Mutasi dan Religiusitas Kita
Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Seorang hakim tampaknya harus menerima kenyataan ketika pengumuman hasil rapat Tim Promosi dan Mutasi (TPM) itu mencantumkan namanya harus bertugas di salah satu daerah nan jauh di sana. Meskipun demikian, seperti lazimnya, banyak temannya yang mengucapkan selamat atas terbitnya pengumuman yang biasa selalu ditunggu setiap hakim itu. Sang hakim tadi, sikapnya tampak terlihat datar-datar saja. Mengapa ia bersikap demikian, hanya ia yang tahu. Tampaknya, ada perasaan berbeda dari yang lain, yang dirasakan sang Hakim. Ada perasaan gembira dan sedih bercampur aduk menjadi satu. Merasa gembira karena dapat mencapai puncak karir sebagai hakim sekaligus pengabdian dan jerih payahnya sebagai hakim selama ini seolah mendapat pengakuan yang berwenang. Akan tetapi, juga sedih karena harus memulai babak baru dalam hidup. Dengan usia yang sudah relatif tua ini, ia merasa tidak layak lagi harus hidup demikian. Dengan usia kepala enam, mestinya sudah harus menggapai puncak spiritualitas yang jika mengacu umur baginda rasulullah SAW tinggal beberapa tahun lagi harus menuju kehidupan baru di alam lain. Baginya mencapai puncak karir ( sebagai hakim) memang perlu, tetapi dengan capaian hidup dan kehidupan yang sudah ada selama ini, dia sudah merasa telah memperoleh semua impian hidup dan tinggal mensyukurinya. Dalam kondisi demikian, pulang bertugas di tempat yang dekat keluarga biasanya lebih diharapkan kebanyakan orang. Mungkin dalam hati sang hakim itu, sesekali terbersit pertanyaan sedikit egois: Ah….mau cari apa lagi?
Selengkapnya KLIK DISINI