MEMAKSIMALKAN KINERJA HUMAS PADA PERADILAN AGAMA
Oleh: Drs. H. Ambo Asse, S.H., M.H.
Peradilan Agama sebagai Lembaga Negara, yang kita telah peringati hari jadi yang ke 360 tahun, terbilang umurnya sudah tua, perjalanan sejarah peradilan agama telah ada sejak orang Islan mendiami bumi nusantara ini , namun pertumbuhanya selama 350 tahun (masa penjajahan Belanda dan Jepang) hingga Negara Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, peradilan agama tumbuh bagaikan sebuah bunga demokrasi yang dibonsai (harus hidup sebagai hiasan demokrasi tidak boleh mati, tetapi juga tidak boleh tumbuh besar), upaya Belanda dengan tokoh sentralnya Snouck Hoorgronye, memisahkan masyarakat Islam dari ajaran hukum agamanya (khusunya penegakan hukum Islam), lalu mengagungkan Hukum Adat sebagai panduan, jika hukum agama tidak selaras dengan hukum adat maka ia tidak dapat diterapkan dalam masyarakat sekalipun masyarakat itu beragama Islam, dengan demikian lembaga peradilan agama semula dengan kewenagan yang luas (meliputi jinayat/pidana) kemudian dipersempit (pedata agama yan sangat terbatas) dan tidak diberikan fasilitas yang mendukung pertumbuhannya, ia dilekatkan sebagai bagian dari kantor departemen agama dalam dan bekerja dalam sebuah ruang/kamar yang menangani laporan sengketa tentang Nikah Cerai Talak dan Rujuk NTCR) dimana putusan hakimnya diucapkan secara lisan dengan dokomen dan arsip yang sangat sedrhana dan persidangan tanpa diatur sebuah hukum acara tertentu dan hanya merujuk kepada kitab-kitab kuning yang berserakan yang memuat praktek-peraktek peradilan para ulama terdahulu, akan tetapi putusan hakimnya cukup diterima oleh masyarakat karena hakimnya adalah para ustadz dan kiyai, sebagian diantaranya diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil dan sebagian besar diperbantukan sebagai hakim honor.
selengkapnya KLIK DISINI
.