logo web

Dipublikasikan oleh Hermansyah pada on . Dilihat: 40629

Hasbi Hasan: Apa Bedanya Kawin dengan Nikah?

Depok l Badilag.net

Pertanyaan retoris diajukan Direktur Pembinaan Administrasi Peradilan Agama Dr. H. Hasbi Hasan, M.H. ketika memberi sambutan pada sidang terpadu di Depok, Jumat (6/3/2015).

“Apa bedanya kawin dengan nikah?” ujarnya, di hadapan Wakil Wali Kota Depok Dr. H. Idris Abdul Shomad, MA, Wakil Ketua PA Depok Dr. H. Andi Akram, S.H., M.H., Kepala Disdukcapil Depok H. Misbahul Munir dan hadirin lainnya.

Hasbi Hasan menjawab sendiri pertanyaannya. “Kawin dan nikah itu sebenarnya sama saja. Hanya beda bahasa. Kalau nikah bahasa Arab, kalau kawin bahasa Indonesia,” ujar pejabat eselon II yang juga dosen pascasarjana Universitas Jayabaya itu.

Ia tidak setuju jika ada orang yang mendikotomikan kawin dengan nikah. “Seperti orang bilang, kawin itu seperti ayam atau kambing. Itu tidak benar,” tandasnya.

Secara resmi, ungkapnya, istilah yang dipakai di Indonesia adalah Undang-Undang Perkawinan, bukan Undang-Undang Pernikahan.

“Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 awalnya Undang-Undang Pernikahan, tapi ketika diplenokan diubah menjadi Undang-Undang Perkawinan, supaya tidak terkesan hanya untuk orang Islam,” ungkapnya.

Dalam kesempatan yang sama, Hasbi Hasan juga menegaskan bahwa sidang isbat nikah terpadu berbeda dengan nikah massal.

Meski sama-sama dilakukan secara berjamaah atau melibatkan banyak pasangan, secara hukum keduanya memiliki perbedaan yang signifikan.

“Kalau nikah massal, berarti perkawinan belum pernah terjadi. Kalau isbat nikah, berarti perkawinan sudah terjadi, tapi hanya sah menurut agama dan belum diakui oleh negara,” tuturnya.

Perbedaan lainnya ialah menyangkut kekuatan hukumnya. Perkawinan yang dilakukan saat nikah massal memiliki kekuatan hukum sejak nikah massal itu dilakukan. Sementara itu, isbat nikah memiliki kekuatan hukum sejak perkawinan yang belum tercatat itu dilakukan, bukan dimulai sejak isbat nikah dilakukan.

Terobosan hukum

Hasbi Hasan juga menyampaikan bahwa isbat nikah pada awalnya sangat terbatas. “Menurut UU I/1974, sebenarnya isbat nikah tidak boleh, kecuali untuk perkawinan sebelum tahun 1974, lalu Mahkamah Agung terobos itu,” ungkapnya.

Ia menegaskan, terobosan hukum itu diperlukan untuk membantu masyarakat, khususnya yang kurang mampu, untuk memperoleh identitas hukumnya.

“Kalau tidak boleh isbat nikah, bagaimana dengan 50 juta penduduk kita yang belum punya identitas hukum?” ujarnya.

Bersama pemerintah, kini MA—termasuk lingkungan peradilan agama—berkomitmen untuk memberikan layanan hukum secara cuma-cuma dengan menyelenggarakan sidang di luar gedung pengadilan, di samping memberikan layanan pembebasan biaya perkara dan posbakum.

“Dasarnya adalah Perma I/2014 yang menggantikan SEMA 10/2010,” kata Hasbi Hasan.

Tidak berhenti di situ, MA juga mengeluarkan SEMA 3/2014 yang membolehkan sidang isbat nikah terpadu dilakukan oleh hakim tunggal, pemanggilan para pihak dilakukan secara kolektif dan penetapan hakim langsung berkekuatan hukum tetap setelah diucapkan.

Meski sudah ada terobosan hukum dan kemudahan yang diberikan oleh MA, serta ada komitmen untuk membantu masyarakat kurang mampu, Hasbi Hasan berpesan kepada para hakim yang memeriksa dan memutus permohonan isbat nikah dalam sidang terpadu agar tetap mengacu kepada hukum acara yang berlaku.

“Isbat nikah itu mudah, tapi jangan dimudah-mudahkan,” tandasnya.

Bagaimanapun juga, Hasbi Hasan mengingatkan, perkawinan adalah ikatan lahir-batin yang sakral atau mitsaqan ghalidhan.

[hermansyah]

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice