logo web

Dipublikasikan oleh MSy Sigli pada on . Dilihat: 766

 

  

 Oleh : FAISAL REZA, S.H.I

(Panitera Muda Jinayat MS Sigli I.B)

 

Akhir – akhir ini Mahkamah Agung Republik Indonesia melakukan terobosan baru dalam penanganan perkara tindak pidana dengan mengeluarkan salah satu kebijakannya berupa Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 tahun 2024 tentang pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif. Belied ini di terbitkan sebagai respon Mahkamah Agung terhadap sistem pemidanaan di Indonesia tidak hanya bertumpu pada pemidanaan terhadap pelaku kejahatan (Terdakwa) melainkan mengarah pada pencapaian keadilan kepada perbaikan dan kepentingan pemulihan korban serta pertanggung jawaban Terdakwa dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif atau Restorative Justice (RJ).

Sistem Hukum Pidana Indonesia dalam perkembangannya saat ini mengalami pembaruan. Praktek hukum pidana yang semula fokus menekankan keadilan kepada pembalasan (keadilan retributif) yang tertuju pada efek jera agar pelaku berubah, kini mengarah kepada keadilan restoratif yaitu penyelesaian dengan pendekatan yang fokus kepada keadilan yang seimbang bagi pelaku tindak pidana dan korban itu sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan perundingan dengan melibatkan pelaku, korban dan pihak terkait (masyarakat terdampak) yang dibantu oleh seorang mediator/fasilitator untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dan seimbang dengan menekankan kepada pemulihan dan bukan pembalasan. Bentuk penyelesaian ini berorientasi padakepentingan pemulihan hak-hak korban, rasa tanggung jawab Terdakwa untuk memulihkan kondisi korban dan pemulihan hubungan semula antara korban dengan Terdakwa serta masyarakat yang rusak akibat kriminal/tindak pidana. Perbaikan dan perdamaian lebih didahulukan dibandingkan dengan hukuman semata.

Restorative Justice awalnya sudah diatur penerapannya dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Pasal 5 menyebutkan bahwa dalam peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan Restorative Justice. Wujud Restorative Justice tersebut salah satunya adalah Diversi. UU SPPA di respon Mahkamah Agung dengan sangat progresif melalui kebijakannya dengan menerbitkan Perma Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi yang menjadi pedoman bagi para hakim dalam menyelesaikan perkara pidana anak. Sistem Peradilan Pidana (SPP) orang dewasa pun mengalami perubahan setelah dikembangkan Restorative Justice sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana akan tetapi sampai saat ini belum ada regulasi yang ditetapkan oleh Pemerintah, namun dalam perkembangannya pengaturan Restorative Justice menjadi kebijakan oleh masing-masing institusi penegak hukum dan yang terbaru adalahPerma Nomor 1 tahun 2024 yang menjadi pegangan kepada hakim (Pengadilan Negeri, Mahkamah Syar’iyah, dan Pengadilan Militer) untuk menerapkan mekanisme baru dalam penanganan dan penyelesaian perkara pidana sebelum hukuman pidana itu dijatuhkan.

Sampai saat ini Mahkamah Agung melakukan sosialisasi Perma Nomor 1 tahun 2024 dengan mengadakan berbagai kegiatan Bimbingan Teknis Terpadu (melibatkan Akademisi, Jaksa, dan Kepolisian) kepada para Hakim di lingkungan peradilan Umum dan Hakim di lingkungan Mahkamah Syar’iyah dalam rangka untuk menyamakan persepsi dalam menyelesaikan perkara pidana dalam perspektif Restorative Justice. Para hakim Mahkamah Syar’iyah di Aceh telah mendapat sosialisasi tersebut pada tanggal 10-11 Juli 2024.

Pendekatan RJ dalam perspektif Perma 1 Tahun 2024

Untuk mengadili perkara pidana berdasarkan RJ, Hakim harus mengetahui salah satu syarat yang memenuhi sebagaimana di atur dalam Pasal 6 ayat (1); (a) tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan atau kerugian Korban bernilai tidak lebih dari Rp2.500.000,00 atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat; (b) Tindak pidana merupakan delik aduan; (c) ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dalam salah satu dakwaan; (d) tindak pidana dengan pelaku anak yang diversinya tidak berhasil; atau (e) tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan. Disamping persyaratan tersebut, Pasal 6 ayat (2) turut mengatur dalam keadaan tertentu hakim tidak berwenang untuk menerapkan pedoman keadilan restoratif apabila : (i) korban atau terdakwa menolak perdamaian; (ii) terdapat relasi kuasa; (iii) pengulangan tindak pidana sejenis kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak Terdakwa selesai menjalani putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan kata lain, apabila hakim dalam memeriksa perkara menemukan satu dari ketiga ketentuan tersebut, maka mengadili dengan pendekatan restoratif tidak dapat diterapkan;

Pada persidangan pertama dilaksanakan, Hakim dapat secara langsung bisa mengalihkan pemeriksaan ke mekanisme keadilan restoratif apabila terdakwa membenarkan dakwaan penuntut umum, tidak mengajukan nota keberatan, dan membenarkan seluruh perbuatan yang didakwakan kepadanya. Selain dari pada itu, hakim juga berwenang memeriksa kesepakatan yang telah dibuat antara terdakwa dengan korban apabila perdamaian tersebut sudah tercapai sebelum persidangan dimulai. Dalam persidangan, Hakim juga bisa mengupayakan kesepakatan baru yang disanggupi oleh korban dan Terdakwa jika dalam hal terdakwa tidak sanggup melaksanakan kesepakatan yang telah dibuat dan korban bersedia membuat kesepakatan baru dengan terdakwa yang ketentuannya pada pasal 12. Bahkan bila korban belum pernah melakukan perdamaian dengan Terdakwa, Hakim mengajurkan kepada Terdakwa dan korban untuk membuat kesepakatan damai (Pasal 15 ayat (1). Pemeriksaan ini menunjukkan adanya ruang dialog dan musyawarah antar pihak untuk bermufakat mencapai kesepakatan dalam menyelesaiakan perkara tindak pidana.

Dalam Pasal 13 menyatakan Hakim memastikan perdamaian yang dibuat itu dicapai tanpa adanya kesesatan, paksaan, atau penipuan dari salah satu pihak. Terhadap delik aduan, penarikan pengaduan dirumuskan dalam perjanjian perdamaian secara hukum telah dianggap terlaksana saat perjanjian tersebut ditandatangani di depan Hakim sehingga atas tersebut, memiliki konsekuensi dan dampak hakim dapat menyatakan penuntutan gugur atau tidak dapat diterima. Kesepakatan perdamaian antara korban dengan terdakwa, atau kesediaan terdakwa bertanggung jawab atas kerugian yang diderita korban, dapat dijadikan alasan untuk meringankan hukuman atau menjadi pertimbangan untuk menjadikan pidana bersyarat atau pengawasan sesuai peraturan perundang-undangan.

Jalan keluar yang tepat

Penyelesaian perkara dengan menggunakan pendekatan Restorative Justice tidak saja menjadi terobosan berani, tapi menjadi sebuah jalan keluar yang bijak dan tepat dalam memberikan rasa keadilan pada terdakwa, korban dan pihak lainnya. Dengan Perma Nomor 1 Tahun 2024, penerapan asas Ultimum Remedium (hukum pidana sebagai upaya terakhir) dalam praktik pemidanaan menjadi pilihan terakhir setelah mekanisme upaya lainnya untuk penyelesaian telah dicoba dan terbukti tidak efektif. Hukuman pemenjaraan tidak didahulukan, tapi upaya musyawarah dengan asas mufakat melalui mediasi penal antar pihak untuk mencari solusi yang adil dan seimbang menjadi pilihan yang tepat.

Disamping itu, RJ bisa menjadi solusi yang tepat juga terhadap betapa padatnya kapasitas warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan akibat dampat dari sistem pemidanaan yang berorientasi pada pemenjaraan. Kondisi tersebut tentunya membuat negara harus mengeluarkan anggaran yang banyak untuk membiayai kehidupan para narapidana, di tambah lagi Over capacity rutan dan lapas malah berimbas pada banyaknya tindak kriminal yang terjadi di dalam lingkungan rutan dan lapas. Pengawasan yang lemah tidak berimbang dengan masiv-nya jumlah tahanan narapidana.

 

Sejatinya, prinsip penerapan Restorative Justice merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana dengan bertujuan menyelesaikan hukum dalam menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana. Tak hanya itu, tujuan Restorative Justicepula mendapatkan putusan hukum yang adil dan seimbang bagi korban maupun pelaku. Namun prinsip utama dalam penerapan keadilan restoratif, berupa penegakan hukum yang kerap mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula serta mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.Sebagaimana tujuan pemidanaan dalam pasal 51 UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KHUP yang salah satunya adalah menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat.

 

 

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice