Memahami Hakikat Berqurban
Oleh : Drs. Kholis, M.H.
(HakimTinggi Pengadilan Tinggi Agama Palu)
Beberapa hari lagi kita akan memperingati sekaligus melaksanakan hari raya umat Islam yakni melaksanakan sholat idul Adha secara berjamaah dan menyembelih binatang qurban, yang kesemuanya ini merupakan serangkaian ibadah sebagai bukti pengabdian kita yang sangat tulus kepada Allah Robbul Alamin.
Di dalam momentum Idul Adha tersebut, setidaknya ada tiga tokoh yang terlibat langsung, yakni Nabi Ibrahim AS ( sebagai ayah ), Siti Hajar ( sebagai ibu ) dan Ismail sendiri sebagai seorang anak.
Sudah menjadi pendapat umum bahwa anak adalah harapan yang kehadirannya sangat dinantikan oleh sepasang suami isteri tak terkecuali pasangan Nabi Ibrahim AS dan Isterinya Siti Hajar.
Perlu kita ingat, bahwa perkawinan Nabi Ibrahim AS dan Isterinya Siti Hajar yang telah dijalaninya berpuluh tahun tanpa menghasilkan seorang keturunanpun, namun tidak mengubah keinginan dan tekad Nabi Ibrahim dan Siti Hajar untuk mendapatkan anak, upaya tersebut terus dilakukannya hingga pada akhirnya dalam usianya yang sudah cukup renta pasangan Nabi Ibrahim dan Siti Hajar dikaruniai seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Ismail.
Nabi Ibrahim dan Siti Hajar adalah manusia biasa yang tentu saja tidak terlepas dari sifat kemanusiannya. Sebagaimana kita tahu melalui sejarah bahwa keduanya sangat mencintai putra tunggal kesayangannya waktu itu, maka tidak heran ketika kemudian datang perintah Allah untuk menyembelih anaknya membuat hati pasangan Ibrahim dan Siti Hajar menjadi terkejut dan bahkan pada awalnya mereka ragu atas perintah tersebut. Diulanginya kembali perintah Allah itu melalui mimpinya pada malam berikutnya dengan muatan perintah yang sama yakni agar Nabi Ibrahim rela melepas putra tunggal yang sangat disayanginya, dengan jalan memutus saluran nafasnya alias disembelih.
Berangkat dari dua muatan mimpinya itu kemudian Ibrahim bermusyawarah dengan anaknya Ismail. Kisah ini sebagaimana dimuat dalam QS. Ashofat (37):102
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ
Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka fikirkanlah apa pendapatmu.
Kemudian Ismail memberikan jawaban:
قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
Wahai bapakku, lakukanlah apa yang diperintahkan tuhanmu kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatimu termasuk orang-orang yang tabah.
Peristiwa tersebut dapat difahami betapa tulus dan ikhlasnya Nabi Ibrahim dan Siti Hajar sebagai orang tua yang telah dengan ikhlas melaksanakan ujian Allah SWT walapun harus menyembelih sibuah hati kesayangannya. Padahal kelahiran Ismail sudah sejak lama diidam-idamkannya. Begitu juga Ismail sebagai sosok remaja yang pantang menyerah untuk berbakti kepada orang tua dan apalagi berbakti kepada Allah SWT sekalipun nyawa sebagai taruhannya.
Peristiwa tersebut sesungguhnya telah memberikan pengajaran kepada kita yakni semangat berkurban yang sangat tinggi nilanya yang seharusnya kita teladani dalam menjalani kehidupan yang semakin mengglobal seperti sekarang ini. Jadi momentum Idul Adha bukan sekedar kita lalui dan jalani secara serimonial semata, melainkan harus kita renungkan kemudian diresapi hakikat dari sebuah peristiwa tersebut.
Semangat berkurban merupakan salah satu muatan yang paling menonjol dalam peristiwa Idul Kurban, dimana digambarkan seorang bapak harus rela anaknya mati ditangannya sendiri. Kemudian satu lagi pengorbanan yang ditunjukkan oleh Ismail anaknya walau harus nyawa sebagai taruhannya. Semua ini ia jalani sebagai wujud sebuah pengorbanan demi membuktikan ketaatannya kepada Allah SWT. Hanya karena Allah jualah Ismail rela berkurban walau harus dengan nyawa sekalipun. Kemudian Nabi Ibrahim rela berkurban walau harus melepas sesuatu atau bahkan seorang anak yang sangat dicintainya.
Dari sini mari kita pertanyakan tingkat pengorbanan kita masing-masing, sejauh mana kita telah berkurban dan dengan apa kita telah berkurban di jalan Allah SWT.
Hanya pribadi kita masing-masing yang mampu menjawabnya. Yang jelas didalam dinamika hidup dan romantika hidup ini tidak akan lepas dari nilai-nilai sebuah pengorbanan, dan mari kita berkurban untuk kebenaran agama Allah seperti pengorbanan yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim, Siti Hajar dan Ismail.
Betapa banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada kita, yang Allah sendiri telah menegaskan, bahwa saking banyaknya nikmat yang diberikan kepada manusia ini, manusia tidak akan mungkin mampu menghitungnya.
وَاٰتٰىكُمْ مِّنْ كُلِّ مَا سَاَلْتُمُوْهُۗ وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَاۗ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَظَلُوْمٌ كَفَّارٌ ࣖ
Dia telah menganugerahkan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar sangat zalim lagi sangat kufur.
Oleh karenanya melalui QS. Al-Kautsar (108): 1-2 Allah mengingatkan
اِنَّآ اَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَۗ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ ࣖ
Kata Allah: sesungguhnya kami telah memberikan kapadamu nikmat yang banyak, maka dari itu dirikanlah sholat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.
Wajar jika Allah yang telah begitu banyak memberikan nikmat memerintahkan agar manusia dengan nikmatnya itu mau melaksanakan sholat dan berkurban. Ini semua pada hakikatnya adalah ujian. Apakah dengan nikmat itu manusia tetap ingat kepada Allah yang telah memberinya nikmat, atau sebaliknya manusia akan ingkar karena nikmat itu.
Ketika setiap bulan bahkan setiap hari kita mendapatkan rizki, ketika setiap saat kita mampu memenuhi kebahagiaan hidupnya, ketika kita memiliki perhiasan dan perlengkapan hidup lainnya yang notabene kesemuanya itu adalah nikmat / rizki sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan kita di dunia ini. Akan tetapi pada kenyataannya banyak di antara manusia yang tidak mau berkurban.
Bagi seorang pegawai yang telah pasti mendapatkan gaji, terkadang mereka tidak mau berkurban untuk menolak penghasilan selain gaji yang tidak jelas statusnya. Bagi seorang pedagang yang meskipun maju dan laris, akan tetapi tidak mau berkurban untuk tidak menjual barang haram yang dilarang oleh agama dst. Kemudian dihadapan kita akan senantiasa bertumpuk pekerjaan dan kesibukan, mulai mengurus diri kita sampai mengurus tanggungjawab orang lain. Sementara dalam setiap diri seorang muslim menempel dalam dirinya perintah atau kewajiban untuk mengingat Allah, misalnya saja sholat lima waktu sehari semalam. Akan tetapi kabanyakan manusia tidak mau berkurban menyisihkan sedikit waktu untuk sholat dan melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya.
Tegasnya bahwa semua pranata hidup ini tidak akan terlepas dari sebuah pengorbanan. Akan tetapi kurban dalam kaitan ini adalah berkurban menurut kacamata agama yakni sebagai rasa syukur kepada Allah atas segala nikmatnya yang wujudnya ialah bersikap untuk memilih dan melaksanakan apa yang diperintah oleh Allah dan bersikap untuk menolak apa yang telah dilarangNya.
Kalau Nabi Ibrahim dan Siti Hajar sebagai orang tua telah rela berkurban melepas anak kesayangannya yang merupakan sibuah hati yang kehadirannya sangat didambakan. Kemudian Ismail telah rela berkurban sekalipun harus mati di tangan orang tua yang sangat dicintainya, maka kita juga seharusnya rela berkurban menyisihkan rizki untuk menyembelih binatang kurban, berinfak dan bersedekah, kita juga harus rela berkurban menyisihkan sedikit waktu untuk sholat lima waktu dan kita juga harus berkurban menyisihkan waktu untuk berjuang membela Agama Allah SWT.
Semoga uraian singkat ini bermanfaat.