logo web

Dipublikasikan oleh Iwan Kartiwan pada on . Dilihat: 4779

PEJABAT DAN GRATIFIKASI SEKS *

Oleh : Firman Wahyudi

           

Akhir-akhir ini, seluruh instansi pemerintah baik vertikal maupun horizontal dituntut untuk melakukan sebuah Deklarasi atas sebuah komitmen untuk tidak melakukan praktik korupsi dan menyatakan wilayahnya bebas dari segala pungli dan bersih dalam melayani. Deklarasi yang digaungkan ini bukan hanya sebatas seremonial belaka atau sekadar melepaskan kewajiban semata, namun secara substansi mengandung nilai pertanggungjawaban secara yuridis dan moral, karena seluruh person yang turut dalam deklarasi tersebut mempunyai komitmen untuk pemberantasan korupsi dalam segala bentuknya.

            Perkembangan modus korupsi dilingkungan pejabat baik birokrat maupun politisi kini mengalami varian baru yang mencengangkan. Entah kenapa modus-modus korupsi yang dilakukan sekarang ini mengalami perubahan dengan wajah dan bentuk yang disesuaikan dengan selera koruptor itu sendiri. Mungkin karena bosan dengan uang yang menumpuk atau juga takut tertangkap tangan oleh KPK, maka gratifikasi yang dulunya berbentuk uang kini berubah wajahnya menjadi seorang wanita.

            Gratifikasi seks, itulah sebuah isu yang akhir-akhir ini muncul dan mencuat kepermukaan. Bisa jadi modus ini ditengarai karena dua hal pertama keinginan pejabat itu sendiri yang menginginkan adanya kepuasan tertentu dalam bentuk pelayanan seksual atau kedua karena si pejabat itu tak bisa dipengaruhi dengan uang maka tawaran dalam bentuk ini merupakan sebuah alternatif untuk memberikan kepuasan tersendiri sehingga kerapkali kebijakan yang dibuatnya bisa dipengaruhi dan diubah sesuai selera.

            Memang gratifikasi ini bukan merupakan barang baru dalam hal penegakan hukum di Indonesia. Arahnya berbeda dengan gratifikasi-gratifikasi lain namun substansi dan tujuannya sama yaitu korupsi. Yang membuat gratifikasi ini berbeda hanyalah dari segi obyeknya saja. Kalau dulu yang menjadi objek adalah uang namun sekarang berbentuk pelayanan seksual. Fenomena ini memberikan sebuah gambaran bahwa modus kejahatan korupsi semakin mengalami perekembangan strategi yang dinamis. Tampaknya koruptor semakin “cerdas” memanfaatkan strategi yang relevan dengan pihak yang terkait. Kecenderungan faham “Machiavellian”, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan tampak jelas dalam kejahatan korupsi dan mulai mewabah di negeri ini.

            Gratifikasi seks adalah wujud dari merendahkan martabat perempuan, dan ini menjadi preseden buruk terhadap isu kesetaraan gender yang selama ini sedang mengalami proses perkembangan. Kita seakan kembali ke zaman kuno, di mana perempuan dijadikan hadiah bagi para raja dan penguasa. Selaras dengan era jahiliyah, yang memposisikan perempuan sebagai sebuah “barang”, yang bisa diberikan dan diwariskan kepada orang lain.

Lahirnya MisoginiModern

Saat ini kita memasuki era modern di mana penghargaan terhadap perbedaan menjadi isu penting yang selalu digalakkan. Pengarusutamaan (mainstreaming) gender adalah salah satu isu penting era modern, di mana perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam wacana gender. Beberapa kebijakan publik yang saat ini ada, diupayakan untuk membangun kesetaraan dan keterlibatan perempuan dalam sektor publik. Kuota 30 persen bagi perempuan dalam politik kiranya menjadi langkah maju bagi upaya pengarusutamaan ini.

Namun ditengah hiruk pikuk modernisasi dan mainstreaming tersebut, stigma buruk perempuan menjadi tantangan yang masih selalu ada. Gratifikasi seks dalam hal ini adalah salah satu indikator akan adanya stigmatisasi ini. Praktik misogini yang merupakan platform era pra modern, menampakkan diri kembali dalam wajah yang berbeda, namun mempunyai substansi yang sama. Misogini merupakan sebuah nalar yang memandang rendah sosok perempuan. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, nalar misogini adalah kecelakan besar dalam sejarah kehidupan manusia, di mana posisi perempuan sangat tidak dipandang, apalagi dihargai.

Zaman jahiliyah pra-Islam kiranya bisa dijadikan gambaran akan praktik misogini ini. Masyarakat jahiliyah memandang perempuan sebagai perwujudan dosa, kesialan, aib dan hal-hal yang memalukan. Masyarakat Arab jahiliyah banyak sekali melakukan praktik pembunuhan bayi perempuan dan mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup. Hal ini dilakukan karena mereka memandang perempuan sebagai beban sosial dan aib yang bisa merendahkan derajat dan martabat keluarga.Dalam beberapa peradaban masyarakat lainnya, seperti Persia dan Romawi, banyak sekali praktik misogini yang memposisikan perempuan sebagai sebuah komoditas. Beberapa laporan sejarah menyatakan bahwa perempuan dijadikan sebagai hadiah dari raja yang satu kepada raja yang lain, sebagai pengikat sebuah kepentingan. Hampir sama dengan fenomena gratifikasi seks yang terjadi saat ini.

Dari sini, praktik misogini ternyata masih saja berlangsung dalam kehidupan modern. Gratifikasi seks menjadi pertanda bahwa mentalitas dan nalar para pejabat kita sama dengan nalar masyarakat jahiliyah dalam memandang perempuan. Meskipun ini bukan fenomena umum, namun boleh jadi ini adalah fenomena gunung es, kecil di permukaan namun besar dibawah. Bisa jadi selama ini praktik gratifikasi seks ini banyak dilakukan, hanya saja yang tertangkap tangan baru sebagian kecil.

Sebuah Harapan

            Dalam beberapa dekade terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengkaji pemberian sanksi terhadap penerima gratifikasi seks. Pengkajian gratifikasi seks itu merujuk pada konvensi internasional yakni United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).Selama ini, aturan yang mengatur tentang gratifikasi terdapat pada UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dimana pasal-pasal yang mengaturnya hanya terpaku pada obyek-obyek yang mengandung nilai rupiah. Padahal realita yang terjadi saat ini tidak menutup kemungkinan adanya gratifikasi seks. Dilihat dari substansi umum pelarangan gratifikasi itu adalah untuk menghindari terjadinya praktik korupsi, kolusi dan manipulasi di kalangan pembuat kebijakan. Adapun pemaknaannya tidak harus dalam bentuk uang tunai tapi bisa berupa diskon dan kesenangan. Hal itulah yang dapat digolongkan kedalam perbuatan penerimaan gratifikasi seks. Adapun arah pembuktiannya, pelaku tidak harus lapor sesuai dengan UU tapi arahnya ke case building melalui jalur pembuktian di persidangan.

Pada akhirnya, fenomena gratifikasi ini perlu menjadi perhatian kita bersama, bukan hanya terkait persoalan hukum, namun juga terkait fenomena sosial bangsa ini. Upaya preventif sangat diperlukan dalam upaya menghilangkan praktik ini, bukan hanya terkait perbaikan sistem, namun juga nalar sosial yang ada dalam masyarakat. Di satu sisi, peningkatan mentalitas dan karakter perempuan juga urgen dalam membentengi perempuan kita dari praktik prostitusi dan gratifikasi. Bagaimanapun juga kaum perempuan mempunyai peran yang signifikan bagi kelangsungan bangsa ini. Semoga hal ini bisa terwujud...!

*Hakim Pengadilan Agama Nanga Bulik

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice