Perdebatan Sengit Warnai Diskusi Hukum di PA Gresik

Gresik | pa-gresik.go.id
Jumát siang (7/2/2014), sekitar pukul 13.00 sehabis menunaikan shalat Jumát, digelar hajatan rutin diskusi hukum dan peradilan di aula PA Gresik. Suasana panas di siang bolong yang rawan ngantuk, tidak menyurutkan semangat para peserta untuk menimba ilmu.
Diantara yang hadir dalam acara diskusi tersebut adalah Ibu Ketua PA Gresik (Hj. Atifaturrahmaniyah, S.H.), Bpk. Wakil Ketua (Drs. H. Arifin, M.H.), Para Hakim, Panitera/Sekretaris (Hj. Mudjiati, S.H.) dan jajarannya yakni Wakil Panitera, Wakil Sekretaris, Para Panmud, dan para Panitera Pengganti.
Diskusi hukum dan peradilan yang digelar ini adalah merupakan diskusi hukum yang ke-tiga selama dalam kepemimpinan Ibu Ketua selain diskusi-diskusi lainnya, adapun tema yang diusung dalam diskusi kali ini adalah Kewarisan Saudara dan problematikanya yang dipresentasikan oleh H.M. Arufin, S.H.,M.Hum. didampingi oleh H. Suhartono, S.Ag.,S.H.,M.H. (Moderator) dan Hj. Nurhayati., S.H.,M.H. (Notulen).
Dalam prolognya moderator memberikan pengantar bahwa tema diskusi ini cukup menarik yang tentunya akan menambah khazanah keilmuan kita dibidang kewarisan, setidak-tidaknya akan merefresh kembali memori yang yang terpendam tentang teori-teori pembagian waris menurut hukum Islam, karena pemakalah juga akan menguraikan kewarisan ini dalam beberapa perspektif baik menurut KHI, Imam Syafii, Ahlussunnah, Hazairin dll. Ada beberapa model istinbat hukum yang dapat kita ambil dari beberapa manhaj baik dengan cara mentarjih, melakukan talfiq atau memilih aliran berikir eklektif.
Drs. H.M Arufin (tengah) mempresentasikan makalahnya.
Dalam paparannya, Pemakalah menyimpulkan berkenaan dengan bagian waris diantara saudara kandung, saudara seayah, saudara seibu dalam KHI masih menyisakan permasalahan yang belum tuntas, sehingga perlu ikhtiar dengan mengkomparasikan beberapa pandangan para pakar waris.
Kalangan Ahlussunnah membedakan saudara menjadi saudara kandung, saudara seayah, dan saudara seibu. Para ahli waris ini menghijab saudara seayah dan atau saudara seibu dari pewaris. Hazairin, mengartikan saudara dengan pengertian umum, tidak membedakan pengertian saudara dengan saudara kandung, saudara seayah/seibu, menurutnya tidak disyaratkan tidak adanya ayah dalam hal kalalah, kedudukan saudara pewaris adalah sejajar dalam hal mewaris dan tidak saling menghijab diantara mereka.
KHI, tidak mengadakan pembedaan kedudukan antara saudara pewaris dengan pengertian saudara kandung, saudara seayah dan saudara seibu. Pembedaan hanya terjadi pada besar kecilnya bagian dari masing-masing jenis saudara tersebut, hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 181 dan Pasal 182 KHI. Dalam KHI juga dinyatakan bahwa saudara-saudara dari pewaris itu baru dapat mewaris apabila pewaris meninggal dalam keadaan kalalah, dengan pengertian pewaris meinggal tanpa adanya anak dan ayah. KHI juga menegaskan bahwa di antara saudara kandung, saudara seayah dan saudara seibu tidak saling menghijab.
Diskusi berjalan semakin menarik ketika termijn tanya jawab dibuka, moderator membagi sesi tanya jawab menjadi dua termijn, termijn pertama diberikan kesempatan kepada para hakim, seperti tidak mau menyia-nyiakan kesempatan semua hakim ikut terlibat dalam perdebatan sengit, saling adu argumentasi, bahkan Bu Hj. Masitah yang terbawa suasana kesetaraan gender berpandangan bahwa Hakim dalam suasana kasus tertentu dapat saja menggunakan pendapat Hazairin demi terwujudnya keseimbangan dan keadilan hukum yang sesungguhnya.
Sementara H. Asrofi, S.H., M.H. lebih hati-hati menggunakan pendapat Hazairin yang menurutnya lebih dikenal sebagai pakar hukum adat daripada hukum Islam, sedangkan H.M. Bisri, S.H.,M.H. tidak kalah sengit bagaimana kalau para pihak menghendaki pembagian waris diselesaikan menurut madzhab yang dianut masing-masing para pihak?, H. Ach. Shofwan, M.S.,S.H. menimpalinya, kalau begitu harus ada kesepakatan diantara para hakim mana yang harus kita pakai?, pemakalahpun tak kalah sigap menanggapi perang argumentasi tersebut sehingga diskusi berjalan sengit.
Menengahi perdebatan sengit tersebut, Drs. H. Arifin, M.H. (Wakil Ketua) berpendapat kita sudah mempunyai tatanan hukum yang jelas kita jangan ikut-ikutan terjebak dalam madzhab centris, sejauh masalah waris itu tercover dalam KHI, maka itu yang menjadi pedoman utama, karena KHI merupakan ketetuan yang bersifat legal formal (positivisasi dari hukum abstrak) dan merupakan upaya harmonisasi hukum diantara para madzhab fikih yang sesuai dengan kultur Indonesia, jika ketentuan itu belum memenuhi rasa keadilan maka sudah semestinya kita harus menggali hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).
Para peserta diskusi aktif menyampaikan tanggapannya
Diskusi berlanjut pada termijn kedua, seakan tidak mau dengan kalah dengan para hakim. Para panitera, (panitera muda maupun panitera pengganti) juga menyampaikan pendapatnya dimotori oleh Hj. Emy Rum Hastuti, S.H. dkk, sehingga tidak terasa waktu menunjukkan pukul 14.15 sekitar 15 menit lagi diskusi harus segera diakhiri. Setelah memberikan konklusi dari jalannya diskusi, selanjutnya moderator memberikan kesempatan kepada Ibu Ketua untuk menyampaikan justifikasi.
Sebelum menyampaikan pandangannya, Ibu Ketua memberikan apresiasi kepada para peserta diskusi, terutama kepada pemakalah, karena diskusi berjalan seru dan menarik. Setelah mencermati dinamika diskusi dari awal hingga akhir, menurut Ibu Ketua pada intinya, hakim bebas saja berpendapat dalam memberi pertimbangan hukum karena disitulah letak independensi hakim dalam menemukan kebenaran dan keadilan yang sejati, yang terpenting adalah pertimbangan hukum yang diberikan mempunyai dasar hukum yang kuat, dan memenuhi prinsip/asas legalitas.
Diskusi berjalan sangat baik, atmosfir perdebatan berjalan positif, harapan saya semoga diskusi berikutnya lebih menarik lagi,“ujar Bu Ketua optimis. Selanjutnya tepat pukul 15.00 WIB diskusi ditutup oleh moderator diiringi applause dari para peserta.
(Tim IT)