Dirjen Badilag Ungkap Tren Dispensasi Kawin Menurun, Namun Peringatkan Potensi Besar Perkawinan Anak di Bawah Tangan pada Seminar Internasional di Pascasarjana UIN Bandung

Bandung, 29 Oktober 2025 – Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI hadir sebagai pembicara kunci dalam Seminar Internasional yang digelar oleh Program Studi Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Rabu (29/10/2025). Acara yang mengusung tema “Batas Usia Perkawinan dan Pencegahan Perkawinan Anak dalam Hukum Perkawinan Indonesia serta Qanun Munakahat Malaysia: Implikasi terhadap Pembinaan Keluarga dan Perlindungan Anak” ini membahas dampak signifikan dari perubahan undang-undang perkawinan terhadap praktik di masyarakat.
Dalam paparannya yang berjudul “Historisdan Dampak Penyesuaian Usia Perkawinan terhadap Perkara Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama & Strategi Pencegahan Perkawinan Anak”, Dirjen Badilag, Drs. H. Muchlis, S.H., M.H., mengawali dengan menjelaskan landasan hukum perubahan batas usia perkawinan.
Dampak Langsung: Lonjakan dan Penurunan Dispensasi Kawin
Muchlis memaparkan bahwa pasca perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019, yang menaikkan batas usia perkawinan perempuan dari 16 menjadi 19 tahun, dampak paling terasa adalah meningkatnya jumlah permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama (PA) secara nasional.
“Perubahan ini merupakan amanat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 yang menyatakan batas usia 16 tahun untuk perempuan bertentangan dengan UUD 1945,” jelas Muchlis.
Data Badilag menunjukkan grafik yang fluktuatif. Setelah lonjakan signifikan menjadi 64.196 perkara pada 2019, angka permohonan dispensasi kawin terus menurun dan pada 2024 tercatat 32.400 perkara. Hingga September 2025, angka sementara berada di 19.790 perkara.
“Ini tren yang positif, namun perlu dicermati lebih dalam,” ujarnya.

Peringatan: Potensi Besar Perkawinan Anak di Luar Pengadilan
Dirjen Badilag memberikan peringatan penting bahwa penurunan angka permohonan dispensasi tidak serta-merta berarti perkawinan anak menurun signifikan.
“Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 mencatat sekitar 5,90% perempuan usia 20-24 tahun telah menikah pertama kali di bawah usia 18 tahun. Bahkan, ada lima provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi, seperti Nusa Tenggara Barat (14,96%) dan Papua Selatan (14,40%),” paparnya.
Fenomena memprihatinkan yang mengemuka adalah meningkatnya potensi perkawinan di bawah tangan (tidak tercatat). Menurut Muchlis, banyak pasangan yang enggan mengajukan dispensasi karena dianggap ribet, atau memilih menikah sirri setelah permohonan dispensasi mereka ditolak pengadilan.
“Data dari Ditjen Catatan Sipil Kemendagri menyebutkan bahwa terdapat 34 juta pasangan suami istri yang belum tercatat di Dukcapil. Ini angka yang sangat besar dan di dalamnya berpotensi terdapat banyak perkawinan anak,” tegasnya.
Profil dan Faktor Penyebab Dispensasi Kawin
Presentasi tersebut juga membeberkan profil pemohon dispensasi kawin. Mayoritas pemohon adalah perempuan berusia 16-17 tahun, diikuti usia 18 tahun. Faktor utama yang melatarbelakangi permohonan dispensasi sepanjang 2024-2025 didominasi oleh alasan “Menghindari Zina” (59% pada 2024, 56% pada 2025) dan “Hamil” (31% pada 2024, 34% pada 2025).
“Alasan ‘ekonomi’ dan ‘adat/dijodohkan’ persentasenya sangat kecil, masing-masing 0, sekian % dan 3%,” jelas Dirjen Muchlis sambil menampilkan data pie chart.

Dilema dan Strategi Komprehensif Pencegahan
Dirjen Badilag mengakui adanya dilema dalam pemberian dispensasi kawin. Di satu sisi, hal itu dapat mencegah perbuatan zina dan perkawinan tidak tercatat. Di sisi lain, semangat UU untuk mendewasakan usia perkawinan seolah tereduksi.
“Karena itu, hakim harus memberikan pertimbangan yang sangat komprehensif. Dikabulkannya dispensasi bukan berarti pengadilan melegalkan perkawinan anak, melainkan memberikan perlindungan hukum daripada mereka menikah tidak tercatat yang konsekuensi hukumnya lebih berat,” tegas Muchlis.
Ia menegaskan bahwa pencegahan perkawinan anak tidak bisa dibebankan hanya pada lembaga peradilan. Dibutuhkan kolaborasi sistemik antara Pemerintah (eksekutif), lembaga peradilan, dan masyarakat.
“Saat ini, kadang Pengadilan Agama yang menjadi sasaran stigma negatif sebagai pemberi legalisasi perkawinan anak. Padahal, kami adalah ujung tombak dari limpahan masalah sosial yang belum tertangani dengan baik,” ujarnya.
Sebagai bentuk komitmen, Badilag telah menjalankan beberapa program prioritas, di antaranya:
- Kerja Sama dengan Berbagai Lembaga: Seperti Kemenkes, Kemenag, Kemen PPA, Bappenas, dan Kemenko PMK.
- Penyusunan Template Putusan: Bersama Kamar Agama MA, Badilag telah menyusun dan menyebarluaskan template putusan dispensasi kawin untuk memastikan hak-hak anak tidak terabaikan.
- Optimalisasi Perangkat Daerah: Menguatkan peran pemerintah daerah dan aparat desa untuk mencegah perkawinan anak tanpa prosedur legal.

Penutup
Seminar internasional ini ditutup dengan kesimpulan bahwa Pengadilan Agama berkomitmen menegakkan hukum dan keadilan, termasuk dalam perkara dispensasi kawin. Banyaknya perkara yang dikabulkan merupakan instrument hukum untuk melindungi anak dari praktik perkawinan tidak tercatat yang lebih berisiko.
“Persoalan perkawinan anak adalah persoalan sosial yang harus ditangani bersama, mulai dari peningkatan kesadaran hukum masyarakat, kesejahteraan sosial, hingga akses pendidikan yang lebih baik,” pungkas Dirjen Muchlis menutup paparannya.
Kehadiran dan paparan mendalam dari Dirjen Badilag dalam seminar ini diharapkan dapat memperkaya diskursus akademik dan memberikan perspektif praktis bagi para hakim, dosen, mahasiswa, dan praktisi hukum yang hadir, dalam upaya kolektif mencegah perkawinan anak di Indonesia. (FHD)
