Perkara Jinayah MS Kualasimpang Menurun Drastis

Kualasimpang | kualasimpang.ms-aceh.go.id
Salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh Mahkamah Syar’iyah adalah kewenangan memeriksa dan mengadili perkara jinayat. Kewenangan tersebut diamanatkan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
Pada Pasal 128 ayat (3) disebutkan, Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata) dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam. Sedangkan aturan tentang pelaksanaan diatur lebih lanjut dalam qanun.
Meskipun Qanun tentang Khamar, Maisir, Khalwat dan sejenisnya telah lahir sejak tahun 2003, namun perkara-perkara pelanggaran terhadap Qanun tersebut baru diadili oleh Mahkamah Syar’iyah yang ada di Aceh sejak awal Pebruari 2005. Berdasarkan keterangan Panitera MS Kualasimpang, Drs. Syarwandi bahwa terhadap data perkara jinayah MS Kualasimpang sejak tahun 2005 a/d 2006 tidak bisa lagi diakses karena semua data fisik telah hilang akibat banjir besar yang melanda Aceh Tamiang pada tahun 2006.
Menurut beliau perkara jinayah pada tahun tersebut sampai mencapai puluhan perkara namun sejak tahun 2010 perkara jinayah yang masuk mengalami penurunan. Sementara itu penyelesaian perkara jinayat tahun 2012 diterima sebanyak 12 kasus meliputi Khamar 3 kasus, perjudian ( maisir ) 9 kasus. Dari 12 perkara tersebut semuanya telah diputus.
Sedangkan keadaan perkara jinayah sampai dengan bulan September 2013, terjadi penurunan yang signifikan, MS Kualasimpang baru menerima 2 perkara yakni kasus maisir dan kedua perkara tersebut sudah diputus NO karena baik Terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum keduanya tidak pernah hadir.
Apa yang menyebabkan perkara jinayah pada MS Kualasimpang menurun drastis, pertanyaan tersebut perlu dicari jawabannya, namun jawaban dari pertanyaan tersebut tentu didorong oleh beberapa faktor namun faktor-faktor tersebut harus ditemukan melalui penelitian yang mendalam terhadap aspek-aspek sosiologis maupun aspek yuridis.
Namun, penulis hanya ingin berasumsi dari segi teknis yudisial bahwa perangkat-perangkat pendukung pelaksaan syariat islam masih banyak yang tidak beroperasi secara baik. Sebagai contoh JPU tidak serius dalam mengajukan perkara jinayah sehingga sering ditemukan dalam beberapa perkara JPU tidak pernah hadir Disisi lain terdakwa dalam beberapa kasus, untuk tidak mengatakan kebanyakan, tidak pernah hadir dalam persidangan. Setelah dikonfirmasi kepada JPU, dikatakan mereka tidak bisa menahan terdakwa karena belum ada payung hukum untuk itu. Sehingga dalam pelaksanaannya Majelis banyak menjatuhkan perkara jinayah secara NO. Putusan NO dilakukan sesuai dengan SEMA No. 1 Tahun 1981.
Untuk mengantisipasi persoalan diatas sebenarnya DPRA Aceh telah menyiapkan rancangan qanun tentang Hukum Acara Jinayah namun sampai saat ini rancangan tersebut belum disahkan. Semoga dalam waktu yag tidak terlalu lama Raqan Hukum Acara Jinayah tersebut dapat disahkan, sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman bagi hakim-hakim dalam memutus dan menyelesaikan perkara-perkara jinayah. (AS)