Menurut Tuada Uldilag, banyaknya perceraian di Indonesia terutama disebabkan oleh banyaknya orang yang berperkara di peradilan agama. Faktanya, dari tahun ke tahun, jumlah masyarakat yang mengajukan perceraian di peradilan agama semakin meningkat.
“Perkara meningkat luar biasa. Sekitar tahun 2000, perkara hanya berkisar 168.000, sedangkan tahun 2011 meningkat 426.208,” ungkap Tuada.
Faktor lain meningkatnya perceraian di peradilan agama ialah adanya layanan bantuan hukum buat masyarakat yang kurang mampu.
“Perkara yang tercecer dahulu, sekarang masuk semua melalui bantuan hukum berupa prodeo, sidang keliling dan Posbakum,” Tuada Uldilag menjelaskan.
Banyaknya kawin sirri juga dinilai Tuada Uldilag sebagai salah satu penyebab meningkatnya jumlah perceraian. Menurut Tuada, kebanyakan kawin sirri berujung perceraian, apalagi yang sifatnya poligami liar.
Selain itu, pernikahan di usia dini juga jadi pemicu banyaknya perceraian. “Kurangnya pembinaan masyarakat, sehingga mereka mengawinkan anaknya secara dini yang rawan perceraian,” ujar Tuada.
Faktor berikutnya penyebab banyaknya perceraian ialah adanya krisis moral, terutama di kota-kota besar, sehingga masyarakat gampang selingkuh yang ujung-ujungnya bisa berdampak pada perceraian.
Di luar itu, Tuada Uldilag menambahkan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga harus diperhitungkan sebagai penyebab banyaknya pasangan suami-istri bercerai.
Salah alamat
Beberapa waktu lalu, seorang pejabat teras di sebuah kementerian mengeluarkan statemen yang terkesan menyudutkan peradilan agama dan aparatnya. Ia menilai, perceraian yang marak terjadi akibat dari kesalahan sistem di peradilan agama. Ia mengatakan, kesalahan fatal jika pengadilan agama berada di bawah naungan Mahkamah Agung.
"Mestinyakan bukan langsung diketok palu untuk cerai. Tapi kalau enggak itu akan numpuk sampai ribuan. Berapa orang yang lari ke pengadilan, tapi kalau enggak diputuskan itu akan menjadi tunggakan perkara dan itu tidak bisa meningkatkan karir hakim yang bertugas di situ," kata sang pejabat, sebagaimana dikutip merdeka.com.
Bila ditelusuri, bukan sekali itu saja sang pejabat mengeluarkan statemen demikian. Sebelumnya, ia pernah membuat pernyataan senada di media massa dan direspon oleh beberapa pihak dari peradilan agama.
Rahmat Arijaya, salah satu staf khusus Dirjen Badilag, pernah membuat artikel di koran The Jakarta Post yang berisi jawaban terhadap statemen pejabat tadi. Dalam artikel yang versi Indonesianya dipublikasikan di Badilag.net berjudul “Mengapa Perceraian di Indonesia Meningkat?” itu, Rahmat Arijaya menepis persepsi yang menurutnya keliru.
“Sebagai seorang hakim, dan berdasarkan pengalaman saya dalam banyak kasus perceraian, pernyataan tersebut benar-benar salah,” ujar Rahmat Arijaya yang aslinya bertugas sebagai hakim PA Cilegon itu.
Ia menegaskan, para hakim peradilan agama tidak menerima reward bila berhasil menceraikan banyak pasangan suami-istri. Justru, para hakim peradilan agama sangat bahagia apabila berhasil membuat suami-istri yang datang ke pengadilan agama membatalkan niat mereka untuk bercerai.
Yang perlu diingat, berdasarkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, pengadilan tidak boleh menolak perkara yang diajukan masyarakat. Karena itu, pengadilan agama pun tidak boleh menolak perkara perceraian apabila ada masyarakat yang mengajukan.
Di Indonesia, tandas Rahmat Arijaya, tidak berlaku kesepakatan cerai. Setiap perceraian harus melalui peradilan agama sebagaimana ketentuan dalam UU 1/1974 dan PP 9/1975. Para hakim peradilan agama juga tidak akan langsung mengetok palu untuk menceraikan suami-istri, tetapi harus meneliti apakah syarat-syarat perceraian terpenuhi atau tidak.
Selain itu, yang tidak boleh diabaikan, suami-istri yang hendak bercerai harus menjalani proses mediasi sebelum pokok perkara diperiksa oleh majelis hakim. Bila mediasi tidak dilakukan, maka putusan yang dibuat majelis hakim akan batal demi hukum.
“Pengadilan bekerja keras untuk menyelamatkan keutuhan keluarga dan sering berhasil. Penting dicatat bahwa dalam proses persidangan, hakim dituntut selalu mendamaikan pasangan dengan memberikan nasihat kepada mereka,” ujar Rahmat Arijaya.
Lantas, apa yang membuat perceraian di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat? Menurut Rahmat Arijaya, hal itu disebabkan oleh buruknya kondisi ekonomi suatu keluarga, kurangnya tanggung jawab pasangan dalam pernikahan, dan/atau adanya perselisihan terus-menerus dalam rumah tangga.
Mengenai banyaknya perkara perceraian yang diajukan ke pengadilan agama, hal itu terjadi karena masyarakat kian memiliki kesadaran hukum. Hal itu sekaligus mengindikasikan pengadilan agama semakin dipercaya masyarakat.
(hermansyah)