logo web

Dipublikasikan oleh PA Probolinggo pada on . Dilihat: 94446

PENDAHULUAN

lndonesia adalah Negara plural yang terbangun dari keragaman suku, budaya, ras, dan agama. Salah satu sisi pluralisme bangsa Indonesia yang paling mendasar adalah adanya kemajemukan agama yang dianut oleh penduduknya. Agama maupun aliran kepercayaan yang hidup dan berkembang di Indonesia tidaklah tunggal namun beragam. Pemerintah Indonesia telah mengakui enam agama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Selain itu diakui pula aliran kepercayaan atau animisme yang masih hidup dan berkembang di masyarakat. Jaminan eksistensi agama dan kepercayaan telah diatur Negara dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa :

(1)      Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

(2)      Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Beragamnya agama dan aliran kepercayaan di Indonesia dapat menimbulkan implikasi terjadinya perkawinan antar pemeluk agama dan aliran kepercayaan. Perkawinan beda agama memang bukan merupakan hal yang baru dan telah berlangsung sejak lama bagi masyarakat Indonesia yang multikultural. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa kasus perkawinan beda agama tidak menimbulkan permasalahan, bahkan cenderung selalu menuai kontroversi di kalangan masyarakat. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Indonesian Conference On Religion and Peace (ICRP), sejak 2005 hingga awal Maret 2022 sudah ada 1.425 pasangan beda agama menikah di Indonesia.[1]Perkawinan beda agama merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang berbeda agama maupun Negara menyebabkan bersatunya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan sesuai hukum agamanya masing-masing, dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan yang Maha Esa.[2]

Sejatinya, Indonesia belum memiliki payung hukum yang eksplisit mengatur persoalan perkawinan beda agama yang sangat kompleks. Sehingga selama ini pasangan perkawinan beda agama harus berjuang lebih, baik melalui upaya legal maupun ilegal agar perkawinannya mendapat legalitas di Indonesia. Beragam upaya yang kerap ditempuh pasangan perkawinan beda agama adalah dengan melakukan perkawinan dua kali dengan ketentuan agama masing-masing pihak, misal di pagi hari melangsungkan akad menurut hukum islam yang dianut salah satu mempelai, kemudian di hari yang sama juga melangsungkan pemberkatan nikah di gereja menurut hukum agama Kristen yang dianut mempelai yang lain. Namun demikian, upaya ini juga menimbulkan pertanyaan perihal perkawinan manakah yang dikatakan sah. Cara lainnya adalah dalam sementara waktu salah satu pihak berpura-pura pindah agama, namun hal ini sebenarnya juga dilarang oleh Agama manapun karena dianggap mempermainkan agama. Upaya terakhir yang juga banyak ditempuh adalah dengan melaksanakan pernikahan di luar negeri seperti yang banyak dilakukan oleh artis-artis di Indonesia. Namun upaya ini pun juga menimbulkan kontroversi karena dianggap melakukan penyelundupan hukum. Cukup banyaknya fenomena perkawinan beda agama di Indonesia menimbulkan konsekuensi dibutuhkannya pengaturan eksplisit terkait persoalan tersebut agar di masa depan tidak lagi terjadi kekosongan maupun bias hukum yang mengakibatkan kerancuan di tengah masyarakat.

Hukum positif di Indonesia telah memberikan payung hukum mengenai perkawinan yang terwujud dalam eksistensi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah jelas mengatur bahwa :

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

Hal ini berarti suatu perkawinan dapat dikategorikan perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melangsungkan perkawinan tersebut. Dengan demikian, penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama, karena landasan hukum agama dalam melaksanakan perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Apabila hukum agama menyatakan suatu perkawinan tidak sah, begitu pula menurut hukum negara perkawinan tersebut juga tidak sah.

                Namun demikian, sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, regulasi terkait perkawinan beda agama telah terjadi suatu konflik hukum. Eksistensi Pasal 35 huruf a Undang-Undang Administrasi Kependudukan telah membuka peluang penetapan perkawinan beda agama yang jelas bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan yang secara implisit mengatur bahwa perkawinan beda agama adalah tidak sah di mata agama dan negara. Konsekuensi logis atas pertentangan yuridis ini adalah timbulnya peluang disparitas bagi hakim dalam menetapkan permohonan perkawinan beda agama. Terhadap fenomena ini, hakim memiliki pandangan yang berbeda-beda, ada yang menolak mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama, namun di sisi lain ada juga yang mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama. Apabila problematika multi tafsir ini terus dibiarkan maka akan menimbulkan ketidak pastian hukum di masyarakat. Melihat urgensi problematika ini, maka perlu adanya pembahasan yang lebih mendalam.

 

Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Islam

Sejak zaman dahulu hingga kini, tidak dikenal definisi eksplisit dari frasa perkawinan beda agama dalam literatur klasik dan tidak ditemukan pula pembatasan pengertian secara jelas. Pembahasan yang memiliki korelasi dengan permasalahan tersebut lazim dimasukkan dalam pembahasan terkait pernikahan yang diharamkan atau kategori wanita yang haram dinikahi, yaitu :

a.    az-zawaj bi al-kitabiyat; perkawinan dengan wanita-wanita ahli Kitab yaitu perkawinan dengan wanita-wanita Yahudi dan Nasrani

b.    az-zawaj bi al-musyrikat; perkawinan dengan wanita-wanita musyrik

c.    az-zawaj bi ghair al-muslimah; perkawinan dengan non muslim.[3]

Namun demikian risalah Islam mengajarkan bahwa jika seorang musyrik telah beriman maka orang muslim diperkenankan menikah dengannya. Karena hakikatnya perkawinan adalah salah satu media ibadah seumur hidup dan dakwah menyerukan orang menuju ke jalan yang benar sesuai dengan ajaran yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Melalui jalan perkawinan dan dengan proses pendekatan emosional diharapkan orang yang telah beriman tersebut mendapat tuntunan dan ajaran dari pasangannya yang lebih dahulu memeluk Islam, sehingga kedepannya diharapkan dapat memahami Islam secara utuh.

Dalam literatur fiqih klasik, Perkawinan Beda Agama dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu[4]:

  1. Perkawinan antara seorang pria muslim dengan seorang wanita musyrik;

Para ulama sepakat bahwa seorang pria muslim diharamkan menikah dengan seorang wanita musyrikah. Pendapat ini didasarkan pada QS. Al-Baqarah (2) ayat 221:

Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu, mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.”

Ayat lain tentang pelarangan perkawinan antara wanita muslim dengan pria non muslim juga didasarkan pada QS. Al-Mumtahanah (60) ayat 10:

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu menguji, maka Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka diberikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayarkan kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir dan hendaklah minta kembali mahar yang telah kamu berikan dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayarkan kepada mantan isterinya yang telah beriman. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu, dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana).”

Berdasarkan tafsir dari Ath-Thabari, ayat ini mengandung larangan bagi orang muslim untuk menikahi wanita musyrik (Wanita kafir penyembah berhala). Dan apabila telah terjadi pernikahan, Allah memerintahkan untuk menceraikan mereka.[5] Begitu pula seorang pria muslim, dilarang mempertahankan pernikahannya dengan wanita musyrik yang tidak ikut hijrah dengan suaminya. Sesungguhnya ikatan pernikahannya telah putus disebabkan kekufuran, karena Islam tidak membolehkan menikahi wanita musyrik.

  1. Perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab;

Berdasarkan literatur klasik ditemui bahwa para ulama memiliki pendapat yang berbeda mengenai masalah ini, sebagian ulama cenderung membolehkan perkawinan tersebut dan kebanyakan dari mereka menghukum makruh bahkan haram, Bagi yang memperbolehkan mereka merujuk pada QS. Al-Maidah (5) ayat 5 :

“Pada hari ini dihalalkan kepada bagimu segala yang baik-baik, makanan (sembelihan) ahli Kitab itu halal bagimu dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan berzina dan bkan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah setelah beriman maka sungguh, sia-sia amal mereka dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.”

Kebanyakan ulama yang menghukum haram pernikahan tersebut mendasarkan keputusannya dari pertimbangan, yaitu :

a.    Berdasarkan Mazhab Syafi’i yang merupakan mazhab terbesar yang dianut oleh bangsa Indonesia, berpendapat bahwa kategori ahli kitab yang boleh dinikahi haruslah “min qablikum”, yaitu nenek moyang ahli kitab sebelum masa kerasulan Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan kriteria ini, maka Nasrani dan Yahudi yang saat ini masih ada tidak dapat dikatakan ahli kitab secara murni karena telah melewati masa kerasulan dan telah menjumpai ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Selain itu kini sudah tidak ada Ahli Kitab murni (yang kitab asli mereka sama sekali tidak mengalami perubahan) dan benar-benar berpegang teguh dengan agama samawi serta wanita Ahli Kitab yang Muhsonat.

b.    Berdasarkan kajian Majelis Ulama Indonesia dan fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa perkawinan beda agama menimbulkan mafsadat yang jauh lebih besar dari pada manfaatnya. Diantaranya, tidak terlaksananya tugas dan tujuan  untuk memelihara agama dan keturunannya; misi dakwah dan pembelajaran melalui perkawinan tidak berjalan dengan efektif; dan ironisnya malah semakin banyak pasangan yang pindah agama utamanya anak-anak hasil perkawinan tersebut.

c.    Berdasarkan pendapat bahwa ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) di masa kini dapat dikategorikan sebagai golongan musyrik. Karena dalam doktrin dan praktik ibadah Yahudi maupun Nasrani jelas mengandung unsur syirik (trinitas), dimana Yahudi menganggap Uzair putera Allah dan mengkultuskan Haikal Nabi Sulaiman, sedangkan Nasrani menganggap Isa Al-Masih sebagai anak Allah dan mengkultuskan ibunya Maryam.

  1. Perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim (baik musyrik maupun ahli kitab)[6]

Para ulama sepakat menghukum perkawinan tersebut haram oleh Islam, baik calon suami dari golongan ahli kitab (Yahudi dan Kristen) atau pun pemeluk agama lain yang mempunyai kitab seperti Hindu dan Budha atau pun pemeluk lain. Hal ini juga didasarkan pada QS. Al-Baqarah (2) ayat 221

Lebih lanjut, Majelis Ulama Indonesia sebagai organisasi masyarakat yang selama ini selalu menjadi rujukan solusi bagi setiap problematika umat muslim, dalam Musyawarah Nasional MUI ke-VII pada tanggal 26-29 Juli 2005 di Jakarta memutuskan dan menetapkan bahwa:

1)      Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah;

2)      Perkawinan pria muslim dengan wanita ahli kitab menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah.

 

Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif di Indonesia

Landasan yuridis perkawinan di Indonesia tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Namun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut belum mengatur secara jelas dan konkrit mengenai perkawinan beda agama, dalam artian tidak ada frasa yang eksplisit mengatur, mengesahkan, maupun melarang perkawinan beda agama. Selain itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menganut sistem norma penunjuk (verwijzing) pada hukum agama dan kepercayaan masing-masing.[7] Perkawinan sebagai salah satu perbuatan hukum tentunya juga akan menimbulkan akibat hukum yang kompleks, sehingga terkait sah tidaknya perbuatan hukum itu harus diperhatikan dengan cermat. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan syarat sahnya perkawinan, yaitu:

 (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan rumusan Pasal 2 ayat (1) ini dapat disimpulkan secara a contrario bahwa perkawinan yang diselenggarakan tidak sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan pengantin, maka dapat dikatakan perkawinan tersebut tidak sah. Sedangkan di Indonesia enam agama yang diakui, memiliki pengaturannya masing-masing dan cenderung tegas melarang praktik perkawinan beda agama. Hukum Islam jelas menentang perkawinan beda agama, bahkan apabila dipaksakan maka lazim dikenal dalam masyarakat sebagai “zina seumur hidup.” Agama Kristen/Protestan pada dasarnya melarang pengikutnya untuk melangsungkan perkawinan beda agama, karena dalam doktrin Kristen, tujuan adanya perkawinan adalah untuk mencapai kebahagiaan antara suami, istri, dan anak-anak dalam lingkup rumah tangga yang kekal dan abadi.[8] Hukum Katolik melarang pernikahan beda agama kecuali mendapatkan izin oleh gereja dengan syarat-syarat tertentu. Hukum Budha tidak mengatur perkawinan beda agama dan mengembalikan kepada adat masing-masing daerah, sementara agama Hindu melarang keras pernikahan beda agama. Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan juga kembali ditegaskan bahwa dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Pemberlakuan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan harus dimaknai secara kumulatif, artinya komponen-komponen dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa meskipun suatu perkawinan sudah dilangsungkan secara sah berdasarkan hukum agama, tetapi apabila belum dicatatkan pada instansi yang berwenang baik Kantor Urusan Agama untuk yang beragama Islam ataupun Kantor Catatan Sipil untuk non Islam, maka perkawinan tersebut belum diakui sah oleh negara.

Sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan beda agama pertama kali diatur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) Koninklijk Besluit van 29 Desember 1896 No.23, Staatblad 1898 No. 158, yang merupakan Peraturan Perkawinan Campur (PPC). Dalam PPC yang dikeluarkan secara khusus oleh Pemerintah Kolonial Belanda tersebut terdapat beberapa ketentuan tentang perkawinan campur salah satunya dalam Pasal 7 ayat (2) yang mengatur bahwa :

Perbedaan agama, golongan, penduduk atau asal usul tidak dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan.

Namun dengan eksistensi Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, legalitas perkawinan campur sebagaimana dimaksud pada PPC S. 1898 No. 158 di atas, menjadi dicabut dan tidak berlaku di sistem hukum yang saat ini berlaku di Indonesia. Perkawinan campuran yang dilegalkan oleh Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 hanya terdapat pada Pasal 57 yaitu :

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, faktor beda agama tidak lagi dimasukkan dalam aturan perkawinan campuran berdasarkan Undang-Undang Perkawinan. Melainkan perkawinan campuran yaitu perkawinan yang terjadi antara WNI dengan WNA.

Berbanding terbalik dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, beberapa Pasal dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam justru berani membuat gebrakan baru untuk mengatur persoalan perkawinan beda agama, yaitu :

1.    Pasal 4

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat ( 1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

2.    Pasal 40 huruf c

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu :

a.    karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;

b.    seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;

c.    seorang wanita yang tidak beragama islam.

Pasal ini bertalian erat dengan Pasal 18 yang mengatur :

Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI.

3.    Pasal 44 :

Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

4.    Pasal 61 :

Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien.

Pasal 61 merupakan tindakan pencegahan perkawinan yang diajukan sebelum terjadi perkawinan, sehingga pasal ini tidak mempunyai konsekuensi hukum bagi sah tidaknya perkawinan karena belum terjadi akad nikah. Pencegahan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum tempat perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan kepada PPN setempat.

5.    Pasal 116 huruf h :

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

….

h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Melihat “ketertinggalan” Undang-Undang Perkawinan dalam mengatur persoalan perkawinan beda agama dibandingkan dengan Kompilasi Hukum Islam, maka penulis berpendapat bahwa perlu adanya upaya penyempurnaan terkait perkawinan beda agama dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Karena meskipun Kompilasi Hukum Islam telah mengatur perkawinan beda agama, namun yang menjadi problematika selanjutnya adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) hanya dimuat dalam bentuk Instruksi Presiden, dan bukanlah Undang-Undang maupun turunannya, sehingga tidak dapat termasuk dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sehingga agar lebih memiliki kekuatan mengikat, seharusnya Undang-Undang Perkawinan dilakukan perubahan. Utamanya dalam Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan yang mengatur mengenai larangan perkawinan agar menambahkan perkawinan beda agama sebagai perkawinan yang dilarang. Karena hingga saat ini Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan hanya secara implisit menyebutkan bahwa :

Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Penduduk

Pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, peluang untuk melegalisasi perkawinan beda agama seolah semakin terbuka lebar. Yaitu dengan tersedianya opsi mengajukan permohonan perkawinan beda agama ke Pengadilan Negeri agar mengeluarkan suatu penetapan yang mengizinkan perkawinan beda agama dan memerintahkan pegawai kantor Catatan Sipil untuk melakukan Pencatatan terhadap Perkawinan Beda Agama tersebut kedalam Register Pencatatan Perkawinan.

            Terdapat beberapa pertimbangan yang melatarbelakangi hakim dalam mengabulkan permohonan penetapan beda agama. Pertama, perkawinan beda agama bukanlah merupakan larangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Oleh karena itu permohonan ini dikabulkan untuk mengisi kekosongan aturan Undang-Undang Perkawinan. Pertimbangan selanjutnya adalah Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 jo.Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yaitu :

 Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 :

Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas.

Maka dapat disimpulkan bahwa kewenangan untuk memeriksa dan memutus persoalan perkawinan beda agama terletak pada Pengadilan Negeri.

Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan :

Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi:

a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan;

Kemudian Penjelasan Pasal 35 huruf a memberikan exit way eksplisit untuk persoalan perkawinan beda agama karena mendefinisikan :

Yang dimaksud dengan ”Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.

Selanjutnya Pasal 36 mengatur bahwa :

Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan, pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.

Meskipun maksud rumusan pasal tersebut adalah untuk pencatatan perkawinan, namun eksistensi Pasal 35 huruf a Undang-Undang Adminstrasi Kependudukan jelas memberi ruang yang semakin luas untuk mengizinkan perkawinan beda agama yang berdasarkan Undang-Undang Perkawinan dianggap tidak sah. Ketentuan pasal ini jelas bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa suatu perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan ini merupakan landasan dilarangnya perkawinan beda agama, karena hakikatnya tidak ada agama yang diakui di Indonesia dengan bebas memperbolehkan umatnya menikah dengan penganut agama lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terjadi pertentangan yuridis (konflik hukum) antara Pasal 35 huruf a Undang-Undang Adminstrasi Kependudukan dengan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan.Terkait persoalan yang sama, pengadilan telah memberikan penetapan yang berbeda-beda, baik mengabulkan atau menolak permohonan penetapan perkawinan beda agama.

Menurut pandangan penulis, meskipun dalam sistem peradilan di Indonesia berlaku asas “Ius Curia Novit”  yang mengharuskan hakim menerima segala perkara yang masuk ke Pengadilan meskipun tidak ada atau belum jelas pengaturan hukumnya, termasuk permasalahan perkawinan beda agama, seharusnya hakim tidak tergesa-gesa membuat penetapan yang mengesahkan perkawinan beda agama dengan hanya berpedoman pada Pasal 35 huruf a Undang-Undang Adminstrasi Kependudukan. Melainkan harus mempertimbangkan juga perspektif Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Hakim juga seharusnya mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014 yang pada pokoknya menolak permohonan judicial review Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan dan menegaskan kembali larangan perkawinan beda agama karena perbuatan tersebut merupakan legalisasi dari perbuatan zina.[9]

Hakim juga harus memahami bahwa hakikat perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diartikan sebagai :

ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ikatan lahir tersebut merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata, yang tidak hanya mengikat personal dirinya pribadi, melainkan juga berdampak pada keluarga, orang lain atau masyarakat. Sedangkan sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Lebih lanjut, kehidupan berbangsa dan bernegara dijalankan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh sebab itu perkawinan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa berarti keluarga tersebut harus berdasarkan satu Tuhan. Perkawinan tidak boleh hanya ditinjau dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan Undang-Undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh Negara.[10]

Oleh karena itu menurut pendapat penulis, terhadap penetapan hakim yang mengesahkan perkawinan beda agama seharusnya dibatalkan, karena perkawinan tersebut sejatinya bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, bahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Perkawinan beda agama jelas bertentangan dengan konstitusi yang berlaku di Indonesia, yaitu yang diatur dalam[11] :

Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 :

Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

Perihal frasa perkawinan yang “sah”, sudah jelas diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan bahwa perkawinan sah apabila dilaksanakan menurut hukum agama kedua pasangan. Sementara Agama Islam mengatur tidak sahnya perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama juga tidak seharusnya dimaknai sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia. Karena sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 :

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Larangan beda agama bukanlah pelanggaran dalam penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia. Karena sudah jelas bahwa pelaksanaan HAM di Indonesia tidaklah liberal, tetapi mengakui adanya pembatasan praktek HAM dalam rangka menghormati HAM orang lain, termasuk dalam hak untuk menikah, yang salah satunya mempertimbangkan nilai-nilai agama. HAM yang hakikatnya merupakan hak kodrati yang diberikan Tuhan kepada manusia, maka tidak rasional apabila hak kodrati tersebut menyimpang dari aturan dan ketentuan Tuhan.  Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menjadikan nilai-nilai agama sebagai salah satu landasan dalam kehidupan bernegara.

Menurut pendapat penulis, meninjau dari kompleksnya problematika perkawinan beda agama, mengenai tidak diaturnya perkawinan beda agama secara kongkrit dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menimbulkan multi tafsir terhadap beberapa pasal didalamnya, maka perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Perkawinan. Misalnya dengan menyisipkan aturan larangan perkawinan beda agama dalam Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan. Kemudian untuk menyelesaikan problem dualisme pengaturan perkawinan beda agama, dimana Undang-Undang Perkawinan melarang praktik perkawinan beda agama, sedangkan Undang-Undang Administrasi Kependudukan justru membuka peluang pengesahan perkawinan beda agama, maka menurut pendapat penulis Pasal 35 dan 36 Undang-Undang Administrasi Kependudukan seharusnya dicabut, karena menimbulkan pertentangan norma. Terjadinya kekosongan hukum dalam pengaturan perkawinan beda agama tidak dapat dibiarkan terus menerus karena perkawinan beda agama jika dibiarkan dan tidak diberikan solusi secara hukum akan menimbulkan dampak negatif dari segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama. Dampak negatif tersebut berupa dapat terjadinya penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama serta hukum positif.[12] Oleh karenanya, pelarangan kawin beda agama telah memenuhi nilai keadilan karena :

  1. Pertama, telah sejalan dengan nilai moral yang dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia, dalam hal ini telah memenuhi rasa keadilan mayoritas;
  2. Kedua, berorientasi pada hubungan dengan Tuhan, namun juga memberi peluang bagi akidah anak-anak yang lahir dari hasil perkawinan beda agama. Keadilan yang memenuhi hukum Ilahi positif (ius divinium positivum) dan yang dijangkau akal manusia/hukum positif manusia (ius positivum humanum)[13]

Perkawinan beda agama juga tidak seharusnya dilegalkan karena menimbulkan banyak implikasi negatif di kemudian hari. Salah satu implikasinya adalah status anak yang dilahirkan melalui proses perkawinan yang tidak sah (karena larangan pernikahan beda agama) adalah adanya pengakuan bahwa anak tersebut adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah. Maka konsekuensinya, anak tersebut tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, tidak berhak atas nafkah dan pemeliharaan dari ayah, kemudian ayah juga tidak dapat menjadi wali nikah bagi anak perempuannya, dan tidak mempunyai hak untuk mendapatkan harta waris apabila tidak seagama dengan pewaris (dalam hal ini pewaris beragama Islam).

 

KESIMPULAN

Perkawinan beda agama adalah hal yang tidak dapat dibenarkan berdasarkan Undang-Undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam, dengan pertimbangan dikeluarkannya aturan tersebut adalah untuk menghindari timbulnya keburukan/kerugian (mafsadat) yang lebih besar disamping kebaikan/keuntungan (maslahat) yang ditimbulkan. Namun dengan hadirnya Undang-Undang Administrasi Kependudukan khususnya dalam Pasal 35 membuka peluang untuk melegalisasi perkawinan beda agama. Pertentangan hukum diantara dua Undang-Undang ini tentu saja menimbulkan multi tafsir di kalangan masyarakat, utamanya hakim dalam menetapkan perkawinan beda agama. Konsekuensinya dapat ditemui disparitas penetapan hakim, sebagian menolak namun sebagian juga mengabulkan penetapan perkawinan beda agama. Apabila hal ini terus dibiarkan maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

SARAN

  1. Pemerintah selayaknya mengevaluasi kembali Undang-Undang Perkawinan yang saat ini berlaku dan memasukkan aturan baru terkait larangan perkawinan beda agama dalam Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan

Pasal 35 huruf a Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang secara eksplisit memberi jalan legalitas perkawinan beda agama yang dilarang oleh agama yang diakui di Indonesia seharusnya segera dicabut. Karena sesuai amanat konstitusi utamanya Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia adalah Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga konsekuensinya pemerintah tidak boleh mengabaikan aturan agama dalam mengatur m



[2] Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Bandung, Penerbit Pionir Jaya, 2000, hlm.16

[3] Aulil Amri, Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, Banda Aceh, Media Syari’ah, Vol. 22, No. 1, 2020, hlm. 51

[4] Zuhdi Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Jakarta, Gunung Agung, 1994, hlm. 4

[5] at-Thabari, Ibn Jarir, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Al-Quran, t.tp: Muassah Ar-Risalah, 2000, hlm. 329

[6] Syarifudin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Bogor, Kencana, 2006, hlm. 133-135.

[7] Sudargo Gautama, Hukum Antar Golongan, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1980, Hlm 12.

[11]MPR RI, HNW: Perkawinan Beda Agama Tidak Sejalan dengan Konstitusi (mpr.go.id), diakses pada 26 Juni 2022 pukul 17:18 WIB.

[12] Lies Sugondo, Biarkan Pengadilan yang Mennetukan Keabsahan Perkawinan, http://hukumonline.com, diakses 26 Juni 2022 pukul 18:07 WIB

[13]Husain Insawan, Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi Hukum Islam Resensi Karya M. Karsayuda, al-‘ADL Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, Edisi I, Tahun I / Juni 2008, hlm. 7

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice