Mantan Ketua Kamar Agama Ingin Peradilan Agama Masuk Tiga Besar
Jakarta l Badilag.net
Sejak satu setengah bulan lalu, Dr. H. Andi Syamsu Alam, S.H., M.H. tidak lagi menjabat Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung. Posisinya kini hakim agung dan masih menangani perkara kasasi dan peninjauan kembali hingga 31 Januari 2015.
Di ujung pengabdiannya, ada satu yang didambakan hakim agung asal Sulawesi Selatan yang biasa dipanggil Pak Andi itu.
“Kita punya mimpi agar masuk tiga besar: Family court di Australia, peradilan agama di Indonesia dan mahkamah di Timur Tengah,” ujarnya dengan penuh semangat, di hadapan para Ketua PTA/MS Aceh pada rapat koordinasi di Badilag, dua pekan lalu.
Untuk mewujudkan impian itu, menurut Pak Andi, hakim-hakim peradilan agama harus mampu membuat putusan yang modern dan berkeadilan.
Putusan yang modern berarti putusan yang memiliki terobosan-terobosan. Sementara putusan yang berkeadilan berarti putusan yang tidak sekadar memenuhi kepastian hukum, tapi benar-benar memenuhi rasa keadilan.
Contoh putusan yang modern dan berkeadilan, menurut Pak Andi, adalah putusan yang memberikan wasiat wajibah kepada anak tiri dan anak angkat.
Putusan-putusan seperti itu, selain modern dan berkeadilan, juga menarik untuk dikaji. “Sekarang putusan kita banyak sekali yang menarik perhatian dunia,” Pak Andi menegaskan.
Agar bisa membuat putusan yang modern dan berkeadilan, hakim-hakim peradilan agama harus meningkatkan kompetensinya. Salah satunya melalui pendidikan formal hingga ke jenjang doktoral. Pak Andi menyebutnya sebagai “doktorisasi”.
“Tolong jangan salah jawab. Kalau ditanya mengapa perlu doktorisasi, jangan jawab agar kita tidak kalah dari yang lain. Jawablah, kita punya mimpi agar masuk tiga besar,” tandasnya.
Pak Andi tidak ingin para hakim peradilan agama mempertahankan cara berpikir lama yang sekarang sudah tidak pas. “Kita ini bukan penghulu. Jangan mau disebut hakim konvensional,” ia menegaskan.
Kepada para hakim peradilan agama yang sudah bergelar doktor, Pak Andi berpesan agar mereka berani berubah dan melanjutkan apa yang telah dilakukan Dr. H. Taufiq, S.H., mantan Ketua Muda Urusan Lingkungan Agama dan Wakil Ketua MA.
“Pak Taufiq berani bikin terobosan-terobosan,” ungkapnya.
Di samping harus meningkatkan kapasitas keilmuan, para hakim peradilan agama juga perlu memperhatikan produktivitas dalam memutus perkara.
Sebagaimana MA, menurut Pak Andi, peradilan agama juga harus memprioritaskan efektivitas penanganan perkara. Saat ini para hakim agung dituntut untuk mengikis sisa dan tunggakan perkara. Hakim-hakim tingkat pertama dan bandingpun dituntut demikian.
“242 perkara saya putus pada bulan Oktober. Kalau Saudara-saudara hanya memutus dua perkara, itu dosa besar,” kata Pak Andi, lagi-lagi dengan penuh semangat.
[hermansyah]