logo web

Dipublikasikan oleh Hermansyah pada on . Dilihat: 6512

Kaleidoskop 2013

Tapal Batas Sentralisasi dan Desentralisasi Pengembangan TI Belum Jelas

Beberapa tahun lalu peradilan agama dipuji karena berhasil memelopori pengembangan Teknologi Informasi (TI) di Mahkamah Agung (MA) secara desentralisasi. Kini pujian itu jadi ujian, lantaran makin menjamurnya pengembangan TI yang tidak tersentralisasi.

“Apakah tidak ada kebijakan untuk menampung semua aplikasi dari daerah dan difilter mana yang di-share ke satker lain? Misal, aplikasi surat, aplikasi arsip, aplikasi meja informasi, dan lain-lain?”

Pertanyaan itu diajukan Kamaruddin, anggota Tim TI dari PA Palu, di Forum Pembaca Badilag.net, beberapa hari lalu. Ia ingin agar setiap satker di lingkungan peradilan agama mempunyai aplikasi yang sama yang dikelola secara terpusat—tidak seperti sekarang yang terkesan masih berserakan.

Apa yang disampaikan Kamaruddin memang benar. Sepanjang tahun 2013 saja, beragam aplikasi telah dibuat dan dikembangkan oleh satker yang berbeda-beda di lingkungan peradilan agama.

Sebut saja misalnya, belum lama ini, PTA Jakarta meresmikan penggunaan enam aplikasi, yaitu aplikasi pengaduan online, aplikasi statistik perkara, aplikasi statistik kepegawaian, aplikasi manajemen perkara, aplikasi data perkara, dan aplikasi pelaporan perkara.

Sebelum itu, PA Jakarta Selatan telah mengembangkan aplikasi pendaftaran perkara online dan PA Jakarta Barat mengembangkan arsip digital.

Di luar Jakarta, ada pula sejumlah satker yang menempuh langkah serupa. Misalnya PA Muara Labuh yang pada November 2013 lalu mulai mengembangkan data base minutasi dan digitalisasi akta cerai.

Bagaimana dengan Badilag yang membina 359 PA/MS dan 29 PTA/MSA? Pada tahun 2013, ada dua aplikasi penting yang diluncurkan Badilag, yaitu SIADPTA Plus dan Tabayun Online.

Jadi, di lingkungan peradilan agama, sentralisasi dan desentralisasi pengembangan TI berjalan beriringan. Apa yang dilakukan Badilag adalah model sentralisasi. Artinya, aplikasi-aplikasi yang dikembangkan dan kemudian diresmikan penggunaannya oleh Badilag harus dipakai oleh satker-satker di lingkungan peradilan agama. Sebaliknya, apa yang dilakukan PA dan PTA adalah model desentralisasi. Aplikasi-aplikasi yang mereka kembangkan sebatas dipakai di lingkungan kerja masing-masing, meskipun aplikasi-aplikasi itu berguna atau bernilai tambah bagi satker-satker lainnya.

Sentralisasi dan desentralisasi pengembangan TI itu sejauh ini belum memiliki tapal batas yang jelas: apa saja aplikasi yang mestinya dipakai secara nasional dan kapan akan diterapkan? Apakah dalam waktu-waktu mendatang, desentralisasi pengembangan TI dibiarkan begitu saja tanpa mendapat respons dari pengambil kebijakan di Badilag?

Persoalan sentralisasi dan desentralisasi pengembangan TI itu makin kompleks bila dikaitkan dengan kenyataan bahwa peradilan agama merupakan salah satu lingkungan peradilan di bawah MA.

Faktanya, MA—dalam hal ini Bagian Pengembangan TI dan Bagian Perawatan TI pada Biro Hukum dan Humas BUA—juga mengembangkan cukup banyak aplikasi yang ditampung di ‘rumah besar’ bernama SIMARI. MA kini juga mengembangkan Komdanas.

Dengan demikian, di luar lembaga donor dan vendor, ada empat pihak yang terlibat dalam implementasi TI di peradilan agama: BUA, Badilag, PTA/MSA dan PA/MS. Keempat pihak itu, sejauh ini, belum ‘segendang seirama’.

Serba terbatas

Mengenai implementasi TI, peradilan agama pernah menuai pujian pada tahun 2010 lalu. Pujian itu datang dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) melalui buku berjudul “Pemetaan Implementasi Teknologi Informasi di Mahkamah Agung Republik Indonesia”.

Disebutkan di buku itu bahwa di tengah serba terbatasnya sumber daya—baik SDM, finansial maupun sarana-prasarana—implementasi TI di lembaga peradilan lebih pas menggunakan model desentralisasi. Satker-satker di bawah MA yang berjumlah lebih dari 800 itu dibiarkan mengembangkan TI dengan kreativitasnya sendiri-sendiri. Model ini dipelopori oleh peradilan agama, yang sukses mengembangkan SIADPA (yang di buku itu disebut sebagai warisan Departemen Agama), SIMPEG dan situs internet.

Dijelaskan juga di buku itu bahwa sejak 2004-2005, atau fase ketika empat lingkungan peradilan agama berada satu atap di bawah MA dan terjadi restrukturisasi organisasi besar-besaran, pengembangan TI di MA dan badan-badan peradilan agama sejatinya didesain untuk disentralisasikan.

Untuk itu, belajar dari pengalaman MA yang telah jatuh-bangun mengembangkan TI sejak 1985, dibentuklah dua unit kerja setingkat eselon III yang membidangi masalah TI. Dua unit kerja itu berada di bawah Biro Hukum dan Humas pada BUA. Keduanya adalah Bagian Pengembangan TI dan Bagian Perawatan TI.

Namun, sentralisasi pengembangan TI ternyata sangat tidak mudah diwujudkan. Selain karena serba terbatasnya sumber daya yang ada, juga karena tidak adanya pemetaan yang jelas mengenai aplikasi apa saja yang perlu dikembangkan, siapa yang melakukannya dan kapan serta bagaimana melakukannya.

“MA—sebagaimana banyak terjadi di instansi pemerintah di Indonesia—memiliki masalah dengan keberlanjutan dan ketuntasan pengembangan aplikasi,” tulisa Arya Sujudi dkk dalam buku itu.

Aplikasi banyak dikembangkan MA dalam rentang waktu yang relatif singkat dan jarang mampu mencapai fase implementasi penuh. “Tidak jarang aplikasi sejenis muncul dan bersaing tanpa diimplementasikan secara penuh,” kata Arya Sujudi dkk.

Sebagai gambaran, hingga tahun 2010 saja, ada lebih dari 30 aplikasi yang digunakan di MA dan badan-badan peradilan di bawahnya. Jumlah itu tentu kian bertambah banyak saat ini. Dan, faktanya, aplikasi-aplikasi itu dikembangkan secara sporadis—tanpa perencanaan yang matang dan minus koordinasi.

Ada arsitekturnya

Implementasi TI di lembaga peradilan termasuk program yang sangat strategis bagi MA, sehingga diuraikan juga di Cetak Biru Pembaruan MA 2010-2035. Di sana ada pembahasan mengenai Arahan Pembaruan TI.

Disebutkan di Cetak Biru itu, ada lima sasaran penerapan TI di MA dan badan-badan peradilan di bawahnya. Pertama, peningkatan kualitas putusan. Kedua, peningkatan sistem administrasi pengadilan. Ketiga, pembentukan efisiensi proses kerja di lembaga peradilan. Keempat, pembentukan organisasi berbasis kinerja dengan memanfaatkan TI. Dan kelima, pembentukan lingkungan pembelajaran dalam organisasi melalui e-learning.

Merujuk ke Cetak Biru itu, untuk mencapai efisiensi pembiayaan maupun efektivitas pengelolaan TI yang terintegrasi, penyediaan dukungan TI bagi seluruh lini organisasi peradilan akan diberikan secara terpusat.

Secara garis besar, ada dua kelompok besar aplikasi yudisial yang khas dimiliki MA dan badan-badan peradilan di bawahnya. Keduanya adalah aplikasi manajemen perkara (case management) dan aplikasi manajemen pengadilan (court management).

Case management berkaitan dengan pengelolaan perkara sejak didaftarkan hingga keluar putusan dan produk pengadilan lainnya. Di peradilan agama, case management itu sudah cukup implementatatif, yaitu melalui SIADPA Plus dan SIADPTA Plus beserta aplikasi-aplikasi turunannya. Lingkungan-lingkungan peradilan lainnya menggunakan case manegement yang berbeda-beda.

Sementara itu, court management berkaitan dengan pengelolaan sumber daya yang dipakai untuk persidangan, misalnya pemilihan ruang sidang, perekaman persidangan, transkripsi otomatis, dan video conference.

Di samping dua aplikasi yudisial tadi, ada pula aplikasi-aplikasi lain yang perlu dikembangkan MA, seperti aplikasi untuk manajemen kepegawaian, keuangan, aset, pembinaan dan pengawasan, serta pelatihan. Aplikasi-aplikasi itu sebenarnya juga dikembangkan oleh hampir seluruh instansi pemerintah, dengan segenap variannya.

Masih di Cetak Biru itu, ada deskripsi bahwa pemanfaatan TI di MA dan badan peradilan di bawahnya masih berjalan secara sporadis. Ada berbagai inisiatif yang secara parsial dimaksudkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan proses kerja yang ada. Berbagai sistem yang ada juga tidak saling terhubung sehingga tidak bisa memberi manfaat yang maksimal bagi organisasi.

Karena itu, MA mengambil kebijakan untuk mengimplementasikan TI di lembaga peradilan secara terencana selama 25 tahun sejak 2010 dengan membaginya menjadi tiga tahap.

Tahap pertama (2010-2015). Sasarannya adalah optimalisasi investasi TI yang sudah ada, integrasi data dan informasi, serta penyiapan regulasi dan perubahan kultur kerja dalam rangka menyongsong era bekerja berbasis TI.

Tahap kedua (2015-2025). Sasarannya adalah terciptanya sistem informasi yang konsisten untuk seluruh lembaga peradilan sehingga memungkinkan pemanfaatan data dan informasi untuk menjaga kesatuan hukum dan membuka peluang untuk peningkatan akses terhadap layanan pengadilan.

Tahap ketiga (2025-2035). Sasarannya adalah diintegrasikannya proses peradilan dengan para pemangku kepentingan lainnya, termasuk para penegak hukum lain, dalam kerangka menuju sistem pelayanan hukum terpadu (integrated justice system).

Banyak faktor

Kita balik lagi ke lingkungan peradilan agama. Ketika menghadiri acara launching pendaftaran perkara online di PA Jakarta Selatan pada 18 Februari lalu, Dirjen Badilag Drs. H. Purwosusilo, S.H., M.H. mengutarakan keinginannya agar aplikasi yang dikembangkan PA Jakarta Selatan itu kelak bisa dipakai secara nasional. Hal yang sama disampaikannya saat meresmikan pendaftaran perkara online di PA Balikpapan pada 23 Mei 2013.

Ketika menghadiri peluncuran arsip digital dan SMS Infoperkara Otomatis di PA Jakarta Barat, 26 April 2013, Dirjen Badilag juga menyampaikan keinginan serupa.

“Saya mengapresiasi berbagai terobosan dalam modernisasi perkara dan suatu saat akan saya kumpulkan semua aplikasi tersebut dan nanti diambil yang terbaik untuk diimplementasikan di semua PA,” ungkap Dirjen Badilag saat itu.

Ketua Kamar Peradilan Agama MA Dr. H. Andi Syamsu Alam, S.H., M.H. juga segagasan dengan Dirjen Badilag. Dirinya sangat mendukung modernisasi peradilan agama dengan menggunakan TI.

Dukungan dari dua petinggi peradilan agama itu menunjukkan bahwa keinginan untuk melakukan sentralisasi pengembangan TI memang ada. Tapi, mengapa keinginan itu belum juga terwujud?

Ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Pertama, sejauh ini belum ada identifikasi mengenai aplikasi apa saja yang dikembangkan oleh PA/MS dan PTA/MSA di seluruh Indonesia. Jika pemetaan itu telah dilakukan, tentu akan diketahui mana aplikasi yang perlu dikembangkan secara nasional dan mana yang  kurang perlu.

Kedua, belum ada semacam peta jalan (road map) yang komprehensif, yang merinci arah pengembangan TI yang dituju di peradilan agama, bagaimana mencapainya dan kapan waktunya.

Ketiga, belum terlalu jelas, bagian mana di Badilag yang bertanggung jawab melakukan sentralisasi pengembangan TI di lingkungan peradilan agama. Saat ini, pengembangan dan pengelolaan TI di Badilag dilakukan oleh unit kerja yang berbeda-beda. Aplikasi SIMPEG dikelola oleh Subdit Data dan Evaluasi pada Direktorat Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Agama; aplikasi SIADPA/SIADPTA Plus serta Tabayun Online dikelola Subdit Bimbingan dan Monitoring pada Direktorat Pembinaan Administrasi Peradilan Agama; dan portal Badilag.net dikelola oleh Bagian Organisasi dan Tatalaksana pada Sekretariat Ditjen Badilag.

Keempat, masih lemahnya koordinasi Badilag, PTA/MSA dan PA/MS dalam hal pengembangan TI. Di samping itu, karena merupakan salah satu unit kerja eselon I di bawah MA, Badilag juga tidak bisa sepenuhnya leluasa mengembangan TI tanpa mengacu kepada Blue Print yang ada dan tanpa koordinasi dengan unit kerja di MA yang membidangi masalah TI—dalam hal ini Biro Hukum dan Humas MA.

Jadi, walaupun kebijakan sentralisasi pengembangan TI sebagaimana digadang-gadang Kamaruddin dari PA Palu terkesan hanya tinggal menunggu stempel dari pengambil kebijakan, mewujudkannya ternyata tidaklah semudah yang dibayangkan.

[hermansyah]

.

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice