logo web

Dipublikasikan oleh Iwan Kartiwan pada on . Dilihat: 25670

PANTUN HUKUM

Oleh: M. Novriandi, SH.[1]

A. Pengertian Pantun

Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara. Pantun berasal dari kata patuntun dalam bahasa Minangkabau yang berarti "petuntun". Dalam bahasa Jawa, misalnya, dikenal sebagai parikan, dalam bahasa Sunda dikenal sebagai paparikan, dan dalam bahasa Batak dikenal sebagai umpasa (baca: uppasa). Lazimnya pantun terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan), setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, bersajak akhir dengan pola a-b-a-b dan a-a-a-a (tidak boleh a-a-b-b, atau a-b-b-a). Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis.[2]

Semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi. Sampiran adalah dua baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris masyarakat pendukungnya), dan biasanya tak punya hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak. Dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut

Sebagai alat pemelihara bahasa, pantun berperan sebagai penjaga fungsi kata dan kemampuan menjaga alur berfikir. Pantun melatih seseorang berfikir tentang makna kata sebelum berujar. Ia juga melatih orang berfikir asosiatif, bahwa suatu kata bisa memiliki kaitan dengan kata yang lain. Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat, bahkan hingga sekarang. Di kalangan pemuda sekarang, kemampuan berpantun biasanya dihargai. Pantun menunjukkan kecepatan seseorang dalam berpikir dan bermain-main dengan kata. Namun demikian, secara umum peran sosial pantun adalah sebagai alat penguat penyampaian pesan.

Menurut Sutan Takdir Alisjahbana fungsi sampiran terutama menyiapkan rima dan irama untuk mempermudah pendengar memahami isi pantun. Ini dapat dipahami karena pantun merupakan sastra lisan. Meskipun pada umumnya sampiran tak berhubungan dengan isi kadang-kadang bentuk sampiran membayangkan isi. Sebagai contoh dalam pantun di bawah ini:

Air dalam bertambah dalam

Hujan di hulu belum lagi teduh

Hati dendam bertambah dendam

Dendam dahulu belum lagi sembuh

Beberapa sarjana Eropa berusaha mencari aturan dalam pantun maupun puisi lama lainnya. Misalnya satu larik pantun biasanya terdiri atas 4-6 kata dan 8-12 suku kata. Namun aturan ini tak selalu berlaku.

 

B. Pengertian Asas Hukum

Menurut terminologi bahasa, yang dimaksud asas ada dua pengertian. Yaitu yang pertama adalah dasar, alas, pondamen. Sedangkan arti asas yang kedua adalah suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir atau berpendapat.

Dan menurut bellefroid mengatakan bahwa asas hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan. Asas hukum merupakan sebuah aturan dasar atau merupakan prinsip hukum yang masih bersifat abstrak. Dapat pula dikatakan bahwa asas hukum merupakan dasar yang melatarbelakangi suatu peraturan yang bersifat kongkrit dan bagaimana hukum itu dapat dilaksanakan.

Asas dalam bahasa inggris disebut dengan istilah principle sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia asas dapat berarti hukum dasar atau dasar yakni sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Selain itu, asas juga diartikan sebagai dasar cita-cita.

Asas hukum merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam hukum yang harus dipedomani. Peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan asas hukum. Demikian pula dengan implementasi atau pelaksanaan hukum dalam kehidupan sehari-hari serta segala putusan hakim harus senantiasa mengacu pada asas hukum tidak boleh bertentangan dengannya. Jadi kesimpulannya, bahwa asas hukum adalah dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum, dasar-dasar umum tersebut merupakan sesuatu yang mengandung nilai-nilai etis.[3]

 

C. Pantun Hukum

Di sini penulis akan memberikan pesan hukum dalam bentuk pantun agar mudah diingat. Pesan hukum yang disampaikan oleh penulis adalah pesan hukum dalam bentuk asas-asas hukum yang selama ini berlaku di dunia peradilan.

1. Asas Equal before the law

Pergi ke MA bawa pisaw

Diomelin Satpam diduga teroris

Ada asas equal before the law

Yang tidak menerapkan amatlah miris

 

2. Asas Imparsialitas

Apa tanda hakim yang cerdas

Apabila ia selalu menela’ah

Apa arti asas imparsialitas

Apabila hakim tidah berat sebelah

 

3. Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan

Pengadilan Agama bersandar ke hukum tuhan

Menjadi penegak keadilan di Indonesia

Asasnya sederhana, cepat dan biaya ringan

Sehingga para pihak merasa bahagia

 

4. Asas ius curia novit

Biarpun kekalahan rasanya pahit

Namun tetaplah harus kita terima

Biarpun hakim asasnya ius curia novit

Namun tetaplah manusia terkadang salah

 

5. Asas prejudice of innoncent

Kalaulah hendak menjatuhkan putusan

Harus dipertimbangkan 100 persen

Kalaulah keadilan hendak ditegakan

Pakailah asas prejudice of innoncen

 

6. Asas audi et alteram partem

Hakim adalah sang pengadil

Bukanlah seorang abdi dalem

Kalau hakim hendak berbuat adil

Pakailah asas audi alteram partem

 

7. Hakim bersifat pasif

Bukanlah hakim suka mencari kesalahan orang

Karena hakim bersifat pasif

Jangan suka meminta uang

Hakim demikian amatlah naif


[1] Cakim PA Serang, PPC II terpadu

[2] Lihat Wikipedia atau pun Google Chrome yang diakses pada tanggal 21 Januari 2014 pukul 15.00 WIB.

[3] Lihat Wikipedia atau pun Google Chrome yang diakses pada tanggal 21 Januari 2014 pukul 15.00 WIB.

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice