logo web

Dipublikasikan oleh Iwan Kartiwan pada on . Dilihat: 14302

VIRUS PERUSAK FITRAH

Oleh: Al Fitri, S.Ag., S.H., M.H.I.

(Hakim Pratama Utama Pengadilan Agama Manna)

Muqadimah

Manusia diciptakan Allah Swt. dengan fitrahnya yang bersih (hanif), yaitu berakidah dan bertauhid dalam arti kata manusia awal penciptaannya mengesakan Allah Swt. semata, sebagaimana dalam QS. al A’raaf ayat 172:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (ke-esaan Tuhan)”.

Ketika manusia masih di alam rahim Allah Swt. telah mengambil perjanjian suci atas kesiapan tulusnya menyembah hanya kepada-Nya sebelum lahir ke muka bumi ini, lalu ruh ditanya tentang kesiapan mengakui Allah swt. sebagai Tuhannya dengan semua konsekuensinya, kemudian ruh menjawab bersaksi tiada Tuhan selain Allah. Untuk menjaga komitmen kehambaan yang diikrarkan tersebut maka Allah Swt. memerintahkan manusia setelah lahir sampai akhir hayatnya, agar menghadapkan wajahnya kepada agama yang lurus sebagai fitrah kehambaannya, sebagaimana QS. ar Rum ayat 30:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Kewajiban Mempertahankan Fitrah

Umat Islam telah melewati sebuah masa yang penuh kemuliaan dan keberkahan, suatu waktu dimana banyak sekali mereka melakukan ketaatan, menyibukkan dan mengisinya dengan amal peribadatan. Masa itu dinamakan bulan Ramadhan penuh keberkahan (syahrun barakah), hari-harinya penuh kemuliaan, dan malam-malamnya bertebar keutamaan (fadhilah). Orang-orang beriman bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan berlomba-lomba menuju pintu-pintu kebaikan. Sesungguhnya seorang mukmin merasa senang melihat orang-orang melaksanakan ketaatan dan berlomba-lomba dalam beribadah, dan menegakkan amal kebajikan di bulan yang agung tersebut.

Menggapai niai fitrah bukan suatu yang mudah, tetapi merupakan perjuangan panjang sekurang-kurangnya berjumlah 29 atau 30 hari selama Ramadhan. Usaha menggapai kefitrahan ini dilalui dengan berbagai macam latihan (tadribat) melalui amalan ibadah wajib dan sunnah lainnya. Setelah memperoleh kefitrahan itu, menjaga fitrah itu akan terus bertahan (survive) dan kontinyu tidak kalah pentingnya. Agak ironis dan miris jika seseorang rajin shalat jama’ah, tadarus Qur’an dan berzikir selama bulan Ramadhan, namun pasca Ramadhan menjadi malas, jarang ke mesjid, tidak lagi memegang Qur’an, bibirnya kering dari menyebut asma Allah, tanganya pelit mengulurkan infaq. Dengan demikian latihan selama bulan Ramadhan yang ditempa dan digembleng tidak memberikan dampak positif dan signifikan dalam kehidupan sehari-harinya.

Madrasah Ramadhan telah berlalu, hakikatnya sebagai traning centre untuk mendidik umat selama sebulan dengan berbagai kegiatan ibadah agar menjadi bekal dalam menjalani hidup sebelas bulan berikutnya atau hingga sampai Ramadhan yang akan datang. Bukankah yang keluar dari madrasah Ramadhan itu adalah mereka yang dibersihkan dari segala debu-debu dosa terdahulu kemudian memperoleh kemenangan hakiki. Tentu kefitrahan diri dan peleburan dosa itu akan diraih dengan satu catatan jika benar-benar mengoptimalkan diri dalam beribadah selama sebulan dengan penuh harap akan ampunan Allah Swt. Banyak hal-hal positif yang dapat dilakukan agar kefitrahan yang telah diraihi saat tanggal 1 Syawal (Idul Fitri) menjadi sempurna adanya. Caranya setiap pribadi harus selalau berupaya untuk meneruskan semua perilaku shalih selamai bulan Ramadhan yang telah berlalu, amaliah sunnah yang biasa dikerjakan karena pahala berlipat-ganda di bulan Ramadan  haruslah dapat dipertahankan mulai dari bulan Syawal hingga berjumpa kembali dengan Ramadhan akan datang.

Menjaga kefitrahan dengan cara menanamkan adanya rasa kawatir dan takut kembali kepada jurang debu-debu dosa (baik kecil, besar, tersembunyi atau pun terang-terangan) dan sekaligus berusaha menjauhi diri dari perbuatan maksiat, dan perbuatan sia-sia pasca Ramadhan. Kewajiban puasa telah memberi garansi taqwa bagi orang beriman yang memenuhi perintah kewajiban puasa. Jaga dengan erat amanah kefitrahan sebaik-baiknya dengan harapan akan lahir insan yang bertaqwa dapat terwujud secara kaffah di muka bumi ini dan diharapkan akan menjadi bagian dari penyelesaian ragam persoalan umat (problem solving) yang kian hari semakin kompleks.

Waspada Virus Perusak Kefitrahan

Meskipun manusia saat dilahirkan membawa keadaan fitrah yang hanif, tapi bagaiamana pun akhir perjalanan hidupnya tidak ada yang bisa menaksir dan mengetahuinya. Berbagai faktor dan rintangan dalam perjalanan hidupnya tentu bisa menjadi penyebab seorang keluar dari fitrahnya. Perubahan bisa saja terjadi secara berlahan-lahan dan bisa juga cepat.

Oleh karena itu setiap orang telah diberi fitrah oleh Yang Maha Pencipta berupa kefitrahan hanif (jiwa yang lurus). Setiap manusia mengawali kehidupannya dengan modal fitrah hanif ini, setelah itu bisa saja akan terjadi perubahan yang sangat cepat dan drastis tanpa bisa diduga kemana tujuan arahnya. Ingat dan waspada para penyeru dan penyebar virus untuk merusak fitrah ini jumlahnya sangat banyak dan bertebaran sehingga jangan heran bila orang yang keluar dari jalur kefitrahan jiwa ini lebih banyak daripada yang istiqamah. Dalam konteks ini berbagai kisah-kisah sebelum dan saat nenek moyang manusia Adam as diturunkan ke muka bumi ini cukup menjadi pelajaran betapa makhluk Tuhan saat penciptaannya berada dalam bingkai fitrah pada akhirnya tergelincir dari fitrah yang hanif bahkan menjadi durhaka dan mendapat laknat Allah Swt.

Tergelincirnya seseorang dari fitrahnya yang hanif, di antaranya disebabkan faktor pendidikan. Tingkat pendidikan rendah dan lemah, maka akidahnya mudah goyah dan mempunyai pola fikir menerima apa adanya. Karena itu, pendidikan akidah harus diajarkan sedini mungkin. Oleh karena itu pendidikan akidah sudah dimulai pra menikah, ditanamkan pada anak saat masih dalam kandungan, saat dilahirkan dan sesudah dilahirkan, maupun selama masa pertumbuhannya. Demikian juga terkadang juga disebabkan oleh faktor ekonomi saat mapan ataupun lemahnya ekonomi sehingga bisa membuat keluar dari fitrahnya yang hanif, orang bisa menjadi goyah dan mengambil jalan pintas, akibat kemiskinan membuat orang berpindah keyakinan dan ketika kaya pun akan lupa diri.

Waspada Terhadap Virus Perusak Fitrah

Agar kefitrahan terus terpelihara, ada empat hal yang perlu diperhatikan dengan serius, dari keempat hal itu ada yang perlu dijauhi, namun perlu juga diarahkan secara proporsional. Dari keempat hal itu jika tidak dapat dijauhi tapi justeru terperdaya dan terpesona maka virus telah mengerongoti sehingga merusak fitrah yang hanif, keempat virus itu, ialah:

  1. 1.Sifat kesombongan atau arogansi

Sifat sombong atau arogansi merupakan kagum terhadap diri sendiri dan merasa lebih tinggi daripada yang lain. Nabi Saw. mengingatkan agar hati-hati terhadap sifat sombong:

مَنْ كاَنَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ كِبْرٍ ٬ كَبَّهُ اﷲُ لِوَجْهِهِ فِي النَّارِ

"Barang siapa ada dalam hatinya seberat biji sawi ada kesombongan (sikap arogan), Allah akan menelungkupkan wajahnya dalam neraka." (HR. Ahmad). 

Arogan merupakan sikap angkuh dan sombong yang ditunjukkan seseorang yang merasa dirinya yang paling; hebat, pintar, berkuasa, berperan jika dibandingkan dengan orang lain. Penyakit mental ini biasanya menjangkiti seseorang yang sedang berada dalam posisi puncak, dan karirnya menanjak atau bisnisnya berkembang pesat.

Kesombongan bisa berarti kecongkakan, kesombongan, keangkuhan, dimana sifat sombong bisa hinggap pada siapa saja tanpa pandang strata sosial. Pejabat dihinggapi sifat sombong karena kekuasaan yang dimilikinya. Orang kaya harta bersifat sombong karena dengan kekayaan yang dimiliki yakin dapat membeli apapun juga. Orang berwajah ganteng atau cantik, bisa sombong karena wajahnya. Bahkan sifat sombong itu juga melekat pada orang miskin, dan pada rakyat jelata. Oleh karenanya sikap arogansi bisa terjangkit pada siapa saja dan dalam jabatan saja. Oleh karenanya kriteria yang sombong dilihat dari aspek ketika ia menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.

Sikap kesombonganlah yang mengikis habis kefitrahan fitrah Iblis dan menggelincirkannya ke lembah kekafiran dan kesesatan sampai akhir zaman, padahal menurut riwayat sebelum Nabi Adam as. diciptakan Iblis sudah terlebih dahulu mengabdikan dirinya untuk menyembah Allah Swt. dengan ketaatannya kurun waktu 6000 tahun lamanya. Kisah tergelincirnya Iblis diabadikan oleh Allah Swt. dalam Al Quran, di antaranya QS. al A’raf ayat 12-13:

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ (١٢)قَالَ فَاهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَنْ تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَاخْرُجْ إِنَّكَ مِنَ الصَّاغِرِينَ (١٣)

  1. 2.Limpahan harta kekayaan
  2. 3.Kekuasaan dan Jabatan
  3. 4.Tradisi Nenek Moyang

Namun tidak sedikit manusia mengikuti jejak Iblis. Merasa apa yang dimilikinya merupakan hasil jerih payah sendiri dan tidak ada sangkut-paut dengan Sang Maha Pencipta, mereka telah lupa bahwa ketika dilahirkan tidak lebih daripada makhluk lemah dan takberdaya atau tidak membawa apa-apa. Mereka menjadi bertenaga karena Allah yang menguatkan fisiknya, kaya arena Allah memberinya rezki, berilmu karena Allah telah mengkaruniai ilmu pengetahuan. Jadi atas dasar apa manusia harus sombong. Bukakan kah saat lahir tidak punya apa-apa dan saat meninggalkan dunia tidak membawa apa-apa kecuali hanya amal perbuatan.

Jika ingin meraihi kesuksesan dan mempertahankan, hindari sikap sombong dan arogan. Sebab salah satu hal yang dapat menjadikan fitrah manusia rusak adalah rasa bangga atau ta’jub pada diri sendiri, kalau sudah merasa bangga terhadap diri sendiri maka akan merasa cukup dengan itu, akhirnya akan menghantarkan pada sikap sombong atau arogan.

Menjadi sunnatullah semua orang senang dengan harta kekayaan, tak terkecuali siapa pun dia manusianya. Allah Swt. menghadirkan rasa senang pada diri manusia terhadap harta benda, dalam semua bentuknya. Harta yang ada di tangan manusia, statusnya hanya titipan dari Allah sebagai perhiasan hidup dunia, dan sekaligus juga sebagai ujian keimanan, serta bekal untuk beribadah, dan kenikmatan yang harus disyukuri.

Harta merupakan perhiasan hidup di dunia, setiap perhiasan akan membuat seseorang yang memakainya akan kelihatan lebih; indah, menawan, rapi, elok, cantik atau ganteng. Namun demikian harus dipahami yang namanya perhiasan akan terlihat indah tatkala dikenakan atau dipakai secara seimbang dan proporsional, sesuai kewajaran, kepatutan dan kebutuhan. Jika sudah berlebihan eksistensi keindahan itu akan menjadi hilang. Boleh saja bersenang- senang dan berhias dengan harta bendanya di dunia, tapi tidak boleh berlebihan, dan membuatnya lalai dari mengingat pemilik harta yang sesungguhnya.

Salah satu faktor utama membawa dan menghantarkan manusia tergelincir dari kefitrahannya hingga ke lembah kehancuran adalah harta kekayaan, sebab untuk urusan harta benda mayoritas manusia akan menunjukkan watak asli yaitu serakah dan tidak pernah merasa puas, berapapun harta yang telah dimiliki dan didapati, keserakahan manusia baru bisa dihentikan hanya melalui pintu kematian.

Tidak sedikit manusia yang begitu dekat dengan Allah Swt. ketika diuji dengan kemiskinan, ibadahnya tekun, kepada sesama ia santun, kepada orang menderita ia sangat peduli sosial. Namun ketika rezekinya melimpah-ruah, ia pun langsung berubah. Ujian kekayaan membuatnya lupa diri dan jauh dari Allah. Pada saat yang sama, sifat kikir dan tidak peduli dengan nasib orang yang menderita pun melekat pada dirinya, disusul dengan munculnya sifat tamak dalam jiwanya. Ia tidak hanya kikir, tetapi juga serakah.

Quran mengabadikan kisah sosok milyarder serakah dengan segala kekikirannya untuk dijadikan pelajaran dan peringatan yaitu Qarun. Qarun adalah seorang yang berilmu dan mempunyai harta benda yang tak terhingga banyaknya. Allah mengaruniai Qarun harta yang sangat banyak dan perbendaharaan yang melimpah ruah, yang banyak memenuhi lemari simpanan. Harta kekayaan dan lemari-lemarinya sangat berat untuk diangkat, karena banyaknya isi kekayaannya. Kekayaan itu bukannya disyukuri, tetapi malah membuatnya sombong jauh dari kefitrahan yang hanif. Pada akhirnya dia hancur lebur beserta apa yang dimilikinya, karena mengingkari agama Allah Swt. Semua kekayaan beserta keserakahan dan ketamakannya, akhirnya lenyap ditelan bumi. Kisahnya diabadikan dalam QS. al Qashash ayat 76 -84.

Ironisnya dari waktu ke waktu selalu saja muncul para penerus generasi seperti Qarun. Mereka tampil sebagai kaum hartawan yang gemar bermewah-mewah berpesta-pora di tengah mayoritas rakyat miskin dan melarat.Banyak manusia oleh karena harta, dimana si miskin mengadaikan aqidahnya, demi harta orang nekat merampas, merampok, korupsi, membegal, dan membunuh. Demi harta kekayaan banyak pejabat dan mantan pejabat di negeri harus menghabiskan umurnya di dalam teruji besi.

Kekuasaan dan jabatan hakikatnya bukanlah kehormatan melainkan hanya tanggung jawab (mas’uliyah) dan mandat yang berarti butuh pengorbanan bukan karena aji mumpung. Jabatan meruapakan amanah yang akan dipertanggungjawabkan di mahkamah Allah Rabbul Jalal kelak di akhirat, dan di dunia dipertanggungjawabkan secara konstitusi dan hadapan rakyat.

Tidak bisa dipungkiri kekuasaan dan jabatan selalu menjadi daya tarik dan incaran setiap orang sepanjang masa sejarah umat manusia tidak ubahnya seperti semut dan gula. Entah sudah berapa episode sejarah yang meninggalkan tragedi disebabkan ambisi jabatan dan kekuasaan. Semua terekam dalam sejarah, mulai dari masayarakat purbakala sampai masyarakat di era sistem politik modern dan demokratis, orang-orang selalu menginginkannya. Hal ini disebabkan dalam pandangan mereka tentang jabatan dianggap sesuatu yang prestisius dan bisa merubah keadaan diri dan golongannya.

Quran telah mengabadikan ambisi jabatan telah mentenggelamkan Fir’aun bersama dengan sifat kesombongannya yang pada puncak kekuasaannya memproklamirkan dirinya sebagai Tuhan sebagaimana dikisahkan QS. an Naziyat ayat 24 dan QS. Yunus ayat 90-91.

Jika kita bertanya kepada mereka untuk apa berambisi meraihi kekuasaan dan jabatan, mereka pasti menjawab untuk kebahagiaan dan ingin membawa rakyat ke arah yang lebih sejahtera. Dengan menduduki jabatan tersebut mereka eksis dan bisa menunjukkan aktualisasi dirinya. Namun apapun alasannya terkadang kekuasaan apabila jatuh ke tangan orang yang tidak amanah, bagi mereka kekuasaan semata-mata sebagai alat untuk menguasai orang lain dan menumpuk pundi-pundi harta kekayaan.

Pada dasarnya, dalam pandangan Islam kekuasaan adalah fitrah. Kekuasaan adalah hak dan merupakan salah satu di antara janji Allah Swt. kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh sebagaimana yang dijanjikan-Nya dalam QS. al Fath ayat 29:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”.

Banyak di antara kita yang tetap setia mempertahankan tradisi nenek moyang karena berdalih bahwa itu adalah adat semata, kalau masalah adat apa pun boleh dilakukan sepanjang tidak ada dalil syariat yang melarangnya, dan memang tidak semua tradisi nenek moyang dilarang oleh Allah Swt.

Tradisi yang mengadung kesyirikan merupakan virus yang akan merusak kefitrahan yang hanif sebagai contoh bentuk penghormatan kepada seseorang atau sesuatu benda yang diyakini akan bisa mendatangkan manfaat dan mudharat. Banyak orang mengikuti tradisi nenek moyang karena berpendapat tradisi itu dibenarkan dalam Islam atau bahkan menganggapnya sebagai bagian dari ajaran Islam padahal akan merusak fitrah manusia yang hanif.

Banyaknya yang melakukan amalan tradisi tersebut, padahal Allah Swt. telah mengingatkan dalam Quran surat Al Baqarah ayat 170:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلا يَهْتَدُونَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".

Kesimpulan

Wajib bagi kita untuk menjaga kefitrahan yang hanif yang telah kita rajut selama bulan Ramadan melalui upaya keras meningkatkan kualitas pola hubungan kita dengan Allah Swt. dan sesama manusia, dengan cara berjanji kepada diri sendiri untuk terus melestarikan apa yang kita lakukan dan capai dalam Ramadhan sebelas bulan berikutnya.

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice