logo web

Dipublikasikan oleh Hermansyah pada on . Dilihat: 13755

PTA Surabaya Membuat Putusan Penting Mengenai Mediasi

Jakarta l Badilag.net

Jangan asal-asalan melakukan mediasi, sebab mediasi yang tidak dilakukan secara optimal mengakibatan putusan batal demi hukum.

Itulah pesan tersirat yang disampaikan majelis hakim PTA Surabaya ketika membuat Putusan Nomor 141/Pdt.G/2012/Pta.Sby. Putusan tingkat banding itu membatalkan putusan yang dibuat oleh majelis hakim sebuah PA.

Putusan itu dibuat oleh majelis hakim PTA Surabaya yang diketuai Drs. H. Jaliansyah, S.H.,M.H., dengan anggota Drs.H.Muslih Munawar, SH dan Drs.H.J.Thanthowie Ghanie, SH., MH pada 6 Juni 2012.

Pada mulanya seorang istri mengajukan gugatan cerai kepada suaminya ke PA. Alasannya, telah terjadi perselisihan dan pertengkaran terus-menerus yang sukar diharapkan untuk rukun kembali. Gugatan itu dikabulkan. Pada 6 Maret 2012, dalam putusannya, majelis hakim PA menjatuhkan talak satu ba’in sughro tergugat kepada penggugat.

Ternyata pihak tergugat keberatan terhadap putusan itu. Ia lantas menempuh upaya hukum banding. Ia menuntut agar putusan PA tersebut dibatalkan.

Majelis hakim PTA Surabaya, ketika memeriksa berkas perkara ini, menemukan fakta bahwa penunjukan mediator ditetapkan pada 21 Februari 2012, sedangkan mediasi dilaksanakan hanya sekali yaitu pada tanggal itu juga. Kemudian pada 23 Februari 2012 mediasi tersebut dilaporkan tidak memperoleh kesepakatan.

Berdasarkan fakta tersebut, majelis hakim tingkat banding berpendapat, upaya perdamaian melalui prosedur mediasi yang dilaksanakan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 terutama Pasal 14 ayat (1) maupun ayat (2).

Pasal 14 ayat (1) Perma 1/2008 menyatakan bahwa seorang mediator mempunyai kewajiban untuk menyatakan proses mediasi gagal, apabila salah satu pihak ataupun kedua belak pihak yang bersengketa tidak hadir secara berturut-turut dalam dua kali pertemuan mediasi yang jadwalnya sudah disepakati sebelumnya. Proses mediasi juga dinyatakan gagal apabila para pihak telah memberi kuasa kepada kuasa hukum untuk melaksanakan proses mediasi, dan kuasa hukum salah satu pihak maupun kedua belah pihak tidak hadir secara berturut-turut tanpa alasan dalam 2 kali pertemuan mediasi yang jadwalnya sudah disepakati sebelumnya.

Karena itu majelis banding berpendapat majelis hakim PA melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (2) Perma 1/2008 yang mengharuskan setiap hakim, mediator dan para pihak mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam peraturan ini.

Majelis banding PTA Surabaya menegaskan, berdasarkan Pasal 2 ayat (3) Perma 1/2008, tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Akhirnya majelis banding PTA Surabaya menyatakan putusan PA tersebut batal demi hukum, dan PA tersebut diperintahkan untuk memeriksa dan memutus kembali perkara a quo.

Mesti serius

Yang patut dicermati, dalam pertimbangannya, majelis banding juga menegaskan bahwa khusus dalam perkara sengketa perceraian, asas mendamaikan adalah bersifat imperatif. Usaha mendamaikan merupakan beban yang diwajibkan hukum kepada hakim dalam setiap sengketa perceraian.

Majelis banding mengataan, sifat kewajiban mendamaikan itu memang tidak berlaku secara umum. Sifat imperatif upaya mendamaikan terutama berlaku dalam sengketa perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran. Dalam kasus perceraian inilah, menurut majelis banding, fungsi upaya mendamaikan menjadi kewajiban hukum bagi hakim. Oleh karena itu dalam perkara perceaian dengan alasan adanya perselisihan dan pertengkaran, mediasi harus dilakukan secara optimal.

Mengutip pendapat mantan hakim agung Yahya Harahap, S.H. dalam bukunya berjudul “Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama” halaman 68, majelis banding menyatakan bahwa setiap pemeriksaan perceraian atas alasan perselisihan dan pertengkaran yang belum memenuhi usaha mendamaikan secara optimal maka pemeriksaan dan putusannya dapat dinyatakan batal demi hukum atau dapat dibatalkan.

Selain itu, majelis banding juga menyatakan bahwa Mahkamah Agung mensinyalir adanya gejala perilaku hakim yang tidak sungguh-sungguh memberdayakan Pasal 130 HIR maupun peraturan perundangan lainnya yang serupa untuk mendamaikan para pihak. Hal itu terbaca dari sejarah terbitnya SEMA Nomor 1 Tahun 2002 yang diganti dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 dan kemudian disempurnakan lagi dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2008.

Empat kemungkinan

Sekadar menyegarkan ingatan, hasil akhir mediasi ternyata bukan hanya berhasil atau gagal. Menurut Diah Sulastri Dewi—Ketua PN Stabat dan anggota Pokja Mediasi MA, ada empat kemungkinan hasil mediasi.

Pertama, mediasi berhasil. Ini terjadi apabila para pihak hadir dalam mediasi dan berhasil mencapai kesepakatan.

Kedua, mediasi tidak berhasil. Ini terjadi apabila para pihak sudah dipanggil, hadir, dan melakukan mediasi tapi tidak tercapai kesepakatan.

Ketiga, mediasi gagal. Ini terjadi apabila para pihak tidak hadir setelah dipanggil untuk melakukan mediasi atau sebagian pihak hadir namun sebagian lainnya tidak hadir.

Keempat, mediasi tidak layak. Ini terjadi apabila ada pihak lain yang terkait dengan sengketa namun tidak dilibatkan dalam mediasi. Mediasi tidak layak kalau kurang pihak. Biasanya ini terlihat dari proses jawab-menjawab.

(hermansyah)

Tulisan terkait:

Ketua PN Stabat: Sengketa Hati Bukan Persoalan Sepele

Keberhasilan Mediasi, Jawa Timur dan Bangka Belitung Terbanyak

Berbahaya Bila Mediator Tidak Pernah Belajar Mediasi

.

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice