logo web

Dipublikasikan oleh Rahmat Arijaya pada on . Dilihat: 3595


Pak Wahyu yang Saya Kenal

Oleh: Achmad Cholil

 

Dalam kurun waktu pengabdian di pengadilan agama sejak 2005, menjadi asisten Dirjen Badilag MA RI, Wahyu Widiana, adalah periode terbaik dalam perjalanan karir saya. Meski tidak dapat dibilang lama ‘mendampingi’ beliau, tapi masa-masa menjadi asisten orang nomor satu di Badan Peradilan Agama ini adalah periode emas buat saya. Waktu yang penuh sejarah dan pelajaran berharga itu memang tercatat kurang dari dua tahun. Dimulai September 2009 sampai dengan akhir Mei 2011. Karena awal Juni 2011 dengan sangat berat hati saya ‘terpaksa’ harus meninggalkan beliau untuk menetap di Melbourne Australia sampai akhir tahun 2012 untuk menyelesaikan S2 di Melbourne University.

Kuliah di Melbourne University, meski atas beasiswa ADS (Australian Development Scholarship) dan tentunya anugerah Allah SWT, akan sulit terwujud tanpa full support dari Pak Wahyu. Beliau memberikan dukungan penuh atas keinginan belajar ini. Awalnya saya setengah hati mengajukan aplikasi beasiswa karena kalau nanti diterima berarti saya harus berpisah dengan Pak Wahyu dan ketinggalan semua pelajaran serta bimbingan penting yang selalu saya dapat setiap hari darinya. Lebih dari itu, saya tidak bisa lagi secara langsung ikut membantu Pak Dirjen dalam berjuang memajukan peradilan agama.

Begitu ada kepastian beasiswa diterima, saya senang tapi bimbang. Setelah berita ini saya sampaikan ke Pak Wahyu, beliau gembira dan sangat mendukung. Ada kata-katanya yang sampai sekarang saya ingat untuk menjadi pegangan dan motivasi saya. “Cholil, kamu harus ambil kesempatan belajar itu. Jangan pikirkan pekerjaan disini (Badilag), nanti ada gantinya. Saya senang ada dari peradilan agama bisa belajar keluar negeri. Kamu harus maju dan nanti bisa memberikan sumbangsih untuk kemajuan peradilan agama.” Kata-kata itu diucapkan penuh ikhlas lebih seperti dari seorang ayah ke anaknya. Tak pelak, saya pun gagal membendung tetesan airmata.

Saya pun kemudian mengurus seluruh proses perizinan tugas belajar. Terima kasih yang tak terhingga kepada YM Bapak Ketua Mahkamah Agung dan Bapak Sekretaris MA atas pemberian izin dan tugas belajarnya. YM Bapak Waka MA Non Yudisial dan YM Bapak Tuada Uldilag juga memberikan dukungan yang sama. YM Bapak Tuada Pembinaan pun malah sempat memberikan motivasi dan wejangan ketika saya mohon pamit untuk berangkat.

Ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya juga saya sampaikan kepada Bapak Sekditjen Badilag, Bapak-bapak Direktur, Bapak/Ibu Pejabat di Badilag dan semua pejabat dan kawan-kawan yang telah memberikan dukungan dan doa. Kini, berbekal SK Tugas Belajar dari Dirjen Badilag atas nama Ketua MA, saya tercatat sebagai salah satu mahasiswa postgraduate di Melbourne Law School, sekolah hukum nomor satu di Australia dan ranking sepuluh di dunia. Segala puji bagi Allah.

Ibu Terria Lamsihar, mantan pejabat IALDF, Ibu Leisha Lister dari FcoA, YM Chief Justice Diana Bryant dan Ibu Cate Sumner adalah orang-orang yang juga memberikan dukungan penuh dalam proses penerimaan beasiswa ADS ini. Terima kasih saya yang tak terhingga untuk para tokoh yang sudah lama menjadi partner peradilan agama itu.

Saya sangat bersyukur bisa didekatkan dengan Pak Wahyu, sosok pemimpin yang yang tidak hanya kaya dengan ide kreatif inovatif, visioner, dan penuh semangat juang tapi juga memimpin dengan role model. What he says is what he does. Setiap manusia pasti punya kekurangan, tapi di mata saya, Pak Wahyu merupakan sosok pemimpin paripurna. Seluruh prasayarat untuk memimpin lembaga sebesar peradilan agama ini melekat lengkap pada dirinya. Saya merasa beruntung bisa berada diantara kawan-kawan lainnya di Ditjen Badilag yang dapat secara langsung melihat cara Pak Wahyu memimpin, menyelesaikan persoalan dan membuat kebijakan untuk kemajuan peradilan agama yang kita cintai.

 

Awal Mula Bertemu dan Dekat

Apa yang ditulis Pak Asep Nurshobah (Hakim Yustisial Kepaniteraan MA RI) di Suara Pembaca badilag.net yang berjudul 1001 Malam di Badilag Part 1, sebagian besar mencerminkan apa yang saya rasakan dan alami ketika berada dekat dengan Pak Wahyu. Saya membenarkan semua ungkapannya di tulisan itu. Karena memang itulah sebenarnya yang terjadi dan kami rasakan sebagai bawahan yang mendapat arahan langsung dari sosok pemimpin yang egaliter dan enerjik ini.

Sebelum berbagi dengan para pembaca tentang sosok Pak Wahyu yang saya kenal, saya ingin bercerita tentang proses perjalanan saya menjadi asisten pemimpin teladan ini. Cerita ini saya anggap penting untuk menegaskan tulisan pak Asep diatas tentang alasan profesional Pak Wahyu ketika menarik beberapa hakim/pegawai untuk dipekerjakan di Ditjen Badilag.

Beberapa hakim/pegawai yang saya tahu persis proses perekrutannya adalah seperti Pak Nasich Salam, Pak Hermansyah, dan Pak Rahmat Arijaya. Pak Nasich bergabung dengan Badilag tidak lama setelah saya ditarik ke Jakarta oleh Pak Dirjen. Saya untuk kerjasama dengan negara-negara barat, Ia untuk negara-negara Timur Tengah. Meja kerja kami di Badilag berdekatan. Pak Nasich putra Jogja ini alumni S1 Al-Azhar Mesir dan S2 Sudan. Ia masih tercatat sebagai mahasiswa S3 di Sudan. Orangnya cerdas, terampil dan gesit, tawadhu dan dedikasinya sangat luar biasa. Suatu ketika, saya tau isterinya sedang berjuang untuk kelahiran anak keduanya di rumah sakit, sendirian, tidak ada anggota keluarga yang menemani. Tapi ia masih saja di kantor karena ada pekerjaan yang sangat mendesak untuk segera diselesaikan. Subhanallah.

Tidak lama berselang, masuk Pak Hermansyah. Ia ditarik dari pengadilan agama di Jawa Timur. Pak Herman ini mantan wartawan salah satu media online ternama di Jakarta. Ia penulis handal. Tugasnya di Badilag membantu mengelola pemberitaan badilag.net. Pembaca pasti sudah akrab dengan gaya tulisannya yang enak dibaca di website kesayangan kita. Tulisannya terhampar dimana-mana. Kalau pembaca suka mengakses kompasiana, pasti tidak sulit menemukan tulisannya yang penuh gizi dan sering menggelitik pembacanya.

Selanjutnya Pak Rahmat Arijaya. Ia bergabung sekitar April/Mei 2011 untuk menggantikan pos yang akan saya tinggalkan waktu itu. Bahasa Inggrisnya bagus. Mungkin ia adalah orang pertama kali dari lingkungan hakim peradilan agama yang tulisannya mampu menembus kolom opini di the Jakarta Post. Semangat juangnya tidak diragukan lagi. Waktu masih di PA Sekayu Palembang, ia aktif datang ke acara EMC (English Meeting Club) Badilag di Jakarta dengan ongkos pribadi. Ia juga aktif mengembangkan IT di kantor-kantornya terdahulu.

Baiklah, kembali saya ingin bertutur tentang perjalanan saya menjadi asisten pemimpin yang saya idolakan, Pak Wahyu.

Awalnya saya tidak kenal dekat dengan pak Wahyu. Kalau nama Wahyu Widiana, pasti semua warga peradilan agama sudah akrab mendengarnya, meski mungkin belum mengerti betul posisi Ditjen Badilag dalam hirarki struktural peradilan. Seperti halnya saya ketika awal-awal masuk menjadi CPNS/Cakim di Pengadilan Agama Jakarta Timur Juni 2005.

Akhir November 2006 adalah saat pertama kali saya melihat langsung beliau. Pada waktu itu Pak Wahyu memberikan materi seputar kebijakan Ditjen Badilag pada acara Diklat Cakim Angkatan I MA RI di Hotel Purnama, Batu, Malang. Presentasinya sangat mengesankan, banyak rekan-rekan cakim yang mengajukan pertanyaan. Di akhir acara beliau membagi-bagikan sticker warna hijau yang bertuliskan “Kunjungi www.badilag.net”. Dari situ pula awal mula saya mengenal website Badilag.

Tidak ada perkenalan/pertemuan khusus antara saya dengan Pak Wahyu pada waktu itu. Dari caranya memberikan presentasi, saya dan kawan-kawan cakim sangat terkesan. Sering kali kita bisa ‘membaca’ seseorang dari caranya berbicara dan menyampaikan materi. Dari penglihatan pertama ini saya sudah sangat terkesan. Pak Dirjen ini hebat dan cerdas, pikir saya. Saya tidak menyangka sama sekali jika di kemudian hari bisa berada di dekatnya dan mengikuti berbagai kegiatan yang dilakukannya. Betapa sebuah anugerah.

Menjelang akhir Agustus 2008, saya menerima SK Hakim. Saya ditempatkan di PA Maninjau. Nama Maninjau baru saya dengar setelah membaca petikan SK. Ternyata, ini satu-satunya PA yang terletak di ibukota kecamatan di Sumatera Barat.  Kantor PA Maninjau ini persis berada dibawah bukit. Gedungnya mini. Jalan masuk ke kantor berupa gang sempit yang sebagian tanahnya sudah tergerus erosi sungai kecil yang berada disisi jalan. Bahkan beberapa waktu sebelum saya dilantik, kantor ini terkena longsor besar dari bukit di belakangnya.

Isteri dan anak sulung saya menjadi saksi, betapa saya menangis dua hari dua malam begitu mengetahui jauhnya daerah penugasan ini. Andaikan isteri saya tidak ikut membesarkan hati dan anak saya tidak mendampingi waktu itu, mungkin saya sudah langsung kembali ke Jakarta pada hari yang sama saya menginjakkan kaki di Maninjau. Saya belum bisa menerima keadaan. Butuh waktu untuk menguatkan hati dan menerima kenyataan penempatan hakim ini. Indahnya bumi Maninjau yang sudah mendunia tak mampu menghibur saya kala itu.

Tapi ternyata itulah rahasia Allah yang saya tidak tahu dan baru saya sadari di kemudian hari. Justru dari Maninjau inilah semuanya berawal. Saya bangga menjadi keluarga besar PA Maninjau. Ini PA paling terpencil di Sumbar, tapi jangan tanya kalau masalah kualitas pegawai dan rasa kebersamaan/kekeluargaan. Dengan perkara relatif sedikit, saya bisa memanfaatkan waktu untuk mengeksplor bidang-bidang lain, seperti mendalami IT, mempelajari yurisprudensi dan kembali menekuni bahasa Inggris yang saya minati.

Di PA ini saya bersyukur dan terima kasih bisa kenal dengan Mohd. Dedy Aprilan, ahli IT sekarang bertugas di PTA Padang. Dari pak Dedy ini saya banyak belajar mengutak-atik website dan permasalahan IT lainnya. Dari hakim-hakim senior yang terlihat selalu haus akan ilmu, saya banyak belajar menangani perkara. Begitu juga dari kawan-kawan kepaniteraan dan kesekretariatan yang tidak mungkin saya sebut satu persatu.

Kebersamaan dan kekeluargaan di PA Maninjau sangat kental terasa. Meski berada di kecamatan tapi tidak mau kalah dalam usaha memberikan yang terbaik untuk publik. Beberapa prestasi sudah ditorehkan oleh PA yang menghadap danau indah Maninjau ini. Bahkan, salah satu hakimnya saat ini, Adil Fakhruroza, tercatat sebagai salah satu anggota handal di Timnas Siadpa Online Badilag.

Sampai akhirnya pada Oktober 2008, Pak Wahyu dalam kunkernya ke Sumatera Barat berkenan memberikan kunjungan singkat ke Maninjau. Pada saat itulah saya memiliki kesempatan berbicara secara langsung dengan mantan sekretaris Menteri Agama selama lima periode ini. Saya menjadi ‘guide’ beliau ketika menginspeksi pemanfaatan IT di kantor dan sejauhmana update para pegawai dengan situs badilag.net. Kunjungan singkat tapi memberikan ever lasting impression. Kedatangan Pak Wahyu merupakan kebanggaan dan motivasi besar bagi kami karena meskipun di tempat terpencil, beliau berkenan singgah dan memberikan pembinaan langsung.

 

Inventarisasi SDM Bahasa Inggris & www.badilag.net/english

Setelah kunjungan itu, praktis tidak ada komunikasi lanjutan dengan Pak Wahyu. Sampai kemudian Badilag membuka ‘lowongan’ inventarisasi SDM Bahasa Inggris pada tanggal 22 Juni 2009.

Alhamdulillah internet di PA Maninjau bisa diakses 24 jam, jadi bisa dengan cepat mengetahui adanya pengumuman ‘Inventarisasi SDM yang Mahir Berbahasa Inggris’ itu. Tertarik, saya pun segera menyiapkan CV dan nilai TOEFL yang diminta Badilag.  Atas persetujuan Ketua PA Maninjau dan tembusan ke PTA Padang, saya kirimkan satu berkas ke email Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya..

Skor TOEFL saya (dari LBPP LIA) waktu itu adalah 594. Entah kebetulan atau memang sudah digariskan Allah, test TOEFL itu saya ambil hampir bersamaan dengan munculnya pengumuman di badilag.net. Padahal saya tidak tahu akan adanya pengumuman itu. Jadi, begitu baca pengumuman inventarisasi SDM dengan syarat mengirimkan nilai TOEFL, saya berpikir kok pas sekali momentnya.

Setelah mengirimkan data via email badilag, saya tidak mengharapkan apa-apa. Toh itu kan cuma inventarisasi SDM saja pikir saya. Sampai kemudian pada akhir Juni atau awal Juli 2009, tepatnya saya lupa, saya dikagetkan oleh telpon masuk ke hp yang ternyata dari Pak Dirjen. Kaget sekali, grogi dan speechless. Saking groginya, setelah menerima telpon itu saya sampai berkali-kali keluar masuk ruangan kantor sambil memandangi nomor hp yang baru saja masuk. Ada perasaan senang luar biasa tapi sekaligus juga belum bisa percaya hakim di pelosok seperti saya sudah ditelpon pejabat pusat eselon I peradilan agama.

Yang membuat saya yakin adalah suaranya yang sudah saya kenali dan isi telponnya yang menyuruh saya membuat makalah dalam bahasa Inggris untuk melengkapi persyaratan inventarisasi SDM seperti yang sudah diumumkan badilag.net.

Ternyata, belakangan saya tau inventarisasi itu tidak hanya sekedar menginventaris SDM. Tapi Ditjen Badilag punya maksud jauh kedepan. Salah satunya adalah pembangunan website badilag.net versi Bahasa Inggris. Kemudian direkrutlah lima orang yang sudah mengirimkan datanya berdasarkan nilai TOEFL tertinggi. Kelima orang itu adalah saya sendiri, Andi M. Yusuf Bakri (Hakim PA Takalar, Makassar), Shofa’u Qolbi (Hakim PA Kalianda, Lampung), M. Noor (Hakim PA Painan, Padang), dan Ahsan Dawi Mansur (Hakim PA Sengeti, Jambi).

Kami berlima bertugas sebagai tim editor bahasa. Sementara design website ditangani oleh tim yang diketuai Pak Asep Nurshobah dengan anggota tim Hirpan Hilmi, Endah Purnamasari, Helmi Indra Mahyudin dan Herman Hermanto. Selama empat hari (9-12 Juli 2009) di Bandung kami berjibaku siang dan malam untuk membidani proses lahirnya ‘anak kedua’ Badilag di dunia maya.

Alhamdulillah, pada hari berikutnya 13 Juli 2009, website badilag.net versi Bahasa Inggris resmi dilaunching oleh Dirjen Badilag di kantor yang masih beralamat di Jl. Pegangsaan Jakarta Pusat. Grand Launching kemudian dilakukan di arena Rakernas MA RI di Palembang pada Oktober 2009. Kali ini YM Tuada Uldilag yang meluncurkannya.

Beberapa hari kemudian paska launching 13 Juli 2009, Pak Dirjen mengabarkan saya akan ditarik ke Badilag untuk menangani konten www.badilag.net/english sekaligus menangani kerjasama internasional. Tapi SK hakim saya ditempatkan di PA Pandeglang, Banten. Kabar ini saya sampaikan ke keluarga besar, isteri dan orang tua saya. Mereka dan tentu saja saya sendiri sangat terharu mendengar kabar baik ini. Orang tua saya yang sudah sepuh bahkan sampai sujud syukur dan menangis. Maklum, karena dulu begitu tau saya ditempatkan di Maninjau, saya sudah beritahukan bahwa paling singkat saya akan bertugas selama 3 tahun di Maninjau. Dan kalaupun nanti mutasi, belum tentu akan langsung pindah ke Jawa.

Yang saya tau, salah satu alasan kenapa saya yang dipilih, itu karena waktu itu TOEFL saya yang tertinggi diantara kawan-kawan anggota tim bahasa. Pertimbangan-pertimbangan lainnya hanya Pak Dirjen dan para pimpinan di Badilag yang tahu. Saya yakin banyak kawan-kawan peradilan agama yang Bahasa Inggrisnya bagus dan TOEFL nya melebihi skor saya. Tapi mungkin karena satu dan lain hal, pada waktu itu tidak sempat atau mungkin terlambat mengirimkan datanya begitu pengumuman Badilag itu dibuka.

 

The Story Begins

Kekaguman saya yang mendalam terhadap sosok Pak Wahyu dimulai ketika proses pembangunan website badilag.net versi Bahasa Inggris itu. Beliau waktu itu didampingi Pak Sunarto, sekarang Kasubdit Mutasi Hakim, terlibat langsung dan sangat aktif dalam proses tersebut. Tidak hanya memantau, tapi Pak Dirjen langsung ikut nimbrung, mengoreksi kalimat per kalimat, kata per kata, bahkan sampai huruf per huruf. Pekerjaan itu beliau lakukan dari pagi hari sampai tengah malam bahkan menjelang pagi lagi. Subhanallah pikir saya, kok ada yah Dirjen yang seperti ini, bekerja bersama dan berbaur dengan kita-kita yang secara struktural jauh berada dibawahnya.

Praktis, dalam proses lahirnya badilag.net/english itu Pak Dirjen lah sebetulnya yang mempunyai andil jauh lebih besar dibanding kami-kami anggota tim. Beliau juga yang lebih menentukan penggunaan nomenklatur dalam website tersebut. Bahan ‘mentah’ yang sudah kami buat kemudian beliau eksaminasi. Kami juga menyerahkan semuanya ke beliau karena kemampuan Bahasa Inggrisnya memang diatas kami. Sebagai alumni uiversitas ternama di Amerika Serikat, Michigan University, dan sudah lama malang melintang di kancah Internasional,  Pak Wahyu tentu memiliki ‘feel’ Bahasa Inggris yang akurat.

Hal itu berlanjut sampai sekarang. Tidak jarang Pak Wahyu menelpon hanya untuk memberitahukan kalau berita yang sudah dipublish itu misalnya salah ‘tenses’ atau kurang huruf ‘s’ dan lain sebagainya. Bukan masalah koreksinya yang jadi fokus utama saya, tapi betapa perhatian beliau yang luar biasa. Beliau apresiasi semua hasil karya anak buahnya. Sering kali beliau kirim SMS: ‘’Beritanya sudah saya baca. Bagus. Terima kasih ya.” Buat saya itu penghargaan yang tinggi. Kalau sudah baca SMS seperti itu, hati saya lega dan senang. Langsung hilang semua rasa capek.

Dari pengalaman empat hari di Bandung itu dan dikuatkan pengamatan saya dalam keseharian beliau, ada tiga karakter dari Pak Wahyu. Pertama, beliau sangat well-organized dan well-prepared. Dalam berbagai kegiatan, beliau selalu memastikan semua elemen penunjang kegiatan sudah diorganize dan dipersiapkan dengan baik. Pak Wahyu tidak segan-segan dan bahkan sering kali turun tangan langsung dan mengerjakan sendiri hal-hal meskipun kecil yang dapat membantu memperlancar kegiatan.

Kedua, totalitas dalam mengimplementasikan ide. Pak Wahyu kalau sudah punya ide, beliau tidak akan setengah-setengah melaksanakannya. Muncul ide, ungkapkan, matang rencanakan, dan laksanakan. Dan satu lagi, GPL, Gak Pake Lama. Semuanya harus cepat dan tuntas. Untuk yang satu ini, terus terang pada tiga bulan pertama saya di Badilag, saya masih sering ternganga dan keteteran mengikuti irama kerja beliau. Kawan-kawan senior di Badilag cuma tersenyum dan bilang ke saya; “Jangan heran, Pak Dirjen emang hobinya ‘lari’”. Yang dimaksud ‘lari’ oleh kawan-kawan ini merujuk ke kinerja Pak Wahyu yang selalu sigap dan cepat dalam melaksanakan gagasan dan perubahan. Tidak heran juga kalau Cate Sumner dan Tim Lindsey menyebut kunci sukses reformasi peradilan agama dalam waktu singkat adalah karena tipe kepemimpinan yang kuat dan cepat tanggap seperti yang dimiliki Pak Wahyu ini.

Less Procedural, adalah karakter ketiga yang saya simpulkan. Pak Wahyu agaknya kurang suka dengan formalitas dan sistem yang terlalu prosedural. Sering kali beliau meng ‘cut’ jalur birokrasi demi efektifitas dan efisiensi kerja. Tapi bukan berarti beliau acuh dengan birokrasi dan hirariki struktural, tidak sama sekali. Bahkan beliau selalu menekankan pentingnya koordinasi, koordinasi, komunikasi dan komunikasi. Asas efektif dan efisien dipegang erat oleh alumni Pondok Pesantren Cipasung Tasik Malaya Jawabarat ini. Beliau selalu mencari jalan agar suatu kegiatan/kebijakan berjalan efektif dan efisien tanpa mengganggu sistem birokrasi yang memang juga penting.

Pak Wahyu juga sosok yang merakyat dan egaliter. Hampir setiap pagi begitu masuk kantor atau siang hari jika paginya beliau dinas luar, selalu saja disempatkan menyapa staff-nya satu-satu dan mengajukan pertanyaan khasnya: “Hai apa kabar dunia, ada perkembangan baru apa?”, tanyanya sambil tersenyum. “Ada perkembangan baru apa?”, pertanyaan ini simpel tapi memacu saya berpikir dan kemudian menanyakan diri sendiri: “Apa yang sudah saya lakukan kemarin dan hari ini untuk membantu tugas-tugas beliau yang begitu berat?”.

Betul kata Pak Asep, hampir tidak ada kesan mana atasan dan mana bawahan ketika Pak Dirjen ngobrol dengan staff-staffnya. Pak Wahyu memposisikan sedemikian rupa sehingga tidak kentara perbedaan posisinya sebagai orang nomor satu di peradilan agama. Tapi tetap saja, kedekatan kami itu tidak sedikitpun mengurangi wibawa dan kharisma beliau. Malah kami tambah ‘segan’.

Satu hal yang membuat saya sangat tersanjung. Ketika mengajak saya untuk hadir di rapat-rapat dan pertemuan, baik dengan para pejabat tinggi Mahkamah Agung dan instansi lainnya, Pak Wahyu tidak lupa selalu memperkenalkan saya dan menyebutnya sebagai kawan (bukan asistennya). “Ini kenalkan kawan saya dari Badilag, Cholil,” katanya. Tidak itu saja, beliaupun selalu memberikan tempat duduk buat saya disampingnya dalam rapat-rapat tersebut. Saya sendiri sebetulnya kikuk atau risih mengingat saya hanyalah staff beliau. Tapi itulah akhlak pemimpin egaliter ini. Saya sangat merasa diistimewakan sekali. Kawan-kawan yang lain di Badilag pun sama diperlakukan beliau seperti itu.

Yang membuat saya heran, Pak Wahyu itu meski usianya dua kali lipat lebih tua dari saya tapi staminanya berlipat-lipat diatas saya. Baik stamina fisik maupun stamina otak/pikiran. Sering kali beliau menyetir sendiri keluar kota seperti Jogja dan Bandung pergi pulang. Disambung dengan berbagai kegiatan dan jadwal yang amat padat. Ditambah lagi dengan harus memberikan presentasi dimana-mana. Luar biasa. Semoga Allah selalu melimpahkan nikmat sehat wal afiat kepada beliau.

Memimpin dengan role model adalah tipe kepemimpinan Pak Wahyu selanjutnya. Beliau tidak hanya memberi instruksi tapi juga memberi contoh nyata dalam sehari-hari. Contohnya, Pak Wahyu dalam berbagai kesempatan sering mengingatkan warga Badilag untuk jangan coba-coba ‘bermain-main’ dengan anggaran. Ini beliau contohkan secara real. Coba bayangkan, Pejabat Eselon I itu setau saya kalau untuk naik pesawat jatahnya adalah tiket VIP, tapi Pak Wahyu setau saya belum pernah pakai VIP, selalu tiket ekonomi. Malah saya pernah mendampingi beliau kunker ke daerah Jawa Timur dengan sarana transportasi kereta api, bukan pesawat. Ketika saya tanya tentang kebiasaan itu, beliau menjawab untuk menghemat anggaran. Jatah pejabat eselon I itu sisanya bisa digunakan untuk kegiatan lain yang bermanfaat, katanya.

Beliaupun selalu menolak keras jika kawan-kawan di daerah mau membayari biaya menginapnya di hotel selama kunker. Alasannya karena memang sudah dibiayai oleh anggaran Ditjen Badilag. Tidak boleh ada dobel penganggaran.

Pak Wahyu juga sosok yang cerdas, penuh ide kreatif dan brilliant. Beliau juga visioner dan memiliki network yang luas, tidak hanya didalam negeri tapi juga di tingkat Internasional. Jaringan kampusnya kuat. basis NGO, ormas dan akar rumputnya juga solid. Akses ke dunia politik juga luas. Pengalamannya mendampingi beberapa Menteri Agama memberikan andil yang besar untuk itu. Pak Wahyu itu mudah bergaul dan cepat akrab dengan berbagai kalangan.

Ada satu hal ‘unik’ yang saya perhatikan ketika beliau terlibat dalam berbagai pertemuan Internasional. Konferensi IACA tingkat Asia Pasifik di Bogor Maret 2011 lalu contohnya.  Dalam satu acara cocktail party, tamu-tamu luar negeri itu banyaknya ‘mengerubungi’ Pak Wahyu padahal disana berkumpul pejabat teras peradilan se-Asia Pasifik.

Wah, tak terasa sudah 8 halaman saya berbagi cerita dengan pembaca. Memang dibutuhkan daftar panjang untuk menginventaris karakter dan sosok Pak Wahyu baik secara pribadi maupun sebagai Dirjen. Kalau disebutkan satu persatu mungkin akan menjadi satu buah buku. Sama halnya jika kita berusaha membuat list capaian yang ditorehkan peradilan agama dibawah kepemimpinan Pak Wahyu. Butuh satu buku khusus lagi untuk membahas hal itu.

Terakhir, saya ingin mengutip tipe dan karakter kepemimpinan Pak Wahyu seperti yang disinggung Cate Sumner dan Tim Lindsey dalam buku ‘Courting Reform’ yang fenomenal itu.

Di halaman 34, pengarang buku itu menulis:

“Peradilan agama adalah institusi pertama di MA RI yang menerima feedback dari pengguna pengadilan melalui survey skala besar pada rentang waktu 2007-2009. Sesungguhnya proyek penelitian ini sangat beresiko tinggi bagi jabatan Dirjen yang diemban Wahyu Widiana. Ketika ditanya oleh pengarang buku  mengapa ia begitu siap dengan resiko mempertaruhkan jabatan itu, jawabannya adalah : “A reforming institution listens to what clients don’t like and their suggestions for what should be changed.” – Institusi yang mau mereformasi diri (harus mau) mendengar apa yang tidak disukai publik dan (menerima) saran mereka tentang apa saja yang harus berubah --

Keterbukaan Pak Wahyu terhadap kritik ini membantu menjelaskan mengapa reformasi di peradilan agama maju begitu pesat pada tahun-tahun belakangan ini.”

Itu sekelumit dari sosok Pak Wahyu yang saya kenal. Saya sangat mengagumi dan mengidolakan beliau. Pak Wahyu sudah membawa saya kepada satu posisi dimana saya bisa melihat peradilan agama secara global dalam percaturan domestik dan internasional. Beliau sudah memberikan banyak pencerahan dan pembelajaran sebagai bekal saya untuk menapaki hidup lebih lanjut. Tidak bisa digambarkan dengan kata, saya belum bisa menemukan kata yang tepat untuk mengungkapkan hal itu. Terima kasih Pak atas semuanya, hanya Allah SWT lah yang dapat membalas semua amal baik Bapak. Semoga dibalas dengan lipatan pahala dari Yang Maha Kuasa. Saya berdoa semoga Bapak selalu diberikan nikmat sehat walafiat, selalu sukses dalam segala hal yang baik, dan diberkahi dalam setiap langkah, amiiin. (choliluna)

Insya Allah bersambung: “Wahyu Widiana, Bapak Pembaharu Peradilan Agama”

 

Uploaded by Rahmat Arijaya

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice