logo web

Dipublikasikan oleh Iwan Kartiwan pada on . Dilihat: 2772

HIJRAH : BERPALING DARI PERILAKU KORUPTIF

Oleh: Drs. H. Abd. Rasyid As’ad, M.H.

(Hakim Pengadilan Agama Mojokerto)

Tanggal 5 Nopember 2013 bertepatan tanggal 1 Muharrom 1435 Hijriyah, diperingati oleh umat Islam di seluruh dunia sebagai awal tahun baru Islam. Peringatan tahun baru Islam di Indonesia dilakukan dengan berbagai macam acara, mulai dari doa dan zikir bersama di masjid dan musholla, pawai di jalan-jalan, ceramah dan diskusi sampai pada bakti social. Berbagai kegiatan tersebut dimaksudkan sebagai spirit dan motivasi untuk melangkah lebih baik dan bertekad untuk menjadi hamba yang lebih lagi di masa yang akan datang.

Seiring dengan peringatan tahun baru Islam kali ini, bangsa Indonesia sedang gitat-giatnya melakukan pemberantasan korupsi yang dimotori oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan “memburu” para koruptor yang merugikan keuangan Negara hingga ratusan triliun rupiah. Oleh karena itu, sangat relevan kalau kita maknai hijrah itu dengan berpaling dari perilaku koruptif.

Dengan demikian hijrah harus kita maknai sebagai hijrah nilai, yaitu berpaling dari nilai budaya yang buruk menuju nilai budaya yang baik, dari kondisi yang baik menuju kondisi yang lebih baik. Dalam pengertian ini, semangat (spirit) hijrah yang patut diimplementasikan dalam kondisi kita sekarang ini, bukan lagi dalam pengertian fisik, yaitu berpindah dari daerah “bahaya” ke daerah “aman”, tetapi hijrah secara kontekstual dengan meninggalkan segala perilaku yang buruk menuju perilaku yang baik. Dalam konteks pemberatasan korupsi, hijrah berarti meninggalkan prilaku koruptif.

Menyingkapi kondisi sekarang, perilaku buruk dan menyimpang yang dilakukan baik oleh masyarakat biasa dengan pelbagai kejahatan dan kriminalitas yang telah mencerminkan kehidupan penuh kekerasan, sepatutnya ditinggalkan dengan berhijrah kepada kehidupan yang lebih baik dan lebih damai.

Demikian halnya perilaku sebagian pejabat dan elite politik yang banyak melakukan penyimpangan atas amanah rakyat. Seperti melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), maka idealnya mereka harus berhijrah dari perilaku tersebut menuju ke jalan yang baik dengan mengemban amanah dan kepercayaan rakyat dengan penuh tanggung jawab.

Perilaku koruptif yang sering kali dipertontonkan oleh sebagian pejabat dan elite politik dengan menyalahgunakan uang Negara untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya, telah membuat negeri ini terpuruk dan menjadi Negara terkorup.

Praktik korupsi di Indonesia sudah di luar nalar sehat. Korupsi ini bukan hanya dilihat dari miliaran rupiah yang dicuri, melainkan pelakunya juga orang-orang terhormat di lembaga kenegaraan dan pemerintahan. Bahkan, di antara pelaku korupsi itu ada yang berasal dari akademisi dan aktivis gerakan antikorupsi, komunitas yang dianggap sebagai pengawal moralitas public dan penjaga etika social. Ini fakta paradoksal sekaligus ironi.

Bila kita merujuk pada teori Negara patrimonial, yang menempatkan pemimpin dan elite politik sebagai pemegang kekuasaan yang mendominasi sumber daya ekonomi-politik. Sebagai pemegang kekuasaan politik, sang penguasa bertindak selaku patron yang membangun hubungan patronase dengan para klien dengan posisi yang tidak setara. Para klien menjadi subordinasi sehingga mereka sepenuhnya bergantung pada sang patron. Mereka harus bersedia mengabdi dan melayani sang patron bila ingin mendapat bagian dan akses ke sumber daya ekonomi-politik itu.

Praktik seperti inilah yang selama ini berlangsung di lembaga parlemen dan birokrasi pemerintahan di Indonesia. Di sini terbangun segi-tiga-tergantung antara anggota DPR, birokrasi, dan pengusaha. Anggota DPR selalu mengambil peran sebagai patron, baik bagi birokrat maupun pengusaha, yang selalu diposisikan sebagai klien. Untuk mendapatkan proyek atau kontrak, pengusaha harus bersedia memberi all in services kepada anggota DPR dan birokrat.

Demikian halnya birokrat harus melakukan hal yang sama, memberikan pelayanan “prima” kepada anggota DPR untuk mendapat persetujuan atas suatu kebijakan atau persetujuan alokasi anggaran untuk berbagai proyek pembangunan. Kasus Al-Amin Nasution, Bulyan Royan, Yusuf Faisal, Nazaruddin, Anggelina Sondakh, Wa Ode Nurhayati dan sejumlah anggota DPR lainnya, harus dibaca dalam konteks relasi-kuasa patronase ini.

Korupsi di negeri ini sudah sampai pada tarap apa yang disebut oleh Robert Klitgaard (2001) sebagai “budaya korupsi”. Tentu yang dimaksud Klitgaard, bukan pada hakikat keberadaan “budaya” atau semua orang Indonesia melakukan korupsi, tetapi diarahkan pada keengganan sebagian warga masyarakat melaporkan oknum pejabat negara, birokrat, politisi, dan oknum aparat hukum yang melakukan praktik korupsi. Artinya, di dalam masyarakat kita telah terjadi sikap yang permissif (tidak mau perduli terhadap urusan lain), termasuk dalam masalah korupsi.

Andai pun seseorang melihat atau mengetahui adanya praktik korupsi secara kasat mata dan tidak berdaya mengatasinya, hendaknya dilihat sebagai suatu “fenomena” yang memungkinkan tidak disadari. Yang pasti, praktik korupsi tetap semarak dan merajalela, bahkan tidak hanya menggurita, tetapi sudah melembaga di tengah-tengah kesulitan hidup sebagian warga masyarakat akibat tidak meningkatnya penghasilan mereka sementara kebutuhan pokok terus meningkat. Namun, sikap warga masyarakat yang demikian tidak boleh begitu saja disalahkan, karena munculnya sikap “diam”, itu menunjukkan betapa warga masyarakat tidak berdaya melakukan “perlawanan” menghadapi kekuatan dan kelihaian para koruptor yang berlindung di balik baju kekuasaan.

Rendahnya kemauan politik (political will) pemerintah dan DPR selama ini untuk memberantas korupsi, seperti membuat regulasi berupa undang-undang tentang pembuktian terbaik untuk kasus korupsi, tidak hanya mengingkari tuntutan reformasi, tapi juga menciderai rasa keadilan masyarakat yang memandang korupsi sebagai salah satu penyebab krisis multidimensi yang menyengsarakan rakyat. Bahkan justru DPR menjadi sarang koruptor. Praktik korupsi di DPR diwali dari penetapan anggaran suatu proyek. Pada tahap ini komisi anggaran mulai bermain dengan pihak eksekutif. Siapa yang akan melaksanakan proyek itu. Pada aspek ini anggota DPR mulai melakukan tawar menawar dengan calon kontraktor yang akan melaksanakan proyek itu. Sehingga tidak mengherankan apabila banyak anggota dewan yang terlibat tindak pidana korupsi yang sudah diputus oleh oleh Pengadilan Tipikor maupun dalam proses penyelidikan dan penyidikan di KPK. Bahkan, banyak anggota DPR-RI yang kedengaran lantang menyuarakan pemberatasan korupsi, malah justru terlibat dalam kasus tindak pidana koropsi. Banyak anggota DPR seperti dalam pepatah “maling teriak maling”. Memprihatinkan, karena DPR yang salah satu fungsinya mengawasi eksekutif dalam melaksanakan tugas pemerintahan, justru anggota DPR yang melakukan praktik korupsi.

Persoalan korupsi sesungguhnya masalah moral sekaligus mental. Dalam batasan tertentu, korupsi telah menjadi salah satu keahlian tersendiri bagi sebagian pejabat dan elite politik di negeri ini. Meskipun mereka berani bersumpah bahwa dirinya tidak melakukan korupsi, namun publik dapat menilai bahwa korupsi sudah mendarah daging dalam birokrasi.

Tanpa mengurangi mereka yang beranggapan bahwa sistem yang transparan dan akuntabel sangat penting untuk mengantisipasi terjadinya korupsi, namun faktanya sistem tidak akan berfungsi dengan baik jika tidak diikuti dengan kesungguhan moral dan kekuatan mental para pemimpin dan para elite lainnya untuk menjadikan keadilan dan kesejahteraan sebagai pintu masuk bagi kemajuan dan perubahan sosial.

Momentum hijrah sejatinya dapat mendorong setiap pejabat publik untuk menjadikannya sebagai cermin, terutama dalam rangka mengedepankan kesederhanaan dan kesungguhan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat sebaik-baiknya. Kesederhaan seorang pemimpin seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. akan menimbulkan kepercayaan (truts) dari publik.

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap elite politik dan pejabat public disebabkan karena mereka yang menjadi pejabat pada umumnya hidup mewah dan bergelimang harta, padahal jika dikalkulasi gaji yang mereka terima setiap bulannya tidak mungkin akan bisa hidup semewah itu. Apabila sistem pembuktian terbalik yang digunakan sebagai cara pemberantasan korupsi, maka sebagian besar pejabat publik dan politisi di negeri ini akan tersandung kasus korupsi.

Jika KPK dapat mengungkap secara tuntas kasus Sport Center Hambalang dan sejumlah kasus besarnya lainnya yang merugikan negara ratusan triliunan rupiah, akan menjadi kado yang amat indah bahwa bangsa ini benar-benar sedang hijrah dari perilaku koruptif. Selamat Tahun Baru Islam 1435 Hijriyah.*

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice