logo web

Dipublikasikan oleh Hermansyah pada on . Dilihat: 2392

Abdul Manaf: Siap Melanjutkan Kiprah Dua 'Ustadz'

Pada Mei ini, Drs. H. Abdul Manaf, M.H. memasuki catur wulan keduanya sebagai Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Dirjen Badilag). Dalam kurun waktu itu, pejabat eselon I ini lebih fokus ke konsolidasi organisasi. Sesekali ia juga melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah Pengadilan Agama (PA), di samping berkoordinasi secara vertikal dan horizontal.

Apa saja program-program yang akan dijalankan Dirjen Badilag ketiga setelah Drs. H. Wahyu Widiana, MA dan Dr. H. Purwosusilo, S.H., M.H. itu? Berikut ini hasil wawancara selengkapnya:

Bagaimana Bapak memandang jabatan yang Bapak emban saat ini?

Bagi saya, menjadi pemimpin di tingkat apapun berarti memikul amanah yang dipercayakan oleh Allah SWT. Sebagai hamba Allah, tentu saya harus memandang bahwa ini sebagai amanah, dan karena itu harus senantiasa memohon kepada Allah agar selalu memberi petunjuk dan bimbingan.

Apakah sebelumnya pernah terlintas di benak Bapak, suatu saat akan jadi Dirjen Badilag?

Menjadi Dirjen Badilag tidak pernah menjadi cita-cita saya. Membayangkannya saja tidak pernah. Tapi oleh karena Allah SWT, melalui Pimpinan Mahkamah Agung, telah memberi amanah, maka saya harus siap dan berkomitmen penuh untuk menjalankan amanah ini sekuat tenaga. Ini adalah ladang ibadah yang tidak boleh disia-siakan.

Bapak merupakan Dirjen Badilag ketiga setelah Pak Wahyu Widiana dan Pak Purwosusilo. Bagaimana Bapak memposisikan diri di antara para senior itu?

Pak Wahyu dan Pak Purwo di mata saya bukan hanya senior. Keduanya adalah guru-guru saya, bersama-sama dengan senior-senior lainnya di Mahkamah Agung dan peradilan agama. Kepada Pak Wahyu dan Pak Purwo, saat bertemu, saya biasa memanggil “ustadz”, karena mereka memang sungguh-sungguh guru yang layak diteladani.

Sesaat setelah dilantik menjadi Dirjen, saya sowan kepada Pak Wahyu. Sebagai orang yang baru bergabung dengan Ditjen Badilag, saya ingin menggali banyak hal dari beliau. Kita sama-sama tahu, beliau adalah salah satu pelaku sejarah beralihnya manajemen organisasi, administrasi, SDM dan keuangan badan peradilan agama dari Kementerian Agama ke Mahkamah Agung. Beliau mulai memimpin Badilag ketika masih menjadi unit kerja eselon II di Depag. Tidak kurang dari 12 tahun beliau memimpin Badilag, dari tahun 2000 hingga 2012. Banyak prestasi yang beliau capai, terutama di bidang access to juctice dan teknologi informasi. Tentu, tidak salah jika saya ingin belajar kepada beliau, sekaligus mohon doa restu.

Kepada Pak Purwo juga begitu. Beliau menjadi Dirjen Badilag tidak sampai tiga tahun, dan sekarang menjadi hakim agung di Kamar Agama MA. Meski begitu, banyak pencapaian yang beliau raih, terutama dalam hal peningkatan kualitas SDM peradilan agama. Saya pun sowan dan mohon arahan dari beliau.

Apakah ini artinya Bapak akan meneruskan jejak langkah para senior itu?

Tentu saja, karena menjadi pemimpin di sebuah institusi ibaratnya kita lari estafet. Tidak boleh antara satu pelari di depan dan pelari di belakangnya terputus. Harus ada kesinambungan pimpinan sekarang dengan pimpinan sebelumnya. Sanad-nya harus nyambung. Apa-apa yang sudah baik perlu dipertahankan dan ditingkatkan dan apa-apa yang belum sempat dikerjakan secara optimal harus dioptimalkan.

Apa yang mula-mula Bapak lakukan sebagai seorang Dirjen? Apakah Bapak punya program khusus, misalnya “program 100 hari kerja”?

Saya tidak punya program khusus, “100 hari kerja” misalnya. Yang paling penting, sebagaimana telah saya praktikkan ketika menjadi ketua pengadilan agama dan menjadi pejabat eselon II di Badan Pengawasan,  pada tahap awal memimpin suatu organisasi kita harus ta’aruf dulu. Kita saling mengenal. Mengenal bukan terbatas pada nama, jabatan dan wajah orang. Tapi yang lebih penting adalah mengenal organisasi yang kita pimpin, visi-misinya, sasaran dan target kinerjanya, masalah dan tantangan yang melingkupinya, serta sumber daya apa saja yang perlu dikerahkan untuk mengatasi berbagai persoalan dan mencapai target yang telah ditetapkan.

Sudah menjadi semacam tradisi, setiap Dirjen memiliki program-program unggulan yang diselaraskan dengan program prioritas organisasi. Apakah Bapak juga demikian?

Ya, saya pun demikian. Prinsipnya, saya akan melanjutkan program-program prioritas Badilag yang selama ini telah berjalan dengan baik, misalnya program modernisasi administrasi perkara, manajemen dan peningkatan kualitas SDM, pelayanan publik, keterbukaan informasi, dan pelayanan hukum bagi masyarakat tidak mampu. Semua itu perlu dilanjutkan dan ditingkatkan.

Di samping itu, saya juga ingin menambahkan beberapa program yang kiranya dapat lebih meningkatkan peran Ditjen Badilag sebagai pelayan pengadilan-pengadilan di lingkungan peradilan agama. Jadi, bukan hanya pengadilan agama yang kita tuntut untuk lebih meningkatkan kualitas pelayanannya kepada masyarakat pencari keadilan, tapi Ditjen Badilag pun harus meningkatkan kualitas pelayanannya kepada 359 PA/MS dan 29 PTA/MS Aceh.

Bagaimana konkretnya?

Pertama, saya ingin mengubah paradigma kita selama ini. Jangan lagi berpikir bahwa kita yang berada di pusat ini adalah bos atau majikan. Justru kita ini sebenarnya adalah pelayan bagi aparatur peradilan agama di bawah.

Yang kedua, sebagai pelayan bagi PA dan PTA, kita harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan PA dan PTA dengan baik. Itu artinya prosedurnya harus lebih jelas, lebih cepat dan lebih transparan. Misalnya, kalau ada hakim yang ingin mutasi atau promosi. Seharusnya hakim tersebut sudah tahu kapan dia akan dimutasi dan dipromosikan karena datanya ada di SIMPEG, tanpa harus datang langsung ke Badilag dan menemui pejabat di sini. Hakim harus diberi tahu, prosedur mutasi itu bagaimana, untuk jadi pimpinan itu persyaratan dan mekanismenya bagaimana, dan seterusnya. Saat ini kita sudah punya pedoman pola mutasi untuk hakim dan kepaniteraan yang telah diperbarui. Tinggal kita laksanakan itu sebaik-baiknya.

Yang ketiga, segala macam supporting tools berbasis teknologi informasi harus kita intensif dan ekstensifkan. Kita sudah punya website untuk keterbukaan informasi publik; SIADPA untuk pengelolaan administrasi perkara di peradilan agama; SIMPEG untuk manajemen SDM kita; dan aplikasi-aplikasi penunjang kerja lainnya.

Semua itu perlu kita intensifkan penggunaannya. Jangan sampai kendor. Seluruh website satker kita harus bisa diakses. SIADPA dan SIMPEG pun harus dipakai oleh seluruh satker.

Nah, kalau ekstensifikasi itu berarti kita memperluas fungsi dan cakupannya. Misalnya, bagaimana ke depan website kita memiliki lebih banyak menu dan sub-sub domainnya juga lebih beragam, untuk memenuhi kebutuhan pengakses, baik yang berasal dari peradilan agama maupun stakeholders peradilan agama secar luas.

SIADPA yang sedang kita redesaian nanti juga harus bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru, misalnya untuk keperluan pendaftaran perkara secara online, penghitungan panjar biaya perkara secara otomatis, penghitungan keuangan perkara yang lebih detail, pelaporan mediasi dengan form baru,  pengukuran kinerja tenaga teknis, dan seterusnya.

SIMPEG juga perlu kita ekstensifkan, misalnya untuk keperluan kenaikan pangkat paperless untuk tenaga non-teknis yang nanti kewenangannya akan diserahkan Biro Kepegawaian kepada Ditjen-Ditjen. Juga untuk monitoring tenaga teknis yang sudah dan belum pernah mengikuti pelatihan, bimtek, lokakarya dan sejenisnya. Kita juga perlu kembangkan SIMPEG untuk pengolahan dan alalisis data SDM sehingga dapat digunakan Badilag untuk pengambilan kebijakan berbasis data yang akurat dan up to date. Akurat saja tidak cukup, karena bisa jadi data yang akurat bulan lalu menjadi tidak akurat pada bulan ini karena belum di-update.

Oya, seluruh data, baik yang berasal dari SIADPA, SIMPEG maupun aplikasi-aplikasi lainnya sejak sekarang harus terkoneksi dengan Komdanas. Itu hukumnya wajib, supaya pimpinan MA dapat memonitor dan mengevaluasinya dari waktu ke waktu secara real time.

Bagaimana hubungan kelembagaan Badilag dengan pihak-pihak terkait ke depan?

Ya, kita perlu terus menjalin kerja sama dengan stakeholders, baik dengan lembaga pemerintahan maupun lembaga non-pemerintahan; baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Dengan lembaga pemerintahan di dalam negeri, misalnya kita akan perkuat kerja sama dengan BKN (Badan Kepegawaian Negara) untuk keperluan manajemen SDM. Kita juga harus terus berkomunikasi dan berkoordinasi dengan pihak Kemenag dan Kemendagri untuk keperluan sidang terpadu. Kita juga terus meningkatkan kerja sama dengan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) guna meningkatkan kualitas SDM di bidang ekonomi syariah. Tidak kalah penting, kita perlu terus menjalin kontak dengan perguruan tinggi untuk meningkatkan kapasitas SDM peradilan agama.

Dengan lembaga non-pemerintahan di dalam negeri, kita akan terus bekerja sama dengan organisasi seperti PEKKA (Perhimpunan Perempuan Kepala Keluarga), Puskapa UI (Pusat Kajian Perempuan dan Anak Universitas Indonesia), dan organisasi-organisa lain yang memiliki kepedulian terhadap persoalan perempuan dan anak.

Kita juga siap bergandeng tangan dengan MUI, MES (Masyarakat Ekonomi Syariah), HISSI (Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia), Asbisindo (Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia) dan organisasi-organisasi lain yang memiliki perhatian tinggi terhadap perkembangan ekonomi syariah di Tanah Air.

Kerja sama kita dengan lembaga luar negeri juga akan terus kita jalin. Dengan Family Court of Australia dan Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ), kita punya sejumlah program yang sedang berjalan, misalnya pengembangan e-learning untuk petugas pelayanan di PA. Dalam waktu dekat, insya Allah kita juga menghimpun dan mengkaji putusan-putusan peradilan agama yang terkait dengan hak-hak anak. Selain itu, kita juga terbuka untuk bekerja sama dengan World Bank dan lembaga-lembaga internasional lainnya, terutama untuk program akses masyarakat miskin terhadap keadilan.

Dengan negara-negara Timur Tengah, kita berkomitmen untuk terus bekerja sama. Misalnya dengan Arab Saudi, kita akan terus mengupayakan hakim-hakim kita dapat belajar ekonomi syariah di sana. Demikian juga dengan Sudan dan negara-negara Timur Tengah lainnya.

Di antara sekian banyak program itu, manakah yang paling mendesak?

Pada dasarnya, semua program kerja adalah penting. Meski demikian, memang harus ada yang lebih didahulukan daripada yang lain.

Saat ini, yang paling mendesak kita tuntaskan adalah persoalan-persoalan yang terkait dengan manajemen perkara, khususnya pelaporan keuangan perkara. Seiring dengan adanya audit dari BPK, kita harus menyesuaikan standar akuntansi yang selama ini dipakai PA-PA dengan standar akuntansi yang ditetapkan BPK. Kita perlu menertibkan pencatatan uang konsinyasi atau dana pihak ketiga di PA, sehingga pertanggung jawabannya lebih jelas. Kita perlu memperjelas lagi batasan penggunaan biaya proses, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dengan anggaran ATK dari DIPA. Lebih dari itu, kita perlu menyiapkan pedoman-pedoman, supaya antara Badilag, PTA dan PA tercipta pemahaman yang sama mengenai keuangan perkara, sehingga akhirnya sinkron dengan standar yang ditetapkan BPK.

Persoalan lain yang mendesak ialah manajemen SDM, khususnya dalam hal memproporsionalkan jumlah personel dengan beban kerja. Sampai saat ini, secara umum kita masih kekurangan SDM, baik hakim, tenaga kepaniteraan maupun tenaga kesekretariatan. Di PA-PA, banyak sekali pegawai yang rangkap jabatan. Bahkan ada seorang pegawai yang jadi jurusita sekaligus jadi kasubbag dan pengelola aplikasi ini-itu. Pekerjaannya tidak habis-habis. PA-PA kelas II, karena empat tahun terakhir tidak ada perekrutan calon hakim, sekarang juga mulai kekurangan hakim. Di sisi lain, kita juga menyadari, ada penumpukan SDM di satker-satker tertentu, misalnya ada PTA yang jumlah panitera pengganti-nya terlalu banyak.

Ini semua harus kita carikan jalan keluar. Melalui Biro Kepegawaian MA, kita perlu mengusulkan formasi apa saja yang kita butuhkan dan berapa jumlahnya. Kemudian, terhadap persoalan tidak meratanya beban kerja, secara berangsur-angsur kita perlu menyelenggarakan mutasi dan rotasi, dengan terlebih dahulu menghitung beban kerja tiap-tiap satker. 

Berikutnya, yang mendesak ialah adalah regulasi-regulasi atau pedoman-pedoma kerja yang akan digunakan oleh PA dan PTA. Misalnya, sekarang kita sedang menyusun pedoman penyelenggaraan bimtek ekonomi syariah. Kurikulum dan bahan ajarnya harus segera selesai kita susun. Bersama-sama dengan Kamar Agama, kita juga akan segera menerbitkan Kompilasi Hukum Acara Ekonomi Syariah (KHAES). Selain itu, kita juga merencanakan revisi Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).

Itu semua adalah PR yang tidak mudah. Tapi dengan selalu mohon pertolongan Allah SWT, insya Allah kita dapat melaksanakannya dengan baik dan tepat waktu.

Apakah Bapak punya perhatian khusus kepada mahkamah syar’iyah di wilayah Aceh yang memiliki kewenangan lebih dibandingkan pengadilan agama pada umumnya?

Ya, tentu saja. Sesepuh kita, mantan Tuada Uldilag dan Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial Bapak Syamsuhadi Irsyad sudah menunjukkan perhatiannya kepada mahkamah syar’iyah sejak lama, sehingga beliau sampai membuat disertasi tentang mahkamah syar’iyah. Tentu saja sebagai murid dan penerus beliau, kita harus memberi perhatian yang sama kepada mahkamah syar’iyah, baik di tingkat pertama maupu banding.

Saat ini, perkembangan di Aceh dinamis sekali. Banyak Qanun baru, baik mengenai hukum materiil maupun hukum formil. Di satu sisi, kedudukan dan kewenangan mahkamah syar’iyah lebih mantap, khususnya dalam menangani perkara-perkara jinayah. Di sisi lain, kita juga sangat menyadari, berbagai persoalan perlu segera dipecahkan. Misalnya, di sana ada nomenklatur panitera muda jinayah dan ada pejabatnya, tapi tidak tersedia tunjangannya. Pelatihan-pelatihan mengenai penanganan perkara jinayah juga masih sangat minim, sehingga para hakim dari luar Aceh yang bertugas di sana rata-rata belajar secara otodidak. Pedoman-pedoman yang lebih teknis dari instansi pusat mengenai penanganan perkara jinayah juga masih sedikit. Di samping itu, koordinasi mahkamah syar’iyah dengan Dinas Syariah, Kemenag, Kejaksaan dan Kepolisian di sana mestinya juga jadi perhatian kita di pusat.  

Bapak memulai karir dari wilayah yang bisa dikatakan terpencil, lalu masuk ke lingkaran pusat dengan fokus ke pengawasan. Apakah latar belakang itu berpengaruh secara signifikan terhadap model program-program Bapak di Badilag?

Tentu saja latar belakang itu berpengaruh. Tapi, apakah berpengaruh secara signifikan atau tidak, saya silakan kawan-kawan di peradilan agama yang menilai.

Yang jelas, karena berangkat dari wilayah pedalaman, NTB, saya punya prinsip bahwa keterbatasan seharusnya tidak kita jadikan alasan untuk tidak berprestasi. Kalau kita bekerja di tempat yang serba ada, lalu kita berprestasi, itu hal yang biasa. Tapi kalau kita bekerja di tempat yang serba kekurangan, lalu kita berprestasi, itu sesuatu yang luar biasa.

Prinsip saya berikutnya, bekerja di manapun dan sebagai apapun, kita harus disiplin. Disiplin itu pengertiannya luas, tidak terbatas pada disiplin dalam hal waktu masuk dan pulang kerja. Disiplin juga berarti bekerja secara efektif dan efisien. Itu berarti kita melakukan tugas kita sebaik mungkin dan secepat mungkin. Disiplin juga berarti kita selalu patuh terhadap peraturan perundang-undangan dan kode etik yang berlaku.

Pesan Bapak Sekretaris MA, ada tiga E yang perlu diperhatikan, yakni ekonomis, efektif dan efisien. Prisnip tiga E ini juga wajib diaplikasikan oleh kawan-kawan di daerah.

Sebagai orang yang pernah bekerja di bidang pengawasan, saya juga ingin aparatur peradilan agama, baik di Badilag, PTA maupun PA, agar jangan sampai berurusan dengan Badan Pengawasan. Kalau sudah berususan dengan Bawas, berarti ada apa-apa. Seperti ungkapan lama, tidak ada asap kalau tidak ada api.

Jadi, mari kita menjadikan pekerjaan kita sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah SWT, dengan keyakinan bahwa semua amal baik yang kita lakukan dengan ikhlas, tanpa pamrih, akan mendapat pahala dan sebaliknya amal buruk kita akan dibalas setimpal oleh Allah SWT.

Terakhir, apa pesan Bapak kepada aparatur peradilan agama di seantero nusantara, supaya program-program yang Bapak canangkan dapat terlaksana dengan baik?

Saya menyadari bahwa saya bukanlah orang yang paling pintar, paling baik dan paling segalanya di antara kawan-kawan di peradilan agama. Karena itu, tidak mungkin saya dapat mengemban amanah ini sendirian. Saya sangat mengharapkan dukungan, kerja sama, juga masukan dan kritik dari seluruh aparatur peradilan agama.

Insya Allah, dengan penuh semangat, optimisme dan kekompakan, kita bersama-sama dapat membawa peradilan agama ke maqam yang lebih tinggi, yang bukan saja akan menjadi kebanggaan kita bersama, tapi juga akan menjadi inspirasi bagi aparatur peradilan agama pada generasi-generasi selanjutnya.

[hermansyah]

Catatan: Wawancara ini sebelumnya tampil di majalah PERADILAN AGAMA. Tulisan-tulisan penting dan menarik lainnya dapat diunduh DI SINI.

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice