Pembagian Harta Bersama
Oleh: Ang Rijal Amin (CPNS Pengadilan Agama Pinrang Kelas 1A)
Untuk versi PDF Klik Disini
Umum dipahami bahwa perkara harta bersama ditujukan untuk membuktikan bahwa sejumlah harta benda yang digugat benar-benar berstatus sebagai harta bersama, sehingga pembagiannya dapat dikenai porsi masing-masing setengah bagian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pembuktian atas status harta demikian merupakan konsekwensi yuridis dari Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan bahwa, “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.”
Lebih lanjut, harta bersama dalam pembagiannya mesti dipisahkan dari harta bawaan yang diperoleh suami-istri sebelum perkawinan berlangsung dan harta yang diperoleh suami-istri sebagai hadiah atau warisan. Sebab, harta bawaan dan harta benda yang diperoleh melalui hadiah atau warisan merupakan harta yang berada di bawah penguasaan masing-masing pihak dan bukan merupakan objek harta bersama sepanjang para pihak tidak menentukan lain sebagaimana diatur Pasal 87 ayat (1) KHI.
Artinya, tidak menjadi soal apakah harta benda yang diperoleh suami-istri dalam perkawinan berasal dari upah suami atau istri, terdaftar atas nama suami atau istri, diperoleh dari keuntungan yang dikembangkan dari harta bawaan milik suami atau istri.[1] Selama harta tersebut tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan, maka statusnya tetap menjadi harta bersama yang akan dibagi dua sama besar ketika pasangan suami-istri bercerai.
Pada dasarnya, harta bersama muncul bersamaan atau akibat dari adanya perikatan berupa perkawinan. Bercampurnya harta benda dalam perkawinan merupakan konsekwensi dari perikatan yang secara bersamaan juga menimbulkan akibat hukum berupa kewajiban-kewajiban tertentu yang mesti dipenuhi oleh pihak yang mengikatkan diri.[2]
Dalam KHI, bab yang mengatur harta kekayaan dalam perkawinan diletakkan setelah hak dan kewajiban suami-istri. Hal demikian mengindikasikan hubungan erat antara keduanya. Pembacaan terhadap pengaturan harta bersama, dengan begitu, tidak dapat dilepaskan sepenuhnya dari pengaturan mengenai kewajiban suami-istri dalam perkawinan. Maka dapat dipahami tatkala fakta hukum tertentu lantas memicu suatu pertanyaan hukum, apakah kelalaian menjalankan kewajiban suami-istri memengaruhi porsi harta bersama?
Contra Legem
Dalam rumah tangga, dikotomi kerja pada sektor domestik dan publik seringkali tak dapat dipertahankan. Perkembangan masyarakat industrial turut mendorong rapuhnya dikotomi antara gagasan pengasuhan anak dan pencari nafkah. Juga keterdesakan ekonomi, seringkali membatasi pilihan suami-istri untuk tidak melibatkan diri dalam kerja produksi.
KHI, membebankan tanggung jawab domestik kepada istri.[3] Sementara suami menanggung nafkah beserta biaya rumah tangga, termasuk biaya pendidikan anak.[4] Pengaturan demikian, menandai adanya pengakuan bahwa kontribusi pada sektor domestik sama berharganya dengan sektor publik. Implikasi dari kewajiban berimbang yang dibebankan kepada pasangan suami-istri demikian memengaruhi besaran pembagian harta bersama tatkala keduanya berpisah.
“Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.” Demikian bunyi Pasal 97 KHI. Memang, tidak terdapat pengaturan secara eksplisit yang menerangkan kualitas peran suami dan istri berpengaruh terhadap pembagian harta bersama.
Akan tetapi, pemaknaan atasnya dapat ditemui dalam beberapa putusan yang turut mempertimbangkan faktor pemenuhan kewajiban suami dan istri terhadap penerapan pasal a quo. Di mana, hubungan kemitraan suami-istri yang mencerminkan bunyi Pasal 80 (berisi kewajiban suami) dan 83 (berisi kewajiban istri) akan diganjar dengan Pasal 97—yang membagi sama besar porsi harta bersama.
Adapun terhadap perkara di mana objek gugatannya dominan berasal dari kontribusi salah satu pihak, majelis hakim menerapkan contra legem dengan mengenyampingkan norma hukum yang berlaku, yakni Pasal 97 KHI. Hal demikian berlaku dengan mempertimbangkan kontribusi para pihak terhadap kewajiban dalam rumah tangga.
Pertimbangan semacam itu terdapat dalam yurisprudensi Mahkamah Agung lewat Putusan No. 266K/AG/2010. Dalam putusan a quo, istri mendapat ¾ harta bersama karena harta tersebut dihasilkan oleh istri, sementara suami mendapat ¼ bagian karena tidak memberi nafkah untuk istri dan anak selama 11 tahun. Pertimbangan judex juris, “Bahwa berdasarkan bukti dan fakta-fakta di persidangan ternyata suami tidak memberikan nafkah dari hasil kerjanya dan seluruh harta bersama diperoleh istri dari hasil kerjanya, maka demi rasa keadilan, pantaslah penggugat memperoleh harta bersama sebesar yang ditetapkan….”
Contra legem di atas menerangkan bahwa ketentuan pembagian harta bersama dengan porsi sama besar ternyata tidak berlaku “likulli zaman wa makan”. Kata-kata “demi rasa keadilan” menyiratkan terdapat ketidakcukupan informasi pada aturan normatif yang membagi ½ harta bersama. Atau dalam penjelasan lain, dapat dikatakan bahwa pembagian harta bersama dalam ketentuan pasal 97 KHI sesungguhnya mengandaikan Pasal 80 dan 83.
Pemenuhan kewajiban suami-istri dalam rumah tangga, dilihat dari pertimbangan Putusan No. 266K/AG/2010, determinan terhadap bagian perolehan harta bersama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kelalaian memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan dalam perikatan (perkawinan) berimplikasi terhadap porsi perolehan harta bersama pasca perceraian.
[1] “….pengembangan harta yang dihasilkan dari harta bawaan dan hasil-hasil maupun keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari harta bawaan setelah menikah dikategorikan sebagai harta bersama karena harta tersebut diperoleh selama perkawinan….” Putusan No. 0480/Pdt.G/2017/PA.Tlb.
[2] Sekalipun tergolong hukum privat, ciri khas hukum keluarga terletak pada sifatnya yang memaksa, di mana, akibat hukum dari perikatan berupa perkawinan berada di luar kewenangan para pihak. Lihat, Wahyono Darmabrata, “Perjanjian Perkawinan dan Pola Pengaturannya dalam Undang-Undang Perkawinan,” Jurnal Hukum dan Pembangunan (Februari, 1996), hlm. 16.
[3] Lihat Kompilasi Hukum Islam Pasal 83 ayat (2).
[4] Lihat Ibid Pasal 80 ayat (4) huruf a, b, dan c.