logo web

Dipublikasikan oleh Ridwan Anwar pada on .

Di Talkshow Kohati, Hakim PA Selong Bahas Perlindungan Perempuan

Lombok Timur ǀ pa.selong.go.id

Dalam rangka memperingati Hari Kartini, Korps HMI-Wati (Kohati) Cabang Selong menggelar talkshow bertemakan “Perempuan Berdaya Perempuan Berkarya”, Minggu (21/4/2019). Salah seorang pembicara dalam acara tersebut adalah Hakim Pengadilan Agama (PA) Selong, H. Fahrurrozi, SHI., MH.

Bertempat di aula Kantor Kementerian Agama Lombok Timur, Fahrurrozi pada kesempatan itu membahas tentang perlindungan perempuan sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

“Kalau kita cermati pasal demi pasal dalam UU Perkawinan, maka politik hukumnya, ruhnya atau nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya adalah untuk melindungi kaum perempuan,” tegasnya.

Fahrurrozi mencontohkan beberapa pasal yang dimaksud. Antara lain mengenai pencatatan perkawinan, izin poligami, perceraian di depan sidang pengadilan, hak-hak akibat perceraian dan harta bersama.

“Pasal 2 Ayat (2) berbunyi bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat. Untuk apa? Untuk melindungi perempuan. Jika perkawinan tidak dicatatkan, tidak didaftarkan di Kantor Urusan Agama, maka laki-laki bisa seenaknya mengingkarinya dan lari dari tanggung jawab, sedangkan istrinya tidak mempunyai bukti yang menunjukkan bahwa ia adalah istrinya sehingga kesulitan untuk menuntut hak-haknya,” jelasnya.

Lebih lanjut, Fahrurrozi mengatakan bahwa pencatatan perkawinan juga berlaku bagi perkawinan poligami. Untuk dapat mencatatkan perkawinan poligami, suami harus mendapatkan izin dari pengadilan sebagaimana bunyi Pasal 4 Ayat (1).

“Di persidangan nanti Hakim perlu mendengar alasan suami kenapa menikah lagi, juga mendengar kesediaan istri pertama untuk dimadu. Di samping itu, Hakim akan memeriksa apakah suami mampu menjamin keperluan hidup bagi istri-istri dan anak-anaknya, dan memeriksa apakah suami dapat berlaku adil bagi istri-istri dan anak-anaknya,” terangnya.

Ditambahkannya, bahwa sebagai bentuk perlindungan terhadap perempuan, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan dan harus ada cukup alasan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 39 Ayat (1) dan (2).

“Kenapa perceraian harus di pengadilan? Kenapa harus ada alasan? Agar tidak terjadi perceraian semena-mena dan sewenang-wenang. Jangan sampai nanti, misalnya, seorang suami minta dibuatkan kopi tetapi istrinya tidak bisa membuatkan karena menyusui anaknya lalu suaminya marah dan mengatakan, ‘kuceraikan kamu’. Jika perceraian seperti ini benarkan, betapa menderitanya perempuan,” tutur Hakim asal Pati Jawa Tengah itu.

Kalaupun perceraian harus terjadi karena suami istri tidak bisa lagi hidup rukun, Pasal 41 menyebutkan bahwa pengadilan dapat mewajibkan kepada suami untuk memberikan biaya penghidupan dan menentukan suatu kewajiban bagi istri. Contohnya nafkah iddah dan mut’ah.

“Lebih dari itu, bila terjadi perceraian istri juga berhak memperoleh separoh dari harta bersama. Walaupun istri hari-harinya mengurus rumah tangga, sementara suaminya bekerja di kantoran bukan berarti kekayaan yang didapat itu hanya menjadi milik suami. Pasal 35 Ayat (1) menyebutkan, harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan,” tandasnya.

Selain Fahrurrozi, pembicara lain dalam talkshow tersebut adalah Dr. H. As’ad, SH., MH. (dosen pada Universitas Gunung Rinjani dan advokat) dan Fathiyah, S.St. (Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan pada Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Kabupaten Lombok Timur). (ahru)

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice