logo web

Dipublikasikan oleh Ridwan Anwar pada on .

 

 

 

 

PTA Palangka Raya  Menyelenggarakan Diskusi Hukum


Palangkaraya | PTA Palangkaraya

Kegiatan rutin IKAHI PTA Palangka Raya antara lain adalah menyelenggarakan diskusi hukum setiap bulan sekali, yang diikuti oleh para Hakim Tinggi dan Panitera Pengganti serta unsure kepaniteraan.

Materi diskusi bervariasi, adakalanya diangkat dari hasil temuan pengawasan HATIBINWAS, hasil eksaminasi berkas yang diajukan banding, dan adakalanya berupa makalah yang disajikan oleh pemakalah yang telah ditentukan melalui jadwal diskusi.

Pada bulan yang lalu, tepatnya pada tanggal  10 September 2014 makalah berjudul  “SISTEMATIKA PERTIMBANGAN HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMAyang disajikan oleh Bapak Drs. HM. Anshary MK, SH.,MH. Rumusan yang ditawarkan oleh pemakalah tentang sistematika pertimbangan hukum putusan PA adalah sebagai berikut:

1.      Gugatan penggugat bertujuan sebagaimana tersebut di atas;

2.      Kompetensi, apabila diajukan eksepsi;

3.      Legal standing;

4.      Perdamaian via HIR/RBg dan Mediasi (PERMA No. 1/2008)

5.      Dalil-dalil gugatan;

6.      Bukti-bukti;

7.      Penilaian alat bukti/mengkualifisir;

8.      Mengkonstatir/pendapat hakim yang disertai dalil pasal/hokum;

9.      Kesimpulan hakim untuk dikabulkan atau tidak;

10.  Biaya perkara;

11.  Mengingat akan peraturan perundang-undangan;

Diskusi Hukum kali ini, yakni pada tanggal 16 Oktober 2014 berupa makalah yang disajika oleh Bapak Drs. H. Moh.Munawar (WK. PTA. Palangka Raya) dengan topic “Dissenting Opinion Dalam Teori Dan Praktek”.

Dalam makalah tersebut disajikan pengertian masalah dissenting opinion, landasan hukumnya antara lain Pasal 14 ayat (3) UU Nomor 48 Tahun 2009, manfaatnya antara lain menjaga independensi hakim, sarana untuk menemukan hakim yang berkualitas, bermoral dan berdedikasi tinggi, dan pada sisi lain akan tampak hakim yang tidak bersungguh-sungguh dalam musyawarah majelis (hakim yes-men) yang hanya ikut pendapat hakim yang lain.

Pemakalah menegaskan bahwa dengan memahami jiwa dari Pasal 14 ayat (1) ketika dikorelasikan dengan ketentuan ayat (3) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sebenarnya suatu putusan pengadilan harus didasarkan kepada hasil musyawarah untuk mencapai mufakat bulat.

Tetapi oleh karena hukum menjunjung tinggi dan menghormati kebebasan hakim dalam berpendapat, maka tidak menutup kemungkinan dalam musyawarah majelis timbul perbedaan pendapat. Dan pendapat hakim yang berbeda itu tidak boleh dilenyapkan begitu saja tetapi harus ditampung dalam satu wadah. Oleh sebab itu eksistensi dissenting opinion merupakan emergency exit yang hanya dipakai dalam keadaan yang sangat mendesak yakni ketika musyawarah mufakat tidak tercapai.

Salah seorang peserta diskusi mempertanyakan keberadaan lembaga dissenting opiniondalam system hukum di Indonesia. Menurut beliau, meskipun lembaga dissenting opinion telah diatur dalam UU, tetapi keberadaannya mengundang kerancuan penerapan hukum di Indonesia. Alasannya, adalah dari aspek historis keberlakuannya. Tradisi dissenting opinion tersebut hanya dimungkinkan pada Anglo sexon, sementara Indonesia menganut system Continental.

Sementara peserta diskusi yang lain menjelaskan bahwa ada kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam menerapkan dissenting opinion meskipun banyak juga manfaatnya.

Kelemahan dimaksud antara lain, dapat menimbulkan kurang percayanya public terhadap lembaga peradilan, karena dalam satu putusan terdapat dua pendapat yang berbeda, dan dimungkinkan yang bersangkutan pada posisi hakim minoritas yang mengajukan dissenting opinion, tetapi kalah. Pada sisi lain, dimungkinkan munculnya suatu putusan pengadilan yang bernuansa hukum formil mengalahkan hukum materiil Allah.

Sebagai contoh dalam kasus sengketa warisan, bahwa ketika dua orang hakim majelis berpendapat bahwa anak tiri berhak mendapat warisan dari pewaris dan sama kedudukannya dengan anak kandung, sedangkan seorang anggota majelis mengajukan dissenting opinion yang berpendapat bahwa anak tiri tidak berhak mewaris karena memang bukan ahli waris sebagaimana yang diajarkan dalam Islam. Dalam hukum acara, putusan harus dijatuhkan berdasarkan suara terbanyak. Di sini hukum Tuhan dikalahkan oleh hukum formil.

Untuk itu, sepanjang dapat dicapai kata sepakat dalam musyawarah majelis, sedapat mungkin dissenting opinion dihindari.

Banyak permasalahan yang belum tercover dan terdapat pendapat yang berdisparitas, seperti apakah dissenting opinion dimungkinkan dalam bidang hukum formil, bagaimana penempatannya dalam putusan, dan sebagainya.

Oleh karena permasalahan dissenting opinion dalam diskusi tersebut dianggap belum tuntas, sebagian peserta menghendaki Diskusi dilanjutkan bulan depan dengan agenda yang sama.

 

 

 

 

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice