Begini Cara Menyelesaikan Perkara Hak Asuh Anak di Australia
Jakarta l Badilag.mahkamahagung.go.id
Pengadilan Keluarga Australia (Family Court of Australia) punya pendekatan berbeda dalam menangani sengketa hak asuh anak. Di sana, pendekatan itu terbukti efektif.
Konsultan bagi Pengadilan Keluarga Australia, Leisha Lister, mengungkapkannya ketika bertandang ke Ditjen Badilag, Senin (27/3/2017).
“Di negara kami, hanya sedikit sekali perkara pengasuhan anak yang sampai diputus oleh hakim,” kata Leisha.
Ia menjabarkan data statistik. Dari 100 persen perkara pengasuhan anak yang didaftarkan di Pengadilan Keluarga Australia, hanya 13 persen yang akhirnya diputus oleh hakim. Lebih banyak di antaranya (87 persen) yang dapat diselesaikan sebelum hakim menjatuhkan putusan.
“Menggunakan jasa hakim di pengadilan-pengadilan Australia sangat mahal. Itu jadi pilihan terakhir,” kata Leisha.
Di hadapan Dirjen dan para pejabat Badilag serta para pimpinan PA sewilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, Leisha menggambarkan proses penyelesaian sengketa hak asuh anak di negaranya.
Australia menerapkan dua prosedur, yaitu prosedur non-litigasi dan litigasi. Mula-mula, perselisihan hak asuh anak mesti dibawa ke lembaga mediasi yang ada di berbagai negara bagian. Di sana, proses mediasi dilakukan oleh semacam LSM yang dibiayai oleh negara.
“Mediasi ini harus dilakukan. Tidak boleh didaftarkan di pengadilan kalau proses mediasi belum ditempuh,” kata Leisha, yang hadir bersama rekannya, Cate Sumner.
Perselisihan-perselisihan hak asuh anak yang tidak dapat diselesaikan di lembaga mediasi dapat diajukan ke Pengadilan Keluarga Australia. Terdapat di beberapa negara-negara bagian, pengadilan ini merupakan pengadilan negara federal, bukan pengadilan negara bagian.
Di Pengadilan Keluarga Australia, secara garis besar, rangkaian proses penyelesaian perkara pengasuhan anak terdiri dari empat tahap, yaitu tahap penyelesaian melalui konsultan keluarga; tahap dengar pendapat di hadapan hakim; tahap persidangan (pembuktian); dan tahap pembacaan putusan.
Tahap penyelesaian melalui konsultan keluarga dilakukan oleh para pegawai pengadilan yang kompeten. Pada umumnya mereka berlatarbelakang psikologi.
Konsultan keluarga berupaya mencari jalan keluar terhadap sengketa pengasuhan anak dengan mengutamakan kepentingan terbaik anak. Outputnya berupa rekomendasi untuk hakim.
“Hakim akan mempertimbangkan rekomendasi itu, tapi tidak terikat padanya,” Leisha menjelaskan. Jika setuju dengan rekomendasi itu, hakim akan membuat penetapan. Otomatis, perkara selesai (case closed).
Sebagian besar sengketa hak asuh anak dapat dituntaskan pada tahap ini. Jika tidak juga beres, karena kasusnya rumit, maka pihak pengadilan akan memanggil pengacara independen dengan biaya dari negara. Tugas pengacara ini pada dasarnya sama dengan tugas konsultan keluarga. Yang ia hasilkan juga sama: rekomendasi kepada hakim. Bedanya, pengacara ini lebih fokus ke aspek hukumnya.
Mengutamakan kepentingan terbaik anak harus tetap jadi pijakan pengacara independen yang ‘disewa’ pengadilan. Tapi, Leisha menegaskan, kepentingan terbaik anak tidak identik dengan keinginan anak.
Leisha memberi contoh kasus seorang anak yang ingin diasuh oleh ayahnya. Keinginan itu dilatarbelakangi oleh fakta bahwa sang ayah cenderung membebaskan anaknya. Mau masuk sekolah atau tidak, ayahnya tidak peduli.
“Pengacara independen kemudian merekomendasikan kepada hakim agar anak tersebut diasuh oleh ibunya,” kata Leisha. Juga sama dengan rekomendasi konsultan keluarga, rekomendasi dari pengacara independen akan dipertimbangkan hakim, namun tidak mengikat hakim. Jika setuju dengan rekomendasi itu, hakim akan membuat penetapan. Sebagian sengketa hak asuh anak dapat diselesaikan melalui bantuan pengacara independen.
Meski menjadi tahap paling awal, kesempatan menyelesaiakan sengketa dengan cara konsultasi dengan konsultan keluarga maupun pengacara independen ini belum tentu digunakan.
“Hanya 75 persen perkara yang sampai ke tahap konsultasi. Sebanyak 25 persen dapat diselesaikan sendiri oleh para pihak,” ungkap Leisha.
Ia menambahkan, efektivitas penyelesaian sengketa dengan cara konsultasi sangat menggembirakan. Separuh dari perkara dapat dituntaskan dengan cara ini. Beban kerja pengadilan dalam menyelesaiakan perkara-perkara hak asuh anak pun berkurang drastis, dari semula 75 persen perkara menjadi 25 persen perkara.
Terhadap 25 persen sengketa yang tidak selesai di tahap tersebut, diberlakukan proses hearing atau dengar pendapat di hadapan hakim. Meski sudah masuk ke pokok perkara, para pihak tetap dipersilakan membuat kesepakatan mengenai pengasuhan anak mereka.
Nyatanya, peluang ini memang banyak digunakan sebagaimana mestinya. Hasil kesepakatan itu kemudian diajuka ke hakim, lalu hakim membuat penetapan.
Usai tahap hearing, jika tidak selesai juga, dilanjutkan ke tahap persidangan untuk membuktikan argumen masing-masing pihak. Pada tahap inipun, pihak-pihak yang bersengketa dibolehkan membuat kesepakatan mengenai siapa di antara mereka yang akan mengasuh anak mereka. Hasil kesepakatan itu diajukan ke hakim, untuk dibuatkan penetapan.
Terakhir, jika tahap persidangan dan pembuktian telah dilalui dan masing-masing pihak tetep ngotot dengan sikapnya, hakim akan membuat putusan. Karena bersifat mengikat dan berdaya paksa, putusan harus ditaati dan dilaksanakan.
“Hanya 13 persen perkara pengasuhan anak yang sampai diputus hakim,” kata Leisha.
Dengan demikian, jika dalam setahun Pengadilan Keluarga Australia menangani 1000 perkara pengasuhan anak, yang sampai ke tahap konsultasi keluarga hanya 750 perkara; yang sampai ke tahap persidangan dan pembuktian hanya 250 perkara; dan yang berujung ke putusan hakim hanya 130 perkara.
Dirjen Badilag Drs. H. Abdul Manaf, M.H. sangat berterima kasih kepada Leisha Lister dan Cate Sumner yang telah berbagi informasi berharga untuk aparatur peradilan agama.
“Mudah-mudahan bertambah wawasan kita di bidang anak dan perempuan,” kata Dirjen Badilag, yang saat ini sedang menuntaskan disertasi tentang pengasuhan anak.
[hermansyah]