Ketua MS Aceh Hadiri Undangan Rapat kerja di DPRA
Banda Aceh | ms-aceh.go.id
Ketua Mahkamah Syar'iyah Aceh, ibu Dra. Hj. Rosmawardani, SH., MH, menghadiri rapat kerja lintas sektoral di gedung utama DPRA, pada hari Senin, tanggal 19 Oktober 2020.
Rapat kerja tersebut dipimpin langsung oleh Ketua DPRA, H. Dahlan Jamaluddin, S.IP dengan dihadiri:
- Ketua komisi I, V dan VI DPR Aceh
- Asisten Pemerintahan Sekda Aceh
- Mewakili Kejaksaa Tinggi Aceh
- Mewakili Ketua Pengadilan Tinggi Aceh
- Mewakili Kapolda Aceh
- Mewakili Pangdam Iskandar Muda.
- Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh.
- Majelis Adat, dan undangan lainnya.
Dalam pertemuan tersebut muncul wacana, agar kasus asusila atau pelecehan seksual yang korbannya anak digunakan UU perlindungan anak yang tentu akan diajukan ke Peradilan Umum sehingga tidak menggunakan qanun lagi yg merupakan kewenangan Mahkamah Syar'iyah.
Wacana itu muncul akibat adanya keinginan masyarakat agar terdakwa asusila atau pelecehan seksual itu dihukum penjara dan tidak dihukum cambuk.
Keinginan tersebut muncul disebabkan adanya kekhawatiran bahwa korban akan mengalami trauma, ktika berjumpa dgn Terdakwa yg sudah selesai menjalani hukumam cambuk. Tapi apabila terdakwa dihukum penjara, maka korban anak tdk akan bertemu dengan Terdakwa sampai 10 atau 15 tahun ke depan.
Menanggapi wacana yg hampir dibuat menjadi sebuah kesepakatan tertulis tersebut, Ketua Mahkamah Syar'iyah Aceh, tidak sependapat menggunakan UU perlindungan anak terhadap korban pelecehan seksual yang korbannya anak. Bu Ros (panggilan akrab Ketua Mahkamah Syar'iyah Aceh) memberikan argumentasi, bahwa di dalam qanun juga ada diatur hukuman penjara atau denda selain hukuman cambuk. Dan menjatuhkan hukuman penjara itu sudah diterapkan oleh hakim-hakim Mahkamah Syar'iyah, kendatipun tidak 100%.
Seandainya ada keinginan masyarakat agar seluruh kasus yg korbannya anak dihukum dengan hukuman penjara, maka tidak harus beralih dari qanun ke UU perlindungan anak.
Sebab bila ini yang terjadi maka terjadi degradasi penegakan Syariat Islam di Aceh yg merupakan salah satu keistimewaan Aceh.
Ibarat membunuh seekor tikus jgan rumah yg dibakar karena sulit menemukan tikusnya, kelakar bu Ros.
Menurut Ketua Mahkamah Syar'iyah Aceh yang juga merupakan tokoh pemerhati anak dan perempuan di Aceh ini, ada banyak solusi yang bisa ditempuh bila dilakukan duduk bersama untuk menyelesaikan masalah tersebut. Antara lain dengan melakukan Diklat hakim anak, seminar, dan kajian hukum yang melibatkan hakim hakim dari Mahkamah Syar'iyah, dan lain sebagainya.
Akhirnya perdebatan yang cukup panas tersebut mengambil kesimpulan akan dilakukan pembahasan berikutnya sehingga tidak tergesa gesa mengambil kesepakatan yang justru kontra produktif dalam penegakan Syariat Islam di Aceh yang merupakan salah satu keistimewaan Aceh.
Dengan tetap menjaga protokol kesehatan, acara ditutup oleh Ketua Komisi I DPRA dengan suasana yg penuh keakraban.