logo web

Dipublikasikan oleh Hermansyah pada on . Dilihat: 6942

Kaleidoskop 2013

Hakim, SKP dan Pelajaran dari PA Banjarbaru

Bila tahun 2012 adalah tahun peningkatan kesejahteraan hakim, maka tahun 2013 mungkin layak disebut tahun kebimbangan hakim. Sebagai pejabat negara, apakah hakim masih menyandang status PNS? Haruskah hakim juga menyusun SKP?

Pada 15 November 2013 lalu, Sekretaris MA Nurhadi, S.H., M.H. mengeluarkan sebuah peraturan penting. Namanya Peraturan Nomor 06 Tahun 2013. Melalui peraturan ini, Sekretaris MA mencabut Peraturan Sekretaris MA Nomor 036/SEK/PER/VI/2012 tentang Sasaran Kinerja Individu. Dengan peraturan ini pula, MA memberlakukan Peraturan Kepala BKN Nomor 1 Tahun 2013 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS.

Yang perlu dicermati, pada Pasal 2 peraturan tersebut, Sekretaris MA memerintahkan agar pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding berkoordinasi dengan Kantor Regional BKN setempat. Peraturan tersebut berlaku sejak ditetapkan dan harus mulai dilaksanakan pada 1 Januari 2014.

Peraturan tersebut terbilang penting, karena menyudahi dualisme antara Sasaran Kinerja Individu (SKI) yang mengacu kepada Peraturan Sekretaris MA Nomor 036/2012 dan Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011.

Meski demikian, Peraturan Sekretaris MA itu belum menjawab satu pertanyaan penting: apakah hakim terikat pada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011? Dengan kata lain, belum jelas apakah hakim juga wajib  menyusun SKP sebagaimana PNS atau tidak.

Pertanyaan seperti itu wajar saja mengemuka. Sebab, penilaian prestasi kerja PNS yang terbaru diterapkan mulai 1 Januari 2014. Penilaian itu meliputi dua hal, yaitu SKP dan perilaku pegawai. Komposisinya 60 persen berbanding 40 persen. Penilaian itu untuk menggantikan DP3, yang selama ini dipakai para PNS—termasuk para hakim—untuk berbagai urusan kepegawaian, terutama kenaikan pangkat.

Ketika Badilag mengadakan rapat koordinasi terakhir tahun 2013 bersama para pimpinan PTA/MSA seluruh Indonesia di Bogor, akhir Oktober 2013, pertanyaan serupa itu juga disampaikan oleh sejumlah Ketua PTA. Lebih kurang, sebagaimana bunyi Peraturan Sekretaris MA Nomor 06 Tahun 2013, Dirjen Badilag Drs. H. Purwosusilo, S.H., M.H. saat itu menghimbau agar para Ketua PTA/MSA berkoordinasi dengan BKN setempat.

Jawaban atas pertanyaan tersebut pernah disampaikan oleh Kepala Bidang Pengelolaan Sistem Rekrutmen BKN Endar Setiawan, S.H., pada kegiatan Peningkatan Keterampilan Pegawai yang diselenggarakan Bagian Kepegawaian Ditjen Badilag di Bandung, pada 23 Oktober 2013. “Hakim juga harus menyusun SKP,” kata Endar.

Endar menjelaskan, hakim termasuk rumpun jabatan fungsional. Namun berbeda dengan jabatan fungsional lainnya, kenaikan pangkat hakim tidak didasarkan pada angka kredit.

Menurut Endar, sebagai alat ukur kinerja selama setahun, SKP hakim harus disesuaikan dengan tugas pokoknya, yaitu memeriksa dan memutus perkara. SKP tersebut, sebagaimana SKP yang disusun pegawai lainnya, mesti mencantumkan aspek kuantitas, kualitas dan waktu. Aspek kuantitas menunjukkan jumlah dokumen yang dihasilkan. Aspek kualitas menunjukkan mutu dokumen itu. Dan, aspek waktu menunjukkan berapa waktu yang diperlukan untuk menghasilkan dokumen itu.

Endar menambahkan, SKP yang disusun oleh seorang hakim tingkat pertama mengacu kepada SKP atasan langsungnya, yaitu ketua pengadilan tingkat pertama. Sementara SKP ketua pengadilan tingkat pertama mengacu kepada SKP ketua pengadilan tingkat banding. “Begitu seterusnya ke atas,” kata Endar.

Jawaban yang diberikan pejabat BKN itu ternyata kurang memuaskan sebagian pihak. “Hakim itu PNS yang menjadi pejabat negara, jadi pada hakekatnya status PNS-nya sudah tidak ada ketika terangkat menjadi hakim. Memang aturan gajinya gaji PNS. Jadi, masih pantaskah hakim harus mengisi SKP?” ujar pembaca Badilag.net bernama M Abduh AR.

Ketidaksetujuan terhadap statemen Endar Setiawan itu juga dilontarkan oleh sejumlah hakim yang dapat terpantau di pelbagai grup diskusi di situs jejarin sosial Facebook.

Kedudukan ganda

Ada yang menyebut profesi unik. Ada yang menyebut profesi tanggung. Ada pula yang menyebut profesi antara. Begitulah kedudukan hakim di Indonesia saat ini. Jelas, hakim adalah pejabat negara. Namun, dari berbagai segi, hakim tidak berbeda dengan PNS pada umumnya.

Kedudukan hakim sebagai pejabat negara disebutkan secara eksplisit di UU 43/1999 tentang Perubahan Atas UU 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Bagian keempat UU tersebut mengatur tentang pegawai negeri yang menjadi pejabat negara. Di Pasal 11, terdapat ketentuan bahwa yang termasuk pejabat negara di antaranya adalah Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pada semua badan peradilan.

Status hakim sebagai pejabat negara juga tertuang dalam UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 19 UU tersebut menyatakan, hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang. Pasal 31 UU yang sama berbunyi, hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.

Berbeda dengan pejabat negara lainnya seperti Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati atau anggota DPR dan DPRD, hakim harus memulai karirnya dari CPNS. Hakim juga memiliki NIP. Di samping itu, jenjang kepangkatan seorang hakim menggunakan tolok ukur golongan/ruang sebagaimana PNS—dengan nomenklatur yang berbeda tentunya. Hakim juga menjalani kenaikan pangkat reguler seperti halnya PNS.

Profesi hakim jadi mendua begitu karena pada dasarnya hakim merupakan PNS yang diangkat menjadi pejabat negara.

Tapi problematika tidak berhenti di situ. Muncul pertanyaan lain: apakah hakim adalah PNS yang diangkat menjadi “pejabat negara” atau “pejabat negara tertentu”?

Bedanya begini. Sesuai ketentuan UU 43/1999, PNS yang diangkat menjadi “pejabat negara” diberhentikan dari jabatan organiknya selama menjadi pejabat negara tanpa kehilangan statusnya sebagai PNS. Sedangkan PNS yang diangkat menjadi “pejabat negara tertentu” tidak perlu diberhentikan dari jabatan organiknya.

Mengacu kepada dokumen berjudul “Rekrutmen dan Karir di Bidang Peradilan” yang dikeluarkan Komisi Hukum Nasional bersama Fakultas Hukum UGM Yogyakarta pada tahun 2003 lalu, hakim memiliki kedudukan ganda. Di samping sebagai PNS, hakim juga berkedudukan sebagai “pejabat negara tertentu”.

Namun, mengacu kepada UU 48/2009, hakim disebut “pejabat negara”, bukan “pejabat negara tertentu”.

Kedudukan hakim juga diatur dalam RUU Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah disahkan menjadi UU oleh DPR beberapa waktu lalu. Tapi, UU tersebut sejauh ini belum diberi nomor dan dikhalayakkan. Di UU itu kedudukan hakim mungkin lebih jelas: apakah PNS yang diangkat menjadi “pejabat negara” atau “pejabat negara tertentu”.

Pelajaran dari PA Banjarbaru

Terlepas dari diskusrus yang belum juga usai mengenai kedudukan hakim, PA Banjarbaru telah melangkah pasti. Baru-baru ini, para hakim yang bertugas di PA yang berada di wilayah PTA Banjarmasin itu sudah berhasil menyusun SKP.

“Alhamdulilah, hakim PA Banjarbaru telah merampungkan SKP yang akan menggantikan DP3 terhitung sejak 1 Januari 2014,” kata M. Natsir Asnawi, S.HI, salah satu hakim PA Banjarbaru, di Lounge Hakim PA Indonesia, 19 Desember 2013 lalu.

Ia menjelaskan, dalam SKP hakim, ada dua item kegiatan, yaitu kegiatan pokok dan kegiatan tambahan. Kegiatan pokok itu dalam hal fungsi sebagai hakim. Sementara kegiatan tambahan adalah tugas lain dari Ketua PA untuk hal tertentu semisal hawasbid, penanggungjawab TI, humas, dan sebagainya.

“Kegiatan tambahan tidak wajib ada, namun pelaksanaannya dapat menjadi nilai tambah pada hasil akhir penilaian SKP,” ujar Natsir Asnawi, yang juga mengatakan bahwa arahan untuk menyusun SKP itu datang dari PTA Banjarmasin.

Lantas, seperti apa SKP yang disusun para hakim di PA Banjarbaru itu? Sebagaimana terbaca dari dokumen yang kami terima, tugas jabatan yang diisikan di lembar SKP itu di antaranya adalah memeriksa dan mempelajari berkas perkara yang diterima majelis; menyusun court calendar setiap perkara yang diterima; menetapkan hari sidang dan sita jaminan;  melaksanakan persidangan setiap perkara; mengoreksi berkas perkara yang akan disidangkan; membuat konsep putusan; melaksanakan mediasi; melaksanakan pengawasan bidang; membuat laporan hasil pengawasan bidang; dan diskusi hukum.

Pemilihan berbagai tugas itu perlu disesuaikan dengan posisi seorang hakim, apakah sebagai hakim anggota, ketua majelis hakim, wakil ketua atau ketua PA.

SKP yang disusun para hakim di PA Banjarbaru itu juga memuat kolom untuk mengukur aspek kuantitas, kualitas, dan waktu.

Jika lumrahnya aspek kuantitas pada SKP seorang PNS diukur berdasarkan dokumen/data yang dihasilkan, bagaimana dengan SKP seorang hakim?

Para hakim PA Banjarbaru membuat dua jenis satuan untuk mengukur kuantitas. Satuan pertama adalah jumlah perkara dan satuan lainnya adalah jumlah kegiatan/aktivitas. Pelaksanaan mediasi, misalnya, diukur dengan satuan kegiatan, karena bisa jadi satu perkara dimediasi selama beberapa kali.

Meski jenis pekerjaan beserta targetnya yang meliputi aspek kuantitas, kualitas dan waktu berhasil dirinci, berdasarkan pengalaman hakim-hakim PA Banjarbaru, ternyata menyusun SKP hakim bukan perkara gampang.  “Penyusunan SKP masing-masing hakim ternyata tidak semudah dibayangkan. Perlu kerja keras dan komitmen dari setiap hakim untuk merumuskannya,” kata Natsir Asnawi.

PA Banjarbaru telah memberi pelajaran berharga. Tidak salah kiranya bila para hakim di satker-satker lainnya menempuh langkah serupa, sembari menunggu instruksi yang lebih jelas dari pusat yang entah kapan tibanya.

[hermansyah]

.

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice