logo web

Dipublikasikan oleh Yudi Hermawan pada on . Dilihat: 88

REFLEKSI HUT MAHKAMAH AGUNG KE-79 BAGI INSAN PERADILAN AGAMA

 

oleh:

Drs. H. Muchlis, S.H., M.H

Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI

 

Pada perayaan Hutnya yang ke-79, Mahkamah Agung mengusung tema "Peradilan Tangguh, Indonesia Maju." Maksud tema tersebut telah disampaikan oleh Yang Mulia Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam pidatonya yang menegaskan bahwa peradilan yang kuat memegang peranan penting dalam perkembangan sebuah negara. Artinya, fungsi Kekuasaan Kehakiman yang dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, termasuk peradilan agama, merupakan salah satu pilar utama yang dapat mendukung keberlangsungan sebuah negara.

Bagi peradilan agama, perayaan pada milad kali ini harus menjadi momentum untuk meningkatkan kualitas layanan badan peradilan agama yang sejatinya selalu menjadi pelopor dalam menciptakan inovasi layanan kepada masyarakat pencari keadilan. Di hari jadinya MA ke-79, Peradilan Agama telah genap memasuki usia yang ke 142 tahun. Oleh karena itu, momen ini juga harus menjadi pengingat akan khittah badan peradilan agama yang bukan saja bertugas untuk menegakkan hukum dan keadilan, melainkan sebagai pemegang estafet dakwah Rasullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Karena itu tidak heran bahwa pendahulu kita, almarhum Prof. Dr. H. Abdul Manan senantiasa berpesan agar kita mampu menjadi “Hakim di mata hukum, Ulama di mata umat.” Maksud pesan beliau tentunya bukanlah semata-mata bagi hakim, namun ditujukan bagi seluruh aparatur pengadilan di lingkungan peradilan agama.

Untuk menjadi penegak hukum dan keadilan yang baik, setiap aparatur pengadilan agama, khususnya hakim, harus mencontoh bagaimana Rasulullah menegakkan ke dua hal tersebut di tengah-tengah masyarakat. Rasulullah selalu tegak lurus pada aturan, tidak pernah memihak pada siapa pun, memperlakukan semua orang sama di hadapan hukum, dan menghukum siapa saja yang melanggar tanpa status dan latar belakang yang dimilikinya. Atas dasar itulah, sejarah mencatat bahwa Rasulullah merupakan penggagas hukum yang paling berpengaruh karena beliau tidak hanya memberikan keputusan yang adil dan imparsial, tetapi juga menetapkan asas hukum yang universal dan seimbang bagi seluruh umat manusia.

Dalam menegakkan hukum dan keadilan, aspek terpenting yang harus dimiliki aparatur pengadilan agama adalah aspek kapabilitas. Aspek Kapabilitas di sini berarti profesional. Karena itu setiap aparatur pengadilan agama, khususnya hakim, dituntut untuk profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Sebab, bagaimana mungkin seorang aparatur pengadilan dapat memberikan layanan terbaiknya kepada masyarakat pencari keadilan jika ia tidak profesional.

Profesional di sini mencakup pada penguasaan pada pengetahuan, keterampilan, dan juga perangai yang sesuai dengan kode etik profesi masing-masing. Bersikap profesional merupakan aspek terpenting dalam mengemban tugas dan tanggung jawab. Rasulullah pernah mengutarakan bahwa Allah sangat mencintai seseorang yang apabila bekerja, ia mengerjakannya secara Itqan atau profesional (Hadits). Petunjuk dari Rasulullah tersebut merupakan bentuk penegasan bahwa orang yang bekerja secara profesional adalah orang yang paling dicintai. Artinya, sikap profesional merupakan suatu sikap yang sangat diharapkan, terlebih oleh para pencari keadilan.

Bagi seorang aparatur pengadilan agama, profesional berarti memiliki sikap moral yang dilandasi oleh tekad dalam melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan penuh kesungguhan, didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan, dan wawasan yang luas. Aparatur pengadilan agama harus senantiasa meningkatkan kapasitas keilmuan yudisial dan non yudisialnya, baik melalui pendidikan formal maupun informal, seperti melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, mengikuti pelatihan hukum, membaca, menulis, dan lain sebagainya. Atas dasar itu, maka tidak ada toleransi bagi aparatur pengadilan agama untuk tidak profesional (unprofessional conduct) ketika menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum dan keadilan.

Selain itu, aparatur pengadilan agama, khususnya hakim, dituntut untuk bersikap independen ketika memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Hakim harus Independen dan bebas dari berbagai intervensi pihak mana pun dan dalam bentuk apa pun. Independensi seorang hakim dapat dilihat dari dua hal, yaitu impartiality dan political insularity.

Impartiality atau imparsialitas merupakan sikap seorang hakim yang senantiasa mendasarkan putusannya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan bukan atas dasar lainnya, seperti hubungan kekeluargaan, perkenalan, bisnis, dan lainnya. Sedangkan political insularity ialah sikap bahwa hakim terlepas dan terputus dari kepentingan politik. Kepentingan politik ini sangatlah luas, tidak hanya kepentingan kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan kekuatan-kekuatan politik lainya, namun juga termasuk dari kepentingan kekuasaan Yudikatif sendiri.

Namun demikian, kebebasan tersebut tidak dijalankan dan diberi­kan se­ca­ra sebebas-bebasnya tan­pa ada batasannya tertentu, melainkan harus diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu menurut aturan-aturan sendiri, sehingga tidak melanggar hukum, dan tidak sewenang-wenang. Kebebasan harus diikat dengan pertang­gung­ja­waban atau akun­tabilitas kinerja, integritas moral dan etika, transparansi, pengawasan (kontrol), dan profesionalisme. Karena itu, kebebasan ha­kim tidaklah mutlak tan­pa batasan, kebebasan ter­sebut harus tunduk pada nilai-nilai akuntabilitas yang berkaitan dengan sikap profesional.

Penjelasan demi penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa maksud dari frasa “menjadi hakim di mata hukum’ ialah menjadi selayaknya aparatur pengadilan yang memiliki kapasitas, kapabilitas dan profesionalisme yang hanya bekerja untuk menegakkan hukum dan keadilan. Prinsip ini harus senantiasa dijaga sampai kapan pun. Karena itu, jika ada aparatur pengadilan, termasuk hakim, yang memperjualbelikan hukum, maka ia  telah zalim dan termasuk yang paling sempurna tingkat kezalimannya. Bagi aparatur pengadilan, semboyan “fiat justicia ruat coelum” (keadilan harus tetap ditegakkan, walau langit runtuh), mutlak harus dilaksanakan.

Adapun makna “Ulama di mata umat,” maka hal itu tidak terlepas dari pengertian kata ‘ulama’ itu sendiri yang merupakan bentuk jamak dari kata ‘alim (bahasa Arab), yang berarti seseorang yang memiliki ilmu. Sebagai ulama, setiap aparatur pengadilan agama harus menampil­kan sisi keulamaannya di tengah-tengah masyarakat sebagaimana pribadi Rasulullah yang merupakan uswah bagi seluruh alam. Aparatur pengadilan agama harus men­jadi tauladan bagi masyarakat yang ada di sekelilingnya, dengan kata lain ia harus menjadi role model yang diikut akhlak dan perangainya.

Sifat dan karakteristik ulama telah dijelaskan dalam al-Qur’an, yakni me­re­ka yang memiliki pengetahuan menge­nai ayat-ayat Allah dan juga disertai dengan sifat khosyyah atau takut kepada-Nya (Q.S Faatir: 28). Definisi lain dari  sifat khosyyah tersebut ialah integritas. Artinya, setiap aparatur pengadilan agama wajib menanamkan dalam dirinya integritas yang kokoh.

Kedudukan lain dari seorang ulama ialah sebagai pewaris para nabi (al-‘ulamâ’ waratsat al-anbiyâ’). Warisan yang dimaksud adalah ilmu dan kepribadian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Warisan yang tidak ternilai itu harus dijaga, dipelihara, disebarkan, diajarkan, diamalkan dan dikembangkan untuk kepentingan dan kemaslahatan penegakan hukum dan keadilan. Sehingga, mau tidak mau setiap aparatur pengadilan agama harus memiliki ghirah atau keinginan untuk menyebarkan ilmu pengetahuan yang ia miliki melalui dakwah dengan lisan, tulisan, maupun tingkah laku kepribadiannya.

Jika belum mampu menduduki derajat ulama sebagaimana dijelaskan di atas, maka aparatur pengadilan agama diharapkan tidak jauh dari para ulama. Dengan kata lain, ia harus senantiasa menjaga konektivitas dengan para ulama dan salafushalihin, apakah secara langsung, maupun melalui karangan dan buah karyanya. Sehingga, tidak berlebihan bahwa syarat untuk dapat menjadi hakim dan pimpinan pengadilan agama itu harus mampu membaca dan mengakses kitab kuning.

Dengan demikian, maka berdasarkan pemaparan tersebut, maka maksud dari kedua yang berbunyi “.... menjadi ulama di mata umat” ialah bahwa setiap aparatur pengadilan agama harus menjadi contoh, uswah, atau pun role model kebaikan, integritas, maupun kedisiplinan bagi orang-orang di sekelilingnya.

 

 

Jakarta,  21  Agustus 2024

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice