Di PA Kuningan, Dirjen Badilag Ingatkan Pentingnya Pengelolaan Biaya Perkara
Kuningan l Badilag.net
PA Kuningan menjadi sasaran kunjungan dadakan Dirjen Badilag Drs. H. Abdul Manaf, S.H. berikutnya, setelah berturut-turut berkunjung ke PA Subang, PA Indramayu dan PA Cirebon. Pak Dirjen datang pada Rabu (9/9/2015) pagi, pukul 07.50 atau sepuluh menit sebelum jam kantor dimulai.
Salah satu poin yang ditekankan Pak Dirjen pada kunjungannya di PA Kelas IA ini adalah pengelolaan uang di pengadilan, baik yang berasal dari DIPA maupun dari masyarakat pencari keadilan. Secara khusus, Pak Dirjen menyoroti pengelolaan biaya proses yang menjadi salah satu komponen biaya perkara.
Hal ini penting, menurut Pak Dirjen, karena biaya proses saat ini telah menjadi salah satu fokus audit BPK yang berpengaruh terhadap status laporan keuangan MA secara nasional.
Kepada Ketua PA Kuningan Drs. H. Abdul Basyir, M.Ag dan jajarannya, Pak Dirjen bertanya tentang alur pengelolaan biaya proses, siapa saja yang berperan dan bagaimana pembukuannya.
“Bagaimana sebenarnya alur pengelolaan biaya proses?” tanya Pak Dirjen. Karena mendapatkan jawaban yang variatif, Pak Dirjen mengingatkan kembali bahwa biaya proses pertama-tama diterima oleh kasir. Setelah itu, kasir menyerahkannya kepada bendahara yang khusus mengelola biaya proses.
“Terus siapa yang boleh membelanjakan biaya proses itu? Apakah Pak Pansek?” tanya Pak Dirjen lagi, kepada Pansek PA Kuningan Drs. Iin Solihin, S.H.
“Yang boleh hanya PPK, Pak,” jawab Pansek PA Kuningan. Jawaban itu tepat. Pak Dirjen menegaskan, PPK atau Pejabat Pembuat Komitmen-lah yang punya wewenang itu, bukan Pansek maupun pejabat lainnya.
“Kalau misalnya biaya proses itu akan ditaruh di brankas yang ada di Kesekretariatan, bagaimana caranya dan berapa jumlah maksimal uang di brankas?” Pak Dirjen bertanya lagi.
Pak Dirjen menegaskan, jika biaya proses hendak ditaruh di brankas, harus ada berita acara penitipan yang dibuat rangkap dua: satu untuk bendahara biaya proses dan satunya lagi untuk pengelola brankas. Jumlah maksimal uang yang ada di brangkas adalah Rp50 juta, sesuai dengan peraturan dari Kemenkeu.
“Terus, bagaimana dengan pembukuannya?” Pak Dirjen melanjutkan pertanyaannya, sekaligus ingin mengecek bagaimana PA Kuningan melakukannya.
Ditunjukkan oleh bendahara biaya proses PA Kuningan, pembukuan itu dilakukan dengan menggunakan satu buku beserta data dukung pengeluaran seperti kwitansi-kwitansi.
Pak Dirjen mengingatkan, semua itu harus sungguh-sungguh dipahami dan dilaksanakan. “Jangan sampai ada pengeluaran, tapi tidak ada pembukuan dan buktinya,” ujarnya.
Pak Dirjen juga mewanti-wanti, biaya panggilan—yang jadi salah satu komponen pokok panjar biaya perkara—harus dikelola dengan benar. Biaya itu harus diberikan kepada JSP sebelum memanggil para pihak, bukan sebaliknya. “Jangan sampai JSP disuruh memanggil lebih dulu, terus baru diberi biaya,” tandasnya.
Pengembalian sisa panjar biaya perkar juga perlu menjadi perhatian, agar tidak ada kejanggalan. “Setiap pengembalian sisa panjar harus ada tanda tangan dan nama dari penerima sisa panjar itu,” ujarnya.
Tidak cuma itu. Di PA Kuningan, Pak Dirjen menyempatkan diri mencermati hal-hal kecil yang sesungguhnya tidak boleh diremehkan. Misalnya, di sampul depan KIPA 1 ditulis sebagai jurnal keuangan perkara, tapi di dalamnya terdapat keterangan bahwa itu adalah buku register.
Buku induk keuangan perkara (KIPA 6) tidak luput dari perhatian Pak Dirjen. “Alhamdulillah, tulisannya bagus,” ucapnya, sembari mengucapkan terima kasih kepada pegawai honorer yang sehari-hari mengelola buku itu.
Dari sidang terpadu hingga mushalla
Masih soal uang, Pak Dirjen mengecek penggunaan anggaran sidang keliling yang dilaksanakan secara terpadu bersama dengan Disdukcapil dan Kemenag setempat. Layanan yang diberikan PA adalah isbat nikah, lantas KUA menerbitkan buku nikah dan Disdukcapil menerbitkan akta kelahiran.
Hingga awal September 2015, PA Kuningan telah menyelenggarakan dua kali sidang terpadu. Ada 24 perkara yang ditangani.
Dibanding daerah-daerah lain, menurut Pak Dirjen, jumlah masyarakat yang terlayani oleh pelayanan terpadu di wilayah PA Kuningan masih sedikit. “Kenapa bisa begitu?” ia bertanya.
Ketua PA Kuningan menjelaskan, sebenarnya pihaknya telah berupaya untuk memberi layanan ke lebih banyak orang. “Awalnya yang mendaftar 50, tapi yang bisa kami layani hanya 24. Ini karena ada yang mau poligami terselubung dan ada juga yang masih dalam masa iddah. Kami hati-hati, Pak,” ujarnya.
Mengenai pelayanan terpadu ini, agar masyarakat yang terlayani semakin banyak, PA Kuningan harus mempedomani Perma 1/2015. Perma tersebut memungkinkan panggilan sidang tidak berpatokan pada biaya panggilan sesuai radius.
“Panggilan juga bisa dilakukan secara kolektif, misalnya diumumkan oleh Pemda atau Disdukcapil. Semakin banyak umat yang terlayani, semakin baik,” tandasnya.
Pak Dirjen juga menyinggung tentang aset PA Kuningan yang tergolong Barang Milik Negara (BMN). Terhadap aset-aset yang sudah rusak atau tidak terpakai, ia menginstruksikan agar segera dilakukan penghapusan. Misalnya, mesin ketik lama yang kini tergantikan fungsinya oleh komputer.
Mengenai mushalla yang tanahnya merupakan aset PA Kuningan dan bangunannya berasal dari swadaya atau hasil urunan aparatur PA Kuningan, Pak Dirjen menyarankan agar mengonsultasikannya dengan BUA.
Dalam kunjungannya kali ini, Dirjen Badilag tidak lupa memeriksa daftar hadir, catatan cuti, berkas perkara, berbagai register, jurnal dan buku induk, serta kebersihan dan kerapian gedung—terutama untuk pelayanan publik.
[hermansyah]