Gus Dur, Gus Sholah, dan Kita[1]
Oleh:Samsul Zakaria, S.Sy., M.H.
Calon Hakim di PA Kabupaten Malang Kelas 1A
“MAUTUL ‘alim mautul ‘alam.” Kematian seorang alim adalah kematian dunia. Maksudnya, tatkala seorang alim (ulama’) meninggal dunia maka dunia akan turut berduka. Ahad (2/2/2020) lalu barangkali adalah salah satu momen dimaksud. Dr (H.C.) Ir. H. Salahuddin Wahid yang akrab disapa Gus Sholah, Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng Jombang menghembuskan nafas terakhirnya. Bangsa ini kehilangan sosok yang teduh nan teguh “memerangi” politik yang menghalalkan segala macam cara alias money politics (politik uang).
Tepat di hari wafatnya Gus Sholah tersebut, saya berziarah ke Kawasan Makam Gus Dur. Di komplek pemakanan tersebut, terdapat pula makam Hadlratus Syaikh Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, dan keluarga besar Ponpes Tebuireng. Bersama rombongan, saya membaca Surat Yasin, Tahlil, dan doa sebagaimana lazimnya diakukan oleh para peziarah. Usai ritual tersebut, cukup lama saya memandangi komplek makam tersebut, khususnya makam Gus Dur. Tampak beberapa space yang masing kosong.
Selanjutnya perhatian saya tertuju pada daftar ahli kubur yang dimakamkan di komplek makam tersebut. Di bawah nama Gus Dur masih ada space kosong pula. Kemungkinan besar space tersebut akan diisi dengan nama Gus Sholah (Allahummaghfir lahu). Hal tersebut mengingatkan saya pribadi dan kita bahwa kita ini hakikatnya sedang menunggu antrian. Kita adalah camat alias calon mati yang cepat atau lambat akan menghadap ke haribaan-Nya. Masalahnya bukan kapan kita menghadap namun dalam kondisi apa kita menghadap.
Pertanyaan selanjutnya adalah sejauh mana bekal yang sudah kita miliki untuk menghadap kepada-Nya. Di atas batu nisan Gus Dur tertulis Here Rests a Humanist (Huna Yastalqiy Bathalun min Abthalil Insaniyyah). Di makam tersebut berbaring seorang pejuang kemanusian. Penyematan kalimat tersebut memang berdasarkan wasiat Gus Dur. Namun memang Gus Dur layak menyandang “gelar” tersebut. Sepanjang hidupnya Gus Dur berjuang untuk kemanusian. Tidak peduli dirinya dicibir dan dikritik. Terpenting bagi Gus Dur adalah bagaimana memperjuangkan nilai-nilai universal Islam untuk kemanusiaan (rahmatan lil ‘alamin).
Sebagaimana Gus Dur, Gus Sholah juga memiliki kontribusi yang besar bagi bangsa ini. Pikiran-pikirannya tentang Islam dan keindonesiaan sering menghiasi media nasional. Gus Sholah juga termasuk penggagas pembuatan film Jejak Langkah Dua Ulama. Hadirnya film tentang dua tokoh besar Muhammadiyah dan NU tersebut adalah ikhtiar untuk mengeratkan hubungan Muhammadiyah dan NU. Betapapun Gus Sholah belum sempat menyaksikan tayangan perdana film tersebut namun kontribusi Gus Sholah akan dicatat sejarah.
Dari Gus Dur dan Gus Sholah kita belajar bahwa dalam hidup ini harus ada nilai-nilai luhur yang diperjuangkan. Perjuangan akan hal tersebut harus dilakukan secara istikamah sepanjang hayat. Namanya perjuangan tidak selamanya enak. Di situlah tantangannya, bagaimana terus bertahan betapapun keadaan memberikan kemungkinan untuk berhenti. Sosok-sosok yang ikhlas berjuang adalah yang selesai dengan dirinya sendiri. Mereka fokus untuk memikirkan nasib banyak orang dan kemajuan bangsa.
Jiwa pengorbanan Gus Dur dan Gus Sholah tentu tidak lepas dari didikan—dan tentu saja barakah—orang tua dan kakeknya. Tidak berlebihan ketika Ulil Abshar Abdalla atau Gus Ulil menulis testimoni bahwa Gus Dur dan Gus Sholah adalah hadiah Mbah Hasyim untuk negeri ini. Keduanya mewarisi spirit Mbah Hasyim yang duhulu telah mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) dan berkiprah untuk Islam dan Indonesia. Seba’da wafatnya Gus Dur dan Gus Sholah, ghirah tersebut harus terus kita lanjutkan sesuai peran kita masing-masing.
Gus Dur dan Gus Sholah adalah insan-insan pilihan. Selama hidupnya mendedikasikan dirinya untuk membantu banyak pihak. Bahkan, khususnya Gus Dur sampai wafatnya pun masih mendatangkan manfaat bagi umat. Setiap hari ramai orang berziarah ke pemakamannya. Menurut kesaksian Gus Miftah, perolehan kotak infak di komplek makam Gus Dur setiap bulannya tidak kurang dari 150 juta bahkan bisa menembus 300 juta. Uang tersebut tidak digunakan untuk membangun Ponpes Tebuireng melainkan untuk membantu dhu’afa dan yatim piatu.
Gus Mus pernah berujar bahwa seseorang akan meninggal sebagaimana dia hidup. “Matal ‘abdu ‘ala ma ‘asya,” tuturnya. Bagaimana seseorang menjalani hidup maka begitu pula ia akan mati. Gus Dur dan Gus Sholah telah meneladankan konsistensi dalam kebaikan dan perjuangan untuk umat. Keduanya wafat dalam keadaan mulia. Ditangisi karena kebaikan dan kemuliaannya. Ribuan manusia menghantarkan ke peristirahatan terakhirnya. Banyak yang berebut untuk mengangkat keranda jenazahnya. Tidak terhitung yang menshalatinya baik secara langsung maupun shalat ghaib.
Sekarang adalah tugas kita yang masih diberikan sisa usia oleh Allah ta’ala. Bagaimana menggunakannya dengan sebaik mungkin. Tidak cukup menjadi orang yang baik (shalih) tetapi juga berupaya menjadi pribadi yang mampu menjadikan orang lain menjadi baik (mushlih). Rasulullah mengingatkan bahwa amalan itu selain dinilai dari niatnya juga bagaimana akhir dari amalan tersebut. “Innamal a’malu bil khawatim,” sabdanya. Semoga kita bisa istikamah dalam kebaikan sampai mendapat husnul khatimah. Amin. []
[1] Sebelumnya, artikel ini telah terbit di Malang Post, Kamis, 06 Februari 2020.