logo web

Dipublikasikan oleh Dr. Hj. Lailatul Arofah, M.H. pada on . Dilihat: 8114

KONSTATIRING SEBAGAI PINTU PERTAMA BAGI HAKIM DALAM MENEGAKKAN KEADILAN

Oleh: Dr. Hj. Lailatul Arofah, M.H.
(Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Samarinda)
 
I. Pendahuluan

Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Sebagai konsekuensi dari Negara hukum, semua tindakan yang dilakukan baik oleh penyelenggara Negara maupun oleh warganegara harus diatur dalam Undang Undang Dasar dan Undang-undang. Di dalam negara hukum, kekuasaan kehakiman merupakan badan yang sangat menentukan isi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkritisasi oleh hakim pada putusannya di depan Pengadilan, yang nantinya menjadi yurisprudensi.

Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa bagaimanapun baiknya segala peraturan hukum yang diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan itu tidak ada artinya apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh hakim yang mempunyai kewenangan untuk memberi isi dan kekuatan pada norma hukum dalam Undang-undang dan peraturan hukum lainnya.1

Keberadaan hukum baru terasa saat adanya suatu sengketa dan sarana terakhir untuk menyelesaikan suatu sengketa hukum itu adalah melalui pranata pengadilan yang berwujud pada putusan hakim.

Begitu berat tantangan seorang hakim dalam mengadili suatu perkara, maka Rosululloh Muhammad SAW membagi hakim dalam tiga kategori, sebagaimana dalam Hadits :

عن بريدة قال قال رسول الله صلئ الله عليه وسلم قال : القضاة ثلاثة اثنان في النار وواحد في الجنة . رجل عرف الحق فقضي به فهو في الجنة . ورجل عرف الحق فلم يقض به وجار في الحكم فهو في النار ورجل لم يعرف الحق فقضي للناس علي جهل فهو في النار

Artinya:

Dari Buraidah r.a. menceritakan Rosululloh SAW bersabda: ada tiga golongan hakim, dua dari padanya akan masuk neraka dan yang satu akan masuk surga, yaitu (yang pertama) hakim yang mengetahui mana yang benar lalu memutuskan hukuman dengannya, maka ia akan masuk surga, (yang kedua) hakim yang mengetahui kebenaran, tapi ia tidak menjatuhkan hukuman atas kebenaran tersebut, makai ia akan masuk neraka, (yang ketiga) hakim yang tidak mengetahui kebenaran, lalu ia menjatuhkan hukuman atas dasar kebodohannya, makai ia masuk neraka. (H.R. Imam Empat yang dinyatakan shohih oleh Al-Hakim)

Seorang hakim yang ingin menjadikan profesi hakimnya sebagai jembatan emas menuju surga, tidak punya pilihan lain selain harus menjaga integritas moralnya dan terus menerus memperdalam pengetahuannya dalam mengungkap kebenaran. Selanjutnya dalam upaya mengungkapkan kebenaran itulah kegiatan konstatiring ini menjadi sangat penting untuk mendapat perhatian secara khusus.

II. Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, maka dalam membahas konstatiring sebagai pintu pertama bagi hakim dalam menegakkan keadilan, ada beberapa permasalahan yang perlu dibahas, diantaranya adalah: Bagaimana kegiatan konstatiring yang ideal sehingga dapat memaksimalkan pengungkapan kebenaran serta bagaimana mewujudkan keadilan substansial dengan memantapkan proses konstatiring.

 

III. Pembahasan

      A. Mengungkap Kebenaran Peristiwa

Pada setiap sengketa, dapat dipastikan masing-masing pihak akan menyatakan bahwa dirinyalah yang benar dan pihak lawannya yang salah, oleh karena itu kedua belah pihak pasti akan berusaha meyakinkan hakim akan kebenaran dalil-dalilnya dengan berbagai argumentasi dan bukti-bukti yang diajukan. Bahkan orang yang berada dalam posisi yang salah bisa saja menghalalkan segala cara untuk melakukan rekayasa bukti, agar ia kemudian dapat menutupi kesalahannya dan memenangkan perkara, namun bagi seorang mukmin harus selalu meyakini bahwa hal-hal yang direkayasa oleh para pihak yang tidak terlihat oleh hakim, akan tetap harus dipertanggung jawabkan oleh para pihak di hadapan Allah SWT dalam peradilan di Akhirat kelak.

Dalam menganalisis bukti ini, kewajiban hakim terbatas pada apa yang mampu ditangkap oleh indranya:

  نحن نحكم بالظواهر والله يتولى السرائر  

“Kami menghukumi dengan sesuatu yang dhahir (lahiriah), dan Allah yang menangani seluruh yang tersembunyi (samar).”

 

Pada proses inilah, kegiatan konstatiring dilakukan oleh hakim dan pada tahap ini berlaku prinsip bahwa hakim memutuskan berdasarkan fakta yang terungkap atas dasar bukti-bukti yang mampu dianalisis dengan penglihatan secara kasat mata, sebagaimana kaidah di atas yang merupakan saripati dari beberapa hadits, diantaranya:

Di catat oleh Al Bukhari (2680), Muslim (1713), An Nasa-i (5401), At Tirmidzi (1339) dan yang lainnya,

عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ زَيْنَبَ ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَلْحَنُ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا بِقَوْلِهِ فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ ، فَلَا يَأْخُذْهَا “

dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Zainab dari Ummu Salamah Radhiallahu’anha, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Kalian menyerahkan persengketaan kalian kepadaku. Namun bisa jadi sebagian dari kalian lebih lihai dalam berargumen daripada yang lain. Maka barangsiapa yang karena kelihaian argumennya itu, lalu aku tetapkan baginya sesuatu hal yang sebenarnya itu adalah hak dari orang lain. Maka pada hakekatnya ketika itu aku telah menetapkan baginya sepotong api neraka. Oleh karena itu hendaknya jangan mengambil hak orang lain”.

Kegiatan konstatiring ini tidak dapat dipisahkan dengan hukum pembuktian, hal mana dalam hukum acara perdata, peran hakim dalam pembuktian ini meliputi membagi beban pembuktian, menilai dapat tidaknya suatu alat bukti diterima serta menilai kekuatan pembuktian, oleh karena itu seorang hakim harus memiliki ilmu yang memadai mengenai teori pembuktian agar dapat lebih maksimal dalam mengkonstatir dalil-dalil para pihak untuk menemukan kebenaran peristiwa sebelum dilanjutkan pada “kwalifisir” dan “Konstituir”, artinya apabila hakim melakukan kesalahan dalam mengkonstatir, maka akan terjadi kesalahan dalam mengkwalifisir dan mengkonstituir, hakim akan salah dalam menerapkan atau menemukan hukumnya yang pada gilirannya akan salah pula dalam menjatuhkan putusan.

Kebenaran dapat terungkap atau tidak, merupakan hasil dari proses konstatiring yang dilakukan oleh hakim dengan bahan-bahan yang disajikan oleh para pihak, yakni bukti-bukti yang diajukan di persidangan, sesuai beban bukti yang telah ditetapkan, oleh karena itu bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak harus dinilai oleh hakim, apakah mememenuhi syarat formil dan materiil serta bagaimana kekuatan pembuktiannya. Dengan demikian mustahil seorang hakim dapat menyimpulkan kebenaran suatu peristiwa tanpa menganalisis bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua kebenaran dapat dibuktikan oleh para pihak.

Dalam melakukan fungsi konstatiring ini, hakim pemeriksa perkara bertindak aktif untuk menemukan kebenaran materiil . Hakim dapat memberi petunjuk kepada para pihak mengenai alat-alat bukti yang sah yang dapat dipergunakan untuk mendukung dalil gugatan penggugat ataupun bantahan tergugat. Fungsi inilah yang membedakan antara proses litigasi dengan proses mediasi ataupun alternatif non litigasi yang lainnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konstatiring secara tepat merupakan pintu pertama dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.

          B. Mewujudkan Keadilan Melalui Konstantiring

Membicarakan hukum adalah membicarakan hubungan antar manusia. Membicarakan hubungan antar manusia adalah membicarakan keadilan. Dengan demikian setiap pembicaraan mengenai hukum, jelas atau samar-samar senantiasa merupakan pembicaraan mengenai keadilan pula. Kita tidak dapat membicaralkan hukum hanya sampai kepada wujudnya sebagai suatu bangunan yang formal, kita juga perlu melihatnya sebagai ekspresi cita-cita keadilan masyarakatnya.2

Di kalangan praktisi di lingkungan Peradilan Agama pandangan keadilan dalam al_qur’an dalam implementasinya sering berpatokan pada Risalan Kholifah Umar Bin Khattab r.a. tentang Peradilan yang terdiri dari 14 item yang ditujukan pada Abu Musa Al-Asy’ary3 salah satu isi risalah tersebut adalah :

اس بين الناس في وجهك و مجلسك وقضاءك حتي لا يطمع شريف في حيفك ولا يياس ضعيف من عدلك  

Artinya: “Persamakanlah kedudukan manusia itu dalam majelismu, pandanganmu dan keputusanmu sehingga orang bangsawan tidak dapat menarik kamu kepada kecurangan dan orang yang lemahpun tidak berputus asa dari keadilan.”

Proses pemeriksaan perkara perdata sejak pembacaan Gugatan, jawab menjawab sampai kepada pembuktian adalah bahan bagi seorang hakim dalam mengkonstatir, oleh karena itu perlakuan yang sama dalam memberi kesempatan menyampaian dalil serta penentuan siapa yang dibebani bukti, menjadi kunci dari pintu pertama dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.

Sementara itu John Rawls sebagai salah seorang yang memberi pengaruh pemikiran cukup besar terhadap diskursus mengenai nilai-nilai keadilan hingga saat ini. dalam bukunya A Theory of Justice memandang keadilan sebagai kejujuran (justice as Fairness)4. Jadi prinsip keadilan yang paling fair itulah yang harus dipedomani. Menurut John Rawls ada dua prinsip Keadilan, yaitu:

  1. Keadilan yang formal (Formal Justice, Legal Justice): Menerapkan keadilan yang sama bagi setiap orang sesuai dengan bunyi peraturan. Disini hakim hanya sebagai corong Undang-Undang.
  2.  Keadilan Substantif (Substantial Justice): Keadilan yang substantif ini melihat keadilan lebih daripada keadilan formal, karena menerapkan hukum itu berarti mencari keadilan hakiki, dan dalam melaksanakan keadilan yang substantif ini harus didukung oleh rasa keadilan sosial, keadilan yang mengandung hak-hak dan kewajiban yang dapat diterima oleh masyarakat umum. 5

Dalam setiap sengketa, keadilan merupakan suatu nilai yang bersifat relatif dan subyektif.6 Oleh sebab itu menurut A. Mukti Arto agar rasa keadilan dapat diterima secara bersama-sama oleh Penggugat dan Tergugat, maka putusan yang baik adalah putusan yang dapat menampung dan menyatukan rasa keadilan secara intersubyektif antara Penggugat dan Tergugat. Hal ini sangat tergantung pada teknik dan seni bagaimana menegakkan hukum dan keadilan dalam setiap penyelesaian sengketa di Pengadilan7

Menilik ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits yang membahas tentang keadilan, antara lain:

 

َيا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ

(Allah berfirman), “Wahai Dawud, Sesungguhnya Kami menjadikan engkau sebagai khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu sehingga akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat siksaan yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” – (Q.S Shad: 26)

Hadits :

 

  وَعَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا تَقَاضَى إِلَيْكَ رَجُلَانِ, فَلَا تَقْضِ لِلْأَوَّلِ, حَتَّى تَسْمَعَ كَلَامَ اَلْآخَرِ, فَسَوْفَ تَدْرِي كَيْفَ تَقْضِي. قَالَ عَلِيٌّ فَمَا زِلْتُ قَاضِيًا بَعْدُ )  رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ, وَقَوَّاهُ اِبْنُ اَلْمَدِينِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ

 

“Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila ada dua orang meminta keputusan hukum kepadamu, maka janganlah engkau memutuskan untuk orang yang pertama sebelum engkau mendengar keterangan orang kedua agar engkau mengetahui bagaimana harus memutuskan hukum." Ali berkata: Setelah itu aku selalu menjadi hakim yang baik. Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits hasan menurut Tirmidzi, dikuatkan oleh Ibnu al-Madiny, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban. ( Al-Hafidh Imam Ibnu Hajar al-Asqalany, bulughul maram min adillatil ahkaam (tasikmalaya:pustaka al-hidayah, 2008)

Dari uraian ayat Al-Qur’an dan Hadits sebagaimana tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan penegakan keadilan yang dikumandangkan dalam Islam adalah “keadilan Substansial” atau penegakan keadilan secara haqiqi, walaupun dalam menganalisis bukti ada kecenderungan pada keadilan procedural, karena keterbatasan manusia hanya mampu melihat yang tampak, namun yang menjadi tujuan ahir tetap keadilan yang hakiki.

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menetapkan bahwa “Peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kalimat ini kemudian lazim disebut sebagai titel Eksekutorial.

Kalimat yang merupakan title eksekutorial ini, oleh Mukti Arto (Hakim Agung) dinilai memiliki makna Filosofis dan Yuridis sebagai berikut8:

  1. Secara Filosofis, kalimat ini mengandung makna bahwa hakim dilarang melakukan kesalahan yuridis di dalam menjatuhkan putusan yang berakibat putusannya tidak dapat dieksekusi. Titel ini mengingatkan hakim agar menjatuhkan putusan yang eksekutable
  2. Secara Yuridis, hakim tidak boleh lupa atau dengan sengaja tidak memuat title eksekutorial ini dalam putusannya

Konsekwensi komitmen Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Komitmen tersebut membawa konsekwensi bahwa :

  • Hakim pemeriksa perkara secara all-out dan sungguh-sungguh wajib mengerahkan seluruh potensi yang ada pada dirinya dengan semua kewenangan yang melekat pada jabatannya untuk mewujudkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada kasus yang dihadapi;
  • Hakim wajib membantu pencari keadilan dan berusaha dengan sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan agar para pihak benar-benar berhasil memproleh keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan menyelamatkan para pencari keadilan dari kegagalan memperoleh keadilan;
  • Bagi Hakim pemeriksa perkara, keadilan adalah nomor Wahid, sedangkan teks hukum adalah nomor dua. Jika hakim melihat ada keadilan dibalik tembok hukum konvensional, maka hakim harus melakukan terobosan terhadap hukum konvensional, demi menemukan keadilan untuk diberikan kepada para pencari keadilan;
  • Bagi hakim pemeriksa perkara tidak ada amal yang lebih mulia dari tekad mewujudkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Hakim yang konsisten dengan komitmennya tersebut mendapat jaminan berupa surga;
  • Hakim pemeriksa perkara harus mempertanggung jawabkan komitmennya tersebut di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Hakim yang menyimpang dari komitmennya tersebut diancam dengan api neraka.9

Dalam menyoal nilai-nilai keadilan, banyak sekali pakar hukum yang mencurahkan perhatiannya, diantaranya Prof. Dr. Drs. H. Amran Suadi, S.H., M.Hum. M.M., Ketua Kamar Agama berpendapat bahwa keadilan hukum merupakan kondisi yang tidak bisa berdiri sendiri, sebab keadilan sebagai sebuah bagian hukum yang berakumulasi dengan sebuah reaksi yang memberi stimulus pada suatu kondisi di seputar fakta-fakta yang berhubungan erat dengan lingkungan di mana peristiwa itu terjadi. Adil sebagai sebuah value menjadi relatif dan tergantung pada kondisinya, sehingga disimpulkan keadilan sebagai sebuah metabolimse biologis dalam darah atau value hukum itu sendiri.10

Maka proses konstatiring yang tepat akan mampu membuka tirai kebenaran dan selanjutnya kebenaran inilah yang menjadi titik tumpu dalam menegakkan keadilan yang merupakan sebuah metabolisme biologis dalam darah atau value hukum tersebut.

 

IV. Kesimpulan

Dari uraian pembahasan sebagaimana tersebut di atas, dapat dirumuskan kesimpulan bahwa proses pemeriksaan perkara perdata sejak pembacaan Gugatan, jawab menjawab sampai kepada pembuktian adalah bahan bagi seorang hakim dalam mengkonstatir, oleh karena itu perlakuan yang sama dalam memberi kesempatan menyampaian dalil serta penentuan siapa yang dibebani bukti, menjadi kunci dari pintu pertama dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, sebab bilamana hakim melakukan kesalahan dalam mengkonstatir, maka akan terjadi kesalahan dalam mengkwalifisir dan selanjutnya akan salah pula dalam mengkonstituir.

 


1Arbijoto , Kebebasan Hakim, Analisis Kritis Terhadap Peran Hakim  Dalam Menjalankan Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta, DM,  2010), hlm.  8

2Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum , (Bandung,Alumni,1986), hlm. 45

3Wahbah Azzuhaily, al-fiqhul islamiyyu wa adillatuhu, (Damsik,Darul -Fikri, cet. IX, 1428 H/ 2006 M), Jilid 8 hlm. 5928

4John Rawls, Teori Keadilan (A Theory of Justice) terjemahan Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, ( Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006) hlm 3

5Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya , (Jakarta, Kencana, 2008), hlm.34.

6Fathurrahman, Keadilan Dalam perspektif Psykologi, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,2001), hlm.41.

7A. Mukti Arto, Mencari Keadilan, Kritik dan Solusi Terhadap Praktek Perkara Perdata di Indonesia , (Yogyakarta,Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 149

8A. Mukti Arto, Penemuan Hukum Islam  Demi Mewujudkan Keadilan -Buku Kesatu, (Yogyakarta,Pustaka Pelajar, 2017), hlm. 50

9A. Mukti Arto, Ibid, hlm. 50

10Amran Suadi, Filsafat Keadilan , Biologikal Justice dan Praktiknya Dalam Putusan Hakim,  hlm. 50

 

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice