logo web

on . Dilihat: 5416

 

Lho, kok Pak Dirjen juga merokok?

*

Dulu saya perokok. Namun sejak lama, saya tidak setuju jika orang sembarangan merokok di mana-mana. Apalagi di dalam ruangan umum yang berAC, atau di toilet yang puntungnya menyebar di sekelilingnya. Ketidak-setujuan saya semakin bertambah ketika beberapa tahun lalu, anti merokok dikampanyekan besar-besaran. Muhammadiyah dan MUI memfatwakan haram merokok, beberapa Pemda mengeluarkan Perda melarang merokok di tempat-tempat umum, pamlet dan selebaran anti merokokpun disebarkan di mana-mana.

Namun demikian, saya tetap menghargai bahwa merokok adalah hak seseorang yang tidak bisa dilarang-larang. Kata orang -dan saya setuju-, di alam merdeka ini, siapa saja bebas untuk melakukan apa saja, termasuk merokok, selama tidak melanggar ketentuan peraturan perundang- undangan, etika dan norma,  serta tidak mengganggu orang lain.

Nah, potongan kalimat yang terakhir itulah, yang harus kita perhatikan berkaitan dengan rokok-merokok ini. Paling tidak, kita sebagai pribadi-pribadi perlu memperhatikannya, jangan sampai kita merokok di tempat umum yang dapat mengganggu kesehatan orang lain. Apalagi kata para ahli, “second smoker” atau “passive smoker” – yaitu orang yang tidak merokok tapi mengisap asap rokok yang sudah diisap orang lain-  akan menderita bahaya merokok lebih besar dari si perokok itu sendiri. Padahal bagi sang pengisapnya saja, merokok itu sudah sangat berbahaya. Apalagi bagi “second smoker” atau “passive smoker”, bahayanya berlipat ganda.

**

Dalam kaitan itu, kita yang diberi kewenangan sebagai pemimpin di kantor, untuk tingkatan-tingkatan tertentu, sebaiknya mengupayakan pula agar memberikan pemahaman secara arif kepada stafnya masing-masing, sehingga lingkungan kantor kita bebas dari asap rokok, terutama di ruang kerja dan ruang pelayanan.

Memang ironis, jika kita kini sedang menggaungkan program peningkatan pelayanan publik di lingkungan peradilan agama, dengan penganugerahan “Information Desk & Public Services Award”, lalu ada pegawai kita yang seenaknya merokok di ruang kerja atau bahkan di ruang pelayanan publik. Kata orang, ini kontraproduktif. Mestinya kita memberi contoh kepada publik bahwa merokok di ruang publik bisa mengganggu kesehatan publik.  Mari, kita mulai dari diri kita sendiri dan kita terapkan di kantor kita sendiri.

Saya pernah datang ke suatu PA secara diam-diam. Lalu saya mendatangi Meja Informasi yang digabung dengan Meja Resepsionis. Eeeh.., petugasnya enak saja memberi informasi kepada saya sambil merokok, mengepul-ngepulkan asapnya di muka ‘pencari keadilan’ tanpa rasa ‘dosa’.  Setelah beberapa pertanyaan standar saya lontarkan dan dijawab alakadarnya, saya tidak kuat menahan diri untuk tidak “nyanyi” (maksudnya, marah atau ngomel, red). Dengan nada sedikit tinggi, saya tanya identitas dia, berapa lama sudah bertugas dan mengapa melaksanakan tugas di Meja Informasi sambil merokok dan sebagainya.

Sedang dalam proses ‘interogasi’ yang belum tuntas tersebut, datanglah  Ketua PA, para hakim dan staf lainnya, yang nampaknya sudah ada yang melaporkan tentang kedatangan saya yang diam-diam itu. Sayapun disambut hangat oleh mereka. Setelah bersalaman dan saling sapa sebagaimana biasanya, langsung saya informasikan tentang “petugas” Meja Informasi tadi, yang kini nampak sudah pergi entah ke mana.  Sekalian saja saya “berceramah” sambil berdiri, tentang pentingnya memberi pelayanan yang baik, termasuk tidak merokok di tempat kerja apalagi di ruang pelayanan publik.  Pak Ketuapun nampak malu, mohon maaf dan menjelaskan bahwa yang memberi informasi kepada saya tadi adalah pegawai baru yang bukan petugas khusus Meja Informasi.

***

Ada lagi pengalaman lucu yang saya temui dalam rangka kampanye tidak merokok di tempat kerja dan pelayanan publik ini. Kali ini di kantor saya sendiri, Badilag, namun di kantor lama, di Pegangsaan Barat, Menteng.

Kerja di kantor lama, di satu sisi, sebetulnya lebih menyenangkan dan menguntungkan dibandingkan dengan di kantor baru yang sekarang ini. Sisi yang saya maksudkan adalah sisi untuk kepentingan komunikasi, interaksi dan koordinasi. Karena di gedung  lama hanya Badilag saja yang menempatinya. Badan Litbang & Pusdiklat pernah sekantor bersama kami, di lantai 4 dan 5, namun hanya sebentar. Akhirnya gedung berlantai 5 itu semuanya dipakai oleh Badilag.

Gedung itu tidak mempunyai mushola, maka kami membuatnya di lantai 3, jadi satu dengan aula dan tempat kerja kawan-kawan dari Direktorat Pembinaan Administrasi. Di mushola inilah kami tiap hari berkumpul untuk shalat Dhuhur dan Ashar. Setiap hari Senin sampai Kamis, kami saling memberikan informasi setelah Dhuhur, semacam ‘kultum’. Khusus Senin, materi yang dibahas adalah yang berkaitan dengan agama, sedangkan hari lainnya masalah kedinasan.

“Hukumonline”, suatu media informasi online yang mengkhususkan pada berita tentang hukum dan peradilan, sering memberitakan tentang peradilan agama dan badilag. Pernah suatu waktu media ini menulis berita dengan judul “Merancang Perubahan dari Pojok Mushalla”.  Senang juga rasanya hati ini, dikaitkannya pembinaan peradilan agama dengan mushola.

Di mushola ini pula, kami membuat kesepakatan-kesepakatan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, demi kepentingan bersama dan kepentingan pelaksanaan tupoksi. Sudah barang tentu, kesepakatan-kesepakatan itu diputuskan setelah dibahas cukup mendalam dan demokratis, dengan alasan yang rasional dan berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Di antara kesepakatan kami sejak awal adalah tidak merokok di ruang kerja, ruang rapat, mushola dan toilet. Bagi yang ingin merokok, disediakan tempat  khusus di basement, dekat tempat parkir, yang di sana ada warung kecil penjual makanan dan minuman.

Semua pejabat dan karyawan disepakati sebagai pelaksana sekaligus pengawas kesepakatan-kesepakatan itu. Saya sendiri sebagai pimpinan kantor, seringkali keliling ruangan-ruangan kantor dan mengawasi secara diam-diam. Kalau kebetulan ‘menangkap basah’ siapa saja yang merokok, saya tidak segan-segan mengingatkannya secara arif. Tapi kalau ada yang ‘bandel’, saya juga tak segan-segan untuk memanggilnya dan memperingatkannya. Sikap dan tindakan itu saya lakukan secara konsisten. Akibatnya, kawan-kawanpun memahami dan mendukungnya.

Suatu ketika, di waktu jam-jam istirahat, saya sengaja datang ke basement, dengan membawa rokok yang sudah dinyalakan, namun saya sembunyikan di kepalan tangan. Di basement banyak karyawan-karyawan, terutama pegawai-pegawai muda yang sedang kongko-kongko sambil merokok, minum dan makan. Begitu saya turun tangga menuju basement, sudah ada yang melihat saya. Diapun berbisik kepada teman-temannya yang sedang merokok. Sayapun sempat mendengarnya,  “… ada Pak Dirjen, ada Pak Dirjen…!”, katanya.

Serempak, semua yang merokok menyembunyikan rokok di kepalannya, dan diam semua, sambil melihat dan menganggukkan kepala kepada saya. Sayapun membalas anggukannya, tersenyum, menyapa basa-basi, dan lalu…mengisap rokok, yang sudah sengaja saya bawa dari atas.  Semuanya  kaget melihat saya mengisap rokok. Lalu, ada yang berani buka suara, “Lha, kok Bapak juga merokok, bukankah Bapak selalu melarangnya?”,  celetuk dia.

Saya hanya tersenyum dan diam sejenak. Lalu saya jelaskan mengapa saya melarang merokok dan mengapa saya datang sambil  merokok.

“Anda kurang faham. Saya tidak pernah melarang merokok. Kitapun tidak pernah membuat kesepakatan untuk melarang merokok.  Yang kita sepakati, adalah kita tidak boleh merokok di ruang kerja, ruang rapat, mushola dan toilet”, kata saya. Merekapun terperangah.

“Merokok di tempat-tempat itu sangat mengganggu orang, sebab asap rokok yang sudah kita isap, lalu diisap lagi oleh orang lain. Itu akan sangat membahayakan orang lain. Jadi, kalau merokok di tempat-tempat yang sudah disediakan, yang jauh dari tempat umum, silahkan saja. Saya juga kadang-kadang merokok”, kata saya lagi.  Mereka hanya tercengang saja.

Alhamdulillah, setelah kesepakatan itu dikomunikasikan secara terus menerus dan dikawal bersama-sama, maka insya Alloh di kantor Badilag, anda tidak akan mendapati kawan-kawan merokok di ruang kerja. Kalau masih ada, itu namanya keterlaluan.

Demikianlah, kalau pesan tidak sampai secara utuh, maka akan menimbulkan misinterpretasi. Akibatnya orang tidak akan faham dan tujuan penyampaian pesan tidak akan terlaksana dengan baik. Tapi, kalau pesan sampai secara utuh, lengkap dan menyeluruh, maka orang akan mudah memahami dan melaksanakan pesan itu.

Itulah sebabnya, reformasi birokrasi dan pembaruan peradilan (RBPP) yang nota bene berisi pesan-pesan baru yang harus difahami secara utuh oleh seluruh warga peradilan, haruslah dilakukan sosialisasi terus menerus, tanpa kenal lelah, dan didukung oleh semua.

Saya yakin, kesadaran dan dukungan dari kita semua akan mempercepat keberhasilan program-program prioritas RBPP, termasuk program yang kini sedang kita galakkan, yaitu peningkatan kualitas pelayanan publik, melalui penganugerahan “Religious Court Information Desk & Public Services Award”. (WW)

 

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice