logo web

Dipublikasikan oleh Ridwan Anwar pada on .

Ketua MS Aceh Menerima Delegasi Kemenkumham RI

 

Banda Aceh | ms-aceh.go.id

Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, Drs. H. Jufri Ghalib, S.H., M.H. yang  didampingi para Pejabat Kepaniteraan menerima Kunjungan Koordinasi Delegasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia di ruang kerjanya pada Kamis tanggal 10 Nopember 2016, dalam rangka memperoleh informasi tentang Implementasi Qanun Jinayat di Aceh.   

Para Delegasi yang dipimpin Ibu Harniati Kasubdit Instrumen Hak Sipil dan Politik dan seorang anggota Temmanengnga Kasi Evaluasi dan Pelaporan Implementasi Instrumen Hak Sipil dan Politik, Kementerian Hukum dan HAM. RI menyampaikan bahwa kunjungan dimaksud adalah dalam rangka Koordinasi Implementasi Instrumen Internasional Hak Asasi Manusia (Konvensi Menentang Penyiksaan) di Provinsi Aceh. Dan informasi tersebut sangat dibutuhkan dalam menindak lanjutipelaporan Pemerintah Indonesia ke Badan Traktat PBB yang periode berikutnya akan disampaikan pada tahun 2017 nanti. 

Harniati menyampaikan Rekomendasi Komite Hak Asasi Manusia; menyatakan penyesalannya atas diterapkannya penghukuman badan di dalam hukuman pidana, khususnya di Provinsi Aceh dimana Hukum Pidana Aceh (Qanun Jinayat), diantaranya mengatur hukuman yang melanggar Pasal 7 Kovenan, seperti hukum Cambuk untuk pelanggaran-pelanggaran terhadap Qanun (Perda) yang mengatur cara berpakaian, Qanun Khalwat (hukum yang mengatur pelanggaran laki-laki dan perempuan untuk berada hanya berdua di tempat sepi), dan Qanun Khamar (hukum yang mengatur pelarangan konsumsi alkohol).  Komite juga menyatakan penyesalannya atas pelaksanaan hukuman tersebut oleh Polisi Syari’ah (Wilayatul Hisbah) yang secara tidak proporsional lebih merugikan perempuan. 

Terhadap berbagai pertanyaan dari para delegasi, Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, Drs. H. Jufri Ghalib, S.H., M.H. menjelaskan bahwa, Mahkamah Syar’iyah merupakan pengembangan dari Peradilan Agama yang telah ada sebelumnya. Aceh memiliki otonomi  luas  dalam tata kelola pemerintahan, ekonomi,  politik, pendidikan, adat budaya dan Syari’at  Islam  (UU No. 44 Tahun 1999  dan UU No. 11 Tahun 2006).  

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam Pasal 128 UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, juga disebutkan bahwa Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang Ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), Muamalat (hukum perdata), dan Jinayat (hukum pidana) yang berdasarkan atas Syari’at Islam. Dan kemudian lahirlah berbagai peraturan perundangan berikutnya yang menjadi acuan untuk penerapan Syariat Islan di Aceh. Inilah dasar hukum bagi Mahkamah Syar’iyah di Aceh dalam menyelesaikan perkara-perkara atau kasus yang telah menjadi kewenangannya.

Drs. H. Jufri Ghalib S.H., M.H. juga menjelaskan bahwa, jenis-jenis perkara Jinayat (pidana) yang sudah diselesaikan di Mahkamah Syar’iyah seperti; Khalwat (pergaulan bebas), Maisir (perjudian) dan Khamar (minuman yang mengandung alkohol dan/atau memabukan).  Jufri Ghalib juga menjelaskan bahwa, sistem  pemeriksaan perkara Jinayat juga sama dengan pemeriksaan perkara lainnya sesuai azas Hukum Pidana umum.  Dan si Tersangka atau Terdakwa dapat didampingi oleh seorang Pengacara/Penasehat Hukum, bahkan apabila yang bersangkutan tidak mampu menyediakan Pengacara, maka Negara, dalam hal ini Pemerintahan Aceh akan menyediakannya secara gratis (prodeo). 

Adanya seorang Pengacara, merupakan hal yang sangat penting untuk mendampingi dan melakukan pembelaan terhadap hak-hak Tersangka atau Terdakwa, dan ini merupakan bagian dari hak hak azasi manusia.  Hal tersebut sesuai sebagaimana tertuang dalam Penjelasan Atas Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013, Tentang Hukum Acara Jinayat, Pasal 2 huruf c, tentang perlindungan hak azasi manusia.

Hal ini menunjukan bahwa Hak Azasi Manusia, tidak lepas dari prinsip-prinsip Islam dan diutamakan oleh Islam sebagai hak-hak dasar manusia.  Disamping itu Terdakwa diberi hak untuk menggunakan upaya hukum bagi yang tidak puas atau merasa tidak adil terhadap putusan pada Tingkat Pertama, dapat mengajukan Banding ke Mahkamah Syar’iyah Aceh, dan inilah Kantor Tingkat Bandingnya, jelas Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh.  Dan selanjutnya, apabila juga tidak dapat menerima putusan Banding, maka dapat mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung RI. 

Dan perkara-perkara yang sudah kita sebutkan, sudah pernah ditempuh upaya hukum oleh pencari keadilan dalam kasus Jinayat (Pidana), dan telah ada putusannya pada masing-masing tingkat berdasarkan aturan yang berlaku.  Dan Syariat Islam ini lebih cenderung kepada aspek pembinaan, bukan hukuman.   Oleh karena itu Syariat Islam tidak perlu ditakuti, apalagi dianggap melanggar HAM. dan pelaksanaan Syariat Islam tidak seperti yang dibayangkan masyarakat luar, terkesan brutal dan barbar. 

Pelaksanaan Syari’at Islam bersifat Kaffah bagi seluruh elemen masyarakat. Artinya Syari’at Islam berlaku kepada seluruh lapisan masyarakat baik kalangan bawah maupun kalangan atas untuk yang berdomisili di Aceh.  Berbagai aturan yang telah ditetapkan dalam Islam berlaku untuk seluruh golongan, masyarakat biasa, cendikiawan, dan pejabat pemerintahan, karena substansi dari Islam pada hakikatnya ditujukan untuk seluruh manusia tanpa pandang bulu, sehingga non Muslimpun tetap harus mematuhi norma-norma Islam yang telah diatur ketika ia berada dalam daerah syariat Islam, seperti seorang turis yang berwisata ke Aceh misalnya, tentunya ia harus menjaga tata cara dalam berpakaian dan sebagainya, ini merupakan manifestasi terhadap integritas seorang non muslim dalam mematuhi norma Islam dan menghormati kearifan lokal ketika dia berada didaerah Islam. 

Bahwa dalam suatu kasus yang telah menjadi inspirasi bagi pembuat Qanun, pada awal pemberlakuan Syariat Islam di Aceh, ada seorang warga Sigli, Kabupaten Pidie keturunan Tionghoa yang beragama non Islam yang menjadi seorang cukong judi Togel yang meminta dihukum dengan ketentuan Jinayat (cambuk) dan dia sendiri membuat pernyataan atas kesadaran sendiri untuk diberlakukan syariat Islam pada dirinya bukan karena terpaksa tapi lebih karena kemauan atas manfaat bagi dirinya.

Pada akhir penjelasannya Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh menyampaikan beberapa hal yang perlu menjadi pemikiran kita adalah :

  • Hendaknya perlu adanya pendampingan kepada generasi muda/pelajar, untuk membentengi berbagai pengaruh yang pada saat ini berkembang dan berubah sangat cepat karena perkembangan Informasi Teknologi.
  • Adanya pembelajaran pada tahap awal/dasar untuk memberikan pemahaman terhadap dampak dari berbagai penyimpangan atau kejahatan, lebih dini sebelum dilakukan penegakan.
  • Perlu adanya pembatasan konten-konten yang tidak sesuai dengan norma dalam masyarakat kita yang dikenal agamis.

Seharusnya ada suatu penelitian yang dilakukan, bagaimana kehidupan atau perilakunya orang-orang yang sudah menerima hukum cambuk itu sendiri.  Dan sejauh mana  kepuasan masyarakat tentang pelaksanaan Hukum Jinayat ini, dan semua ini harus diuji oleh pihak peneliti yang kredibel, pungkas Jufri Ghalib.

Demikian dialog dalamKunjungan Koordinasi Delegasi Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, para delegasi inipun merasa senang dan puas atas penjelasan dari Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh yang berlangsung lebih kurang selama 2 Jam tersebut.  (A. Latif - Tim Redaksi MS. Aceh).

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice