalar manusia tersebut kemudian memancing perdebatan intens di kalangan umat Islam.Perdebatan tersebut berkisar pada masalah apakah perjalanan Nabi tersebut dilakukan secara jasmani atau rohani.
Perbedaan pandangan mengenai Isra’ Mi’raj tersebut pada hakikatnya bermuara dari interpretasi masing-masing individu terhadap ayat maupun hadis yang berbicara mengenai Isra’ Mi’raj.Hanya saja perdebatan seputar isra’ mi’raj apakah dilakukan Nabi secara jasmani atau rohani pada akhirnya hanya mengaburkan makna di balik peristiwa isra’ mi’raj itu sendiri.
Lantas, makna apa yang seharusnya dapat dipetik dari peristiwa isra’ mi’raj yang dialami oleh nabi Muhammad-yang menurut para ahli sejarah-terjadi pada tahun ke-10 kenabian tersebut?
Karen Armstrong dalam bukunya, Sejarah Muhammad, Biografi Sang Nabi memaparkan bahwasanya peristriwa isra’ mi’raj terjadi ketika nabi Muhammad berada dalam suatu kondisi yang terdesak melampaui batas akhir ketahanan fisik maupun mentalnya sebagai manusia biasa.
Kondisi tersebut bermuara dari perilaku kaum kafir Quraisy yang intensmelakukan penolakan terhadap ajaran yang dibawa oleh Muhammad. Dimulai dari upaya pemboikotan selama 2 tahun terhadap Nabi dan pengikutnya, kemudian disusul dengan wafatnya dua sumber motivator Nabi yaitu paman, Abu Thalib dan isteri tercinta, Siti Khadijah. Kepergian dua orang tersebut, otomatis membuat perjuangan Nabi yang sulit menjadi semakin berat.Bagaimana tidak, di satu sisi dengan wafatnya Abu Thalib berarti Muhammad kehilangan orang yang mampu melindunginya dari serangan kaum kafir Quraisy.Posisi Abu Thalib sebagai salah satu tokoh yang disegani oleh bangsa Quraisy saat itu menjadi tameng efektif yang mampu melindungi Muhammad dari gangguan kaum kafir Quraisy.
Salah satu contoh konkret yang digambarkan Armstrong atas keberanian kaum kafir Quraisy menyerang Nabi pasca wafatnya Abu Thalib adalah sebuah riwayat yang menceritakan ketika Muhammad sedang berjalan-jalan di kota, seorang anak muda Quraisy menaburkan kotoran kepadanya. Sesampainya di rumah, putrinya, Fatimah membersihkan kotoran tersebut sambil berurai air mata, menangis. Melihat kesedihan putrinya, Muhammad berkata : “Jangan menangis putriku, karena Allah akan melindungi ayahmu”. Namun dengan muram dia menambahkan kepada dirinya sendiri : “Orang Quraisy tidak pernah memperlakukan aku sekasar ini ketika Abu Thalib masih hidup”. (hlm. 215).
Riwayat tersebut, pada intinya merepresentasikan betapa sosok Abu Thalib merupakan perisai tangguh yang mampu melindungi Nabi dari serangan-serangan kaum kafir quraisy yang menolak ajarannya.
Sedangkan pada sisi lain, dengan wafatnya Siti Khadijah berarti Muhammad kehilangan sosok yang mampu memberinya dukungan sekaligus ketenangan di saat beliau mengalami kegundahan akibat perilaku kaum kafir Quraisy.
Bagi Muhammad, Siti Khadijah tidak saja berperan sebagai isteri dalam pengertian sempit, tetapi melebihi dari itu, Siti Khadijah adalah sumber kekuatan Nabi yang senantiasa memberinya motivasi dalam menyebarkan nilai-nilai tauhid bagi masyarakat Makkah saat itu.
Kehilangan dua orang yang berperan sebagai pelindung, pemberi motivasi sekaligus sebagai sumber kekuatan ditambah perilaku kaum kafir Quraisy yang secara intens menyerang dan menolak ajaran yang dibawanya sedikit demi sedikit menggoyahkan semangat Nabi memperjuangkan tegaknya kalimah Allah. Sebuah kondisi yang menurut Armstrong telah melampaui prakonsepsi asalnya dan telah sampai pada batas akhir sumber daya alaminya sebagai manusia biasa.
Berangkat dari prakondisi tersebut kemudian Tuhan mengisra dan memi’rajkan Nabi Muhammad pada satu malam dari masjid al-Haram di Mekkah menuju Masjid al-Aqsa di Palestina kemudian dilanjutkan dengan mi’raj (naik) menuju Sidratul Muntaha dan kembali ke Mekkah menjelang terbitnya fajar pada malam (dini hari) itu juga.
Dalam perjalanan religius tersebut, Nabi Muhammad diceritakan Armstrong bertemu dengan nabi-nabi sebelumnya, seperti Ibrahim, Musa, Isa, Adam, Yusuf, Nuh dan Harun yang menyambutnya dengan suka cita. Perjalanan tersebut kemudian mencapai klimaksnyaketika Muhammad mencapai Sidratul Muntaha. Sebuah tempat yang oleh alqur’an dalam surah an-Najm ayat 16 dilukiskan sebagai tempat yang sarat keagungan Allah dan sukar dijelaskan.
Dari perjalanan spiritual yang luar biasa tersebut pada akhirnya membuat ghirah Nabi kembali bangkit untuk mensyiarkan agama Allah. Selain itu, peristiwa tersebut sedikit demi sedikit mampu mengikis kesedihan Nabi atas kehilangan dua motivator sejatinya, Abu Thalib dan Siti Khadijah. Melalui peristiwa tersebut, Nabi meyakini pada hakekatnya Allah pelindung hambanya yang teraniaya.
Selain suntikan semangat bagi Nabi, peristiwa tersebut juga menjadi ujian bagi kaum muslimin saat itu. Dimana setelah menceritakan perjalanan beliau menuju sidratul muntaha beserta segenap peristiwa yang melingkupinya, sebagian kecil kaum muslimin yang lemah imannya menjadi ragu lalu murtad. Tetapi sebagian yang lain, peristiwa tersebut justru semakin memperkuat keyakinan mereka akan keagungan Allah dan kebenaran ajaran yang dibawa oleh Muhammad. Dengan kata lain, peristiwa isra’ mi’raj bagi Muhammad menjadi penyaring bagi pengikut sejati yang membenarkan ajarannya. Hal tersebut menjadi signifikan mengingat perjalanan dakwah yang diembannya semakin berat sehingga hanya mereka yang teruji yaitu yang membenarkan peristiwa isra’ mi’raj yang mampu membantu Nabi menjalankan syiar islam.
Dalam konteks ini, peristiwa isra’ mi’raj menjadi titik balik dalam perjalanan dakwah Nabi dan menyadarkannya bahwa selain Abu Thalib dan Siti Khadijah ia masih memiliki orang-orang yang siap mendukungnya untuk menyebarkan ajaran Allah yaitu mereka yang membenarkan peristiwa Isra Mi’raj.
Jika ditarik dalam konteks kekinian, makna apa yang dapat kita ambil dari peristiwa akbar tersebut?
Isra’ mi’raj yang dialami oleh nabi Muhammad pada hakekatnya merupakan representasi kekuasaan Allah yang tak terjangkau akal pikiran manusia.
Dalam tataran ini, sekiranya peristiwa tersebut dapat membimbing perilaku kita menuju sebuah kearifan universal sehingga tak ada lagi realitas “gila kekuasaan” yang berujung pada kejahatan kemanusiaan seperti mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara (baca : korupsi, kolusi, nepotisme), sikap enggan menerima kritik, arogan, oportunis dan sebagainya. Realitas yang selama puluhan tahun ini telah menjerumuskan negeri ini dalam kubangan kesulitan tak berujung.
Selain itu, peristiwa isra mi’raj tak lain merupakan symbol perjalanan manusia menuju “Yang Tak Terbatas”. Sebuah kesadaran yang pada akhirnya akan membimbing manusia menuju satu keyakinan bahwa kehidupan pada hakikatnya merupakan perjalanan spiritual yang dibimbing oleh “Yang Transenden” sehingga manusia tidak akan pernah menyerah dalam memperjuangkan “garis-garis kebenaran” yang telah ia kabarkan melalui utusannya, Muhammad SAW. Semoga! Wallahu ‘Alam bi Shawab.
Penulis bekerja di PTA. Palu