IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM PROGRESIF DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
Oleh: Azim Izzul Islami, S.H.I., M.H.[1]
- Latar Belakang
Karakter positivistik dalam hukum nasional di Indonesia merupakan hal yang tidak dapat dibantah bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi dari kolonialisme Belanda beberapa dekade silam. Tradisi civil law eropa memberi pengaruh kental dalam memberi corak hukum nasional.[2] Meskipun demikian, dalam upaya menjamin bahwa tidak terjadi pergolakan antara hukum barat dengan tradisi hukum di Indonesia, maka hukum adat dan hukum Islam memberikan upaya penyeimbangan (balancing) agar hukum nasional dapat diterima oleh kultur masyarakat Indonesia.[3] Budaya positivistik yang kental tersebut berorientasi pada kepastian hukum yang terkadang mengabaikan realitas kultur masyarakat sehingga hukum tidak selalu memberikan keadilan dan kemanfaatan kepada masyarakat. Hal ini terjadi ketika kajian terhadap kultur masyarakat yang kurang mendalam dalam proses pembuatan regulasi dan peran hakim yang hanya menjadi corong undang-undang dalam proses pengambilan keputusan dalam proses litigasi.[4]
Sebelum berkembangnya konsep Hukum Progresif yang dipelopori oleh Satjipto Raharjo, Hukum Islam telah melalui proses dinamisasi panjang dan komprehensif. Ijtihad merupakan jalan utama yang dilalui oleh ulama dalam memberikan respon terhadap dinamika masyarakat yang mengalami perubahan dan perkembangan. Ijtihad tersebut dilakukan bukan hanya sekedar untuk menegakkan hukum Islam dalam teks (nash), melainkan juga sebagai upaya memberikan solusi atas permasalahan-permasalahan hukum yang tidak ditemukan dalam nash.
Kompilasi Hukum Islam merupakan salah satu produk ijtihad sebagai upaya dalam kodifikasi dan unifikasi hukum dan kemudian berkembang menjadi hukum terapan di Pengadilan Agama. Tidak sedikit pihak yang mengkritisi eksistensi dari Kompilasi Hukum Islam baik dari segi status, maupun kandungan formil serta materiilnya.[5] Kodifikasi dan unifikasi memang akan selalu berbenturan dengan realitas masyarakat yang dinamis. Sehingga perlu dilakukan kajian berkelanjutan terhadap keberlakuan Kompilasi Hukum Islam yang secara empiris seringkali tidak mampu menjawab heterogenitas masyarakat Indonesia.[6]
Hakim yang memegang peran puncak dalam penegakan hukum dan keadilan memiliki peran strategis dalam menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer dan empiris. Disebut demikian sebab, hakim memiliki kuasa untuk merubah keadaan hukum seseorang atau sesuatu baik sesuai dengan legalitas peraturan perundang-undangan maupun melalui penyimpangan terhadapnya (contra legem).[7] Peran hakim tersebut tentunya bersinggungan erat dengan tujuan dari hukum progresif dalam upaya memposisikan peran hukum untuk masyarakat secara ideal.
Pengadilan Agama sebagai salah satu bagian dari kekuasaan kehakiman memiliki kontribusi yang dominan dalam penjaminan hak-hak sipil dan perlindungan hukum masyarakat yang menjadi bagian dari kewenangannya.
- Pembahasan
Kajian Hukum progresif lahir karena keprihatinan terhadap keadaan hukum di Indonesia. Keadaan hukum itu secara makro disebutnya tidak kunjung mendekati keadaan ideal, yaitu menyejahterakan dan membahagiakan rakyatnya.[8] Konsep ini dipelopori oleh Satjipto Rahardjo[9] yang ingin mencari cara untuk mengatasi keterpurukan hukum secara lebih bermakna, dalam artian pengubahan secara lebih cepat, pembalikan yang mendasar, pembebasan, terobosan dan lain-lain. Cara tersebut dilakukan pertama-tama dengan menempatkan kedudukan manusia dan kemanusiaan sebagai wacana utama atau primus dalam pembahasan dan penegakan hukum, sehingga dalam suatu pola hubungan antara hukum dan manusia, berlaku hubungan “hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya manusia untuk hukum”. Dalam pola hubungan yang demikian, maka hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih besar dan luas, yaitu manusia dan kemanusiaan. Sehingga, setiap ada masalah dalam dan dengan hukum, hukum-lah yang perlu ditinjau ulang dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. Pola hubungan yang demikian menunjukkan hukum bukanlah institusi yang steril dan esoterik, melainkan bagian saja dari kemanusiaan.[10]
Konsep hukum progresif tersebut sebenarnya linear dengan konsep perlindungan hukum yang tercantum dalam maqashid syariah. Bahwa hukum tidak hanya bertujuan untuk melindungi agama saja, melainkan harus juga memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap jiwa, akal, keturunan dan harta.[11] Konsep dari Maqashid Syariah yang telah lahir beberapa abad silam di kalangan intelektual muslim (ulama), telah mengejawantahkan dirinya dalam bentuk pendobrakan terhadap kebuntuan berfikir melalui semangat reinsterpretasi terhadap nash. Tentu lahirnya semangat berijtihad tersebut harus sesuai dengan koridor tujuan hukum Islam itu sendiri. Di Indonesia, progresifitas hukum Islam telah banyak tertuang dalam putusan pengadilan agama. Berawal dari ide penyeragaman putusan dengan tujuan untuk menjamin kepastian dan kesatuan hukum, ditetapkanlah 13 kitab fikih sebagai referensi hukum materiil di pengadilan agama melalui Surat Edaran Kepala Biro Pengadilan Agama RI. No. B/1/735 tanggal 18 februari 1985.[12] Upaya penegakan hukum Islam tersebut pada akhirnya tidak memenuhi ekspektasi[13] dan kemudian muncul ide untuk ditetapkan sebuah kodifikasi yang melahirkan Kompilasi Hukum Islam.[14] Berbentuk Instruksi Presiden, Kompilasi Hukum Islam pun tidak luput dari berbagai macam kritik mengingat unifikasi hukum pada akhirnya harus berbenturan dengan dinamika masyarakat.[15]
Meskipun Kompilasi Hukum Islam berbentuk kodifikasi yang menyatukan beberapa referensi hukum lintas madzhab, penyusunan Kompilasi Hukum Islam layak mendapatkan apresiasi sebab selain bertujuan untuk penyeragaman hukum, juga tidak mengabaikan realitas kultur masyarakat Indonesia. Melalui konfrontasi dan dengan pertimbangan maslahat serta kearifan lokal (‘urf), Kompilasi Hukum Islam membentuk “madzhab” baru yang kemudian menjadi pedoman dan acuan bagi penyelesaian sengketa dan perkara di Pengadilan Agama. Perhatian Kompilasi terhadap kultur masyarakat inilah yang manjadikan Kompilasi Hukum Islam menjadi salah satu produk hukum yang bersifat progresif.
Progresifitas dalam bentuk unifikasi ini memang tidak sepenuhnya berhasil, karena masyarakat senantiasa berubah dan hukum harus pula mengikuti perkembangan masyarakat.[16] Oleh sebab itu, kita harus kembali kepada kesadaran bahwa Kompilasi Hukum Islam hanyalah sebuah produk pemikiran (fiqh) dan untuk mencapai tujuan hukum yakni keadilan, kepastian dan kemanfaatan, dan harus senantiasa dilakukan ijtihad dengan tujuan untuk mengawal dinamika masyarakat yang selalu berkembang dan berubah.
Ijtihad Hakim dalam Mengawal Heterogenitas dan Dinamika Masyarakat
Ijtihad merupakan usaha keras atau pengerahan daya upaya. Ijtihad dalam pengertian lain yaitu berusaha memaksimalkan daya dan upaya yang dimilikinya.[17] Apabila manusia menemukan masalah-masalah yang belum secara jelas terdapat hukumnya dalam nash Alquran dan Sunnah, maka manusia diberi kebebasan oleh Allah swt untuk menggunakan akal fikirannya (Ijtihad) dalam memecahkan masalah tersebut. Artinya, manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan hukum terhadap masalah yang dihadapinya tersebut. Kebebasan yang diberikan oleh Allah tersebut tetap harus memperhatikan petunjuk, pedoman dan prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam AlQuran dan Sunnah Nabi, karena itu merupakan sumber hukum Islam yang utama.[18] Jika beberapa abad silam terdapat “kampanye” bahwa pintu ijtihad telah tertutup,[19] hal tersebut justru menjadikan hukum Islam yang semestinya lincah dan dinamis menjadi kaku dan beku sehingga Islam akan ketinggalan zaman. Sebab, akan banyak kasus baru yang hukumnya belum dijelaskan oleh al-Qur’an dan sunnah serta belum dibahas oleh ulama-ulama terdahulu tidak dapat diketahui bagaimana status hukumnya.
Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, hakim senantiasa dituntut untuk melakukan ijtihad. Penafsiran secara tekstual terhadap bunyi nash atau peraturan perundang-undangan menjadi metode penetapan hukum. Dalam hal hukum belum mengatur, atau ketika hukum yang dibaca secara tekstual bertentangan dengan nurani keadilan, maka metode penafsiran lain yang berorientasi kepada tujuan hukum dan maqashid syariah layak menjadi alternatif dalam memberikan hukum yang berkeadilan dan berkemanfaatan. Namun penafsiran secara kontekstual tersebut tidak boleh bertentangan dengan hikmah tasyri’ yang telah ditetapkan oleh hukum, sebagaimana Firman Allah yang artinya: Jika kamu mempersengketakan sesuatu maka kembalikanlah sesuatu tersebut kepada Allah dan Rasul-Nya.[20]
Di Indonesia, hukum positif tidak secara komprehensif mengatur mengenai aspek-aspek keislaman. Sebut saja Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang mengatur hal-hal yang bersifat umum dan universal (lintas agama, ras dan suku). Tidak jarang, hakim pengadilan agama melakukan rekonstruksi hukum berdasarkan pendapat-pendapat ulama fiqh dalam memutuskan perkara-perkara perkawinan yang menjadi wewenangnya dan tidak jarang pula putusan hakim tersebut bersifat contra legem terhadap aturan hukum positif yang berlaku. Tidak dapat dipungkiri bahwa politik hukum di dalam Undang-Undang Perkawinan tidak berpihak pada satu golongan atau agama tertentu. Keluasan khazanah fiqh Islam menjadi salah satu sumber hukum berupa doktrin yang sangat berharga bagi upaya menjamin keadilan dan kemanfaatan masyarakat, khususnya saat penafsiran secara gramatikal bertentangan dengan nurani keadilan.
Konstruksi hukum melalui ragam ikhtilaf pendapat ulama ini tentu menemukan urgensinya saat hakim berhadapan dengan heterogenitas masyarakat Indonesia. Perbedaan suku antara satu daerah dengan daerah lain mengakibatkan perbedaan nilai dan kebudayaan, pun terhadap luasnya wilayah geografis dapat menjadi suatu hukum berubah sebab ahwal-nya tidak memungkinkan untuk diterapkannya suatu aturan hukum. Salah satu dari pendapat ulama yang beragam itu dapat menjadi alternatif solusi yang relevan.
Implementasi Hukum Islam Progresif di Pengadilan Agama
Pada bagian ini, penulis membatasi kajian penerapan Hukum Islam progresif sebatas perkara yang terdapat di Pengadilan Agama Kasongan. Bahwa di Pengadilan Agama Kasongan terdapat beberapa putusan yang bersifat progresif dan mengakomodir kepentingan masyarakat meskipun putusan tersebut bersifat contra legem. Meskipun demikian, pokok permasalahan dalam perkara ini bersifat kasuistik dan tidak semua perkara dapat diterapkan metode penemuan hukum yang sama.
- Pengabulan Permohonan Poligami yang tidak memenuhi syarat perundang-undangan
Asas hukum perkawinan di Indonesia adalah monogami,[21] namun tidak menutup kemungkinan dilakukannya perkawinan dengan lebih satu orang (poligami).[22] Kebolehan melakukan poligami ini dapat dilakukan jika suami mampu memenuhi syarat-syarat yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.[23]
Putusan Nomor 3/Pdt.G/2020/PA.Ksn pada amarnya mengabulkan permohonan Pemohon untuk melakukan poligami. Pada tahap pemeriksaan perkara sebagaimana tertuang dalam duduk perkara putusan, dijelaskan bahwa antara Pemohon dan Termohon adalah suami isteri dimana Pemohon (Suami) akan bermaksud untuk menikah lagi dan telah mendapatkan persetujuan dari Termohon (Isteri). Berdasarkan pengakuan Termohon dan fakta hukum di persidangan, terbukti bahwa Pemohon memiliki kesanggupan secara materiil untuk menikah lagi dan Termohon memberikan izin kepada Pemohon untuk menikah lagi meskipun Termohon tidak memiliki alasan-alasan untuk dipoligami sebagaimana menjadi syarat alternatif yang diatur dalam perundang-undangan.
Dasar Hakim dalam mengabulkan permohonan poligami ini adalah bahwa:
- Substansi dari perkawinan antara Pemohon dengan Isteri keduanya yang terpenting adalah sesuai dengan syarat dan rukun dalam perkawinan.
- Bahwa aturan mengenai poligami dalam perundang-undangan secara politik hukum merupakan hasil diplomasi politis dari perseteruan antara kelompok pro dan kontra terhadap poligami
- Secara Psikis Sosiologis, penerapan aturan poligami di perundang-undangan memberikan kesan diskriminatif terhadap perempuan
Bahwa pada dasarnya regulasi mengenai Poligami dibentuk sebagai upaya perlindungan terhadap perempuan dari penganiayaan (adz-dzulm) yang dilakukan oleh laki-laki. Namun pada perkara ini illat hukum penganiayaan (adz-dzulm) tidak ditemukan sebab adanya izin yang disertai dengan kemampuan suami untuk berisiteri lebih dari seorang, maka Majelis Hakim mengabulkan permohonan poligami tersebut.[24]
- Wali Nikah dengan Wali Muhakkam
Wali nikah menjadi salah satu rukun dalam perkawinan, disamping adanya mempelai pria dan wanita, dua orang saksi dan ijab kabul.[25] Wali Nikah yang dimaksud adalah wali nasab atau wali hakim.[26] Wali Nasab merupakan wali yang berasal dari keluarga yang berhak menjadi wali karena adanya pertalian nasab, meliputi: bapak kandung; kakek (bapak dari bapak); bapak dari kakek (buyut); saudara laki-laki sebapak seibu; saudara laki-laki sebapak; anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak seibu; anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak; paman (saudara laki-laki bapak sebapak seibu); paman sebapak (saudara laki-laki bapak sebapak); anak paman sebapak seibu; anak paman sebapak; cucu paman sebapak seibu; cucu paman sebapak; paman bapak sebapak seibu; paman bapak sebapak; anak paman bapak sebapak seibu; anak paman bapak sebapak;[27] Selain kategori tersebut, wali nikah juga harus memenuhi syarat wali meliputi: laki-laki; beragama Islam; baligh; berakal; dan adil.[28]
Pada perkara Nomor 20/Pdt.P/2020/PA.Ksn, Para Pemohon mengajukan itsbat nikah atas perkawinannya yang dilakukan secara sirri pada tanggal 30 Desember 1990. Fakta hukum di persidangan menyebutkan bahwa perkawinan tersebut telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan, kecuali pada bagian wali nikah Pemohon II yang masih beragama Hindu Kaharingan. Alasan tidak dilakukannya pencatatan kawin tersebut adalah karena Para Pemohon tidak mengetahui administrasi pencatatan perkawinan di KUA dan karena proses pencatatan perkawinan tersebut tidak dapat diakses oleh Para Pemohon karena kendala wilayah geografis.
Jika melihat pada aturan dalam Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim, maka wali nikah pada perkawinan Para Pemohon tidak memenuhi syarat. Namun Majelis Hakim mengambil pendapat dari kitab fiqh yang memperbolehkan seorang wanita menunjuk seseorang untuk menjadi wali nikah dengan alasan ketiadaan wali nasab dan wali hakim.[29]
- Kesimpulan
Hukum Islam Progresif dapat dilakukan melalui pengarusutamaan ijtihad, baik berupa penafsiran (interpretasi) maupun penemuan (konstruksi) hukum dan atau melalui metode istinbath hukum atau dengan ittiba’ (mengikuti) pendapat ulama. Penggunaan metode ini dilakukan dalam rangka untuk memberikan solusi atas permasalahan masyarakat yang tidak mampu dijawab oleh Kompilasi hukum Islam maupun hukum nasional yang berlaku melalui jawaban keadilan. Di Pengadilan Agama Kasongan, perkara-perkara yang bersifat contra legem bersifat kasuistik dan tidak semua perkara dapat diperlakukan secara sama. Namun pada pokoknya, Hakim harus meneliti perkara-perkara tersebut secara rinci untuk kemudian dapat diputuskan akankah mengikuti aturan perundang-undangan atau melakukan penafsiran atau pembentukan hukum baru. Hal tersebut dilakukan semata-mata untuk memenuhi nurani keadilan dan memberikan kemanfaatan kepada masyarakat.
DAFTAR BACAAN
Al-Qur’an al-Karim
Dimyati,Khudzaifah, Teorisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945 – 1990, Muhammadiyah University Press, 2004.
Mustaghfirin, Sistem Hukum Barat, Sistem Hukum Adat, Dan Sistem Hukum Islam Menuju Sebagai Sistem Hukum Nasional Sebuah Ide Yang Harmoni, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 Edisi Khusus Februari 2011.
Wignyosoebroto,Soetandyo, Hukum, Paradigma, Metode , dan Dinamika Masalahnya, Jakarta, Elsam, Huma, 2002.
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Bandung, Mizan, 2001.
Rahardjo,Satjipto, Membedah Hukum Progresif , Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2006.
Rahardjo,Satjipto , Hukum dalam JagatKetertiban, Jakarta, UKI Press, 2006.
al-Raisuni, Ahmad, Nadariyat al- Maqaṣid Inda alImâm al-Shathibi, Beirut, Muassasah al-Jami’ah, 199.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Inpres RI No.1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Depag RI, 2000.
Jalil,Basiq, Pengadilan Agama di Indonesia, cet. ke-1, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2006.
Khaeruman, Badri, Hukum Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2010.
Mahmashani, Subhi, Falsafah al-Tasyri’ fi al-Islam, cet. V Dar al-‘Ilm li al-Malayiin, Beirut, tt.
Syafe’i,Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta, Pustaka Setia, 1999.
Asmani, Jamal Ma’mur, Ushul Fiqh, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,2019.
Syalaby,M. Mustafa, Ta’lil al-Ahkam, Bairut, Dar al-Nahdhah alArabiyah, 1981.
Regulasi dan Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
Inpress Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi hukum Islam.
Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim
[1] Hakim pada Pengadilan Agama Kasongan, Kalimantan Tengah.
[2] Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945 – 1990, Muhammadiyah University Press, 2004, hal 66.
[3] Meskipun masing-masing sub sistem hukum nasional memiliki landasan filosofis dan sosiologis yang berbeda, ketiga sub sistem hukum ini senantiasa diupayakan untuk menemukan konsep hukum nasional yang ideal yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang sesuai dengan idealisme dari Pancasila. Lihat Mustaghfirin, Sistem Hukum Barat, Sistem Hukum Adat, Dan Sistem Hukum Islam Menuju Sebagai Sistem Hukum Nasional Sebuah Ide Yang Harmoni, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 Edisi Khusus Februari 2011, hal. 90.
[4] Kesahihan doktrin positivisme dalam pemikiran ilmu hukum mulai dipertanyakan. Paradigma everybody is equal before the law atau bahwa everybody is born free to pursuit its happiness atau bahwa hukum dan hakim adalah sesungguhnya suatu institusi yang netral dan independen, kian nyata hanya keinginan kosong yang terlalu idiil dan hanya retorika belaka. Perubahan-perubahan dalam tertib kehidupan sosial tidak tersimak dari kacamata ilmu hukum. Positivisme secara berangsur mulai kehilangan kemampuannya yang fungsional sebagai alat kontrol sosial guna mengawal dan merealisasikan apa yang telah dicita-citakannya. Lihat Soetandyo Wignyosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode , dan Dinamika Masalahnya, Jakarta, Elsam, Huma, 2002, hal. 66.
[5] Dari segi status, Kompilasi Hukum Islam dilahirkan melalui Instruksi Presiden yang tidak termasuk dalam kategori peraturan perundang-undangan, namun eksistensinya dalam putusan hakim telah melahirkan status baru menjadi yurisprudensi. Dari segi kandungan formil dan materii, Kompilasi Hukum Islam mengatur hal-hal yang bersifat formil yang menjadi ranah dari hukum acara yang diatur dalam perundang-undangan. Selain itu, KHI juga mengatur secara tegas hal-hal materiil yang secara empiris bersifat dinamis sehingga perseteruan antara kepastian hukum dan keadilan serta kemanfaatan sering terjadi.
[6] Menurut Kuntowijoyo, selama ini gerakan Islam terlalu bersifat normatif dan cenderung mengabaikan adanya diferensiasi, segmentasi, dan stratifikasi sosial yang terjadi dalam masyarakat. Sebagai akibatnya, sentimen normatif mengenai kesatuan dan persatuan umat menjadi jauh lebih menonjol ketimbang komitmennya yang aktual untuk membela kelompok-kelompok yang tergusur dan tertindas didalam masyarakat. Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Bandung, Mizan, 2001, hal. 9
[7] Hukum tidak hanya berorientasi pada kepastian melainkan juga kepada kemaslahatan dan yang lebih utama adalah keadilan. Upaya hakim dalam memutuskan suatu permasalahan harus senantiasa memperhatikan nilai-nilai yang hidup di masyarakat dan tidak semata-mata bersifat tekstual. Hal ini telah diamanatkan oleh Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[8] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif , Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2006, hal. 9-10.
[9] Artikel-artikel Satjipto Rahardjo tentang hukum progresi awalnya dimuat dalam Jurnal PPH News Letter Nomor 59/Desember/2004 dengan judul “Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan)”, sedangkan “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan” merupakan artikel yang semula dimuat pada Jurnal Hukum Progresif, 1, 1 (2015). Keduanya dimuat sebagai urutan pertama dan kedua dalam buku Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif; Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta, Genta Publishing, 2009.
[10] Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagat Ketertiban, Jakarta, UKI Press, 2006, hal. 55-56
[11] Maqashid ini ada tiga yaitu dlaruriyat, hajiyat, tahsîniyat. Daruriyat harus ada untuk menjaga kemashlahatan dunia dan akhirat. Jika hal ini tidak ada maka akan terjadi kerusakan di dunia dan akhirat. Kadar kerusakan yang ditimbulkan adalah sejauh mana dlaruriyat tersebut hilang. Maqâshid al- dlarûriyât ini ada lima yaitu: menjaga Agama, menjaga jiwa, menjaga keturunan, menjaga harta, menjaga akal. Maqashid alhajiyat adalah untuk menghilangkan kesusahan dari kehidupan mukallaf. Sedangkan Maqashid tahsiniyat adalah untuk menyempurnakan kedua Maqashid sebelumnya, yang meliputi kesempurnaan adat kebiasaan, dan akhlak yang mulia. Lihat Ahmad al-Raisuni, Nadariyat al- Maqaṣid Inda alImâm al-Shathibi, Beirut, Muassasah al-Jami’ah, 199, hal. 117
[12] Kitab fiqh yang dimaksud adalah a. Al-Bajuri; b. Fathul Mu’in; c. Asy-Syarkawi ‘ala at-Tahrir; d. Al-Qalyubi/al-Mahalli; e. Fathu al-Wahhab wa Syarhuh; f. At-Tuhfah; g. Targhib al-Musytaq; h. Al-Qawanin asy-Syar’iyyah li Sayyid bin Yahya; i. Al-Qawanin asy-Syar’iyyah li Sayyid Shadaqoh Dachlan; j. Asy-Syamsuri fi al-Faraid; k. Bughyah al-Mustarsyidin; l. Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib alArba’ah; m. Al-Mughni al-Muhtaj.
[13] Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Inpres RI No.1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Depag RI, 2000, hal.128
[14] Ide awal kodifikasi hukum Islam berawal dari pembinaan teknik yustisial Mahkamah Agung terhadap Badan Peradilan Agama yang dilaksanakan berdasar amanat Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentnag Kekuasaan Kehakiman. Pembinaan ini kemudian melahirkan surat keputusan besar ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama pada tanggal 21 maret 1984 membentuk sebuah panitia yang diberi tugas untuk menyusun kompilasi hukum Islam. Dan hukum Islam apabila tidak dikompilasikan maka berakibat pada tidak seragam dalam menentukan hukum Islam, tidak jelas bagaimana menerapkan syariah, tidak mampu menggunakan jalan alat yang telah tersedia dalam UUD 1945. Lihat Basiq Jalil, Pengadilan Agama di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2006, cet. ke-1, hal.109.
[15] Benturan antara kepastian dengan dinamika masyarakat disebabkan karena hukum Islam selalu berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dimana perbuatan mukallaf tidak ada habisnya. Semakin maju umat manusia maka semakin bertambah pula intensitas gerak dan aktifitasnya. Hukum Islam kemudian dituntut untuk selalu mampu menampung sekian banyak gerak langkah kehidupan manusia yang tidak terbatas itu. Lihat Badri Khaeruman, Hukum Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2010, hal.24.
[16] Para ulama ahli fiqh sepakat bahwa hukum-hukum yang berdiri di atas landasan yang berubah dan berkembang, niscaya ia juga akan berubah dan berkembang. Mereka kemudian melahirkan kaedah hukum “La Yunkaru Taghayyur al-Ahkam bi Taghayyur al-Azminah wa al-Amkinah wa al-Ahwal” (perubahan hukum terjadi karena perubahan zaman, lokalitas dan situasi sosial). Subhi Mahmashani, Falsafah al-Tasyri’ fi al-Islam, Dar al-‘Ilm li al-Malayiin, Beirut, cet. V, hlm.220-223
[17] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta, Pustaka Setia, 1999, hal. 98
[18] Perbedaan terhadap fungsi akal dalam menemukan Hukum Allah telah lama dikaji dan menjadi diskursus panjang dalam khazanah keilmuan Islam. Pendapat Mu’tazilah dan sebagian Ja’fariyah yang memaksimalkan potensi akal dalam menemukan hukum, atau pendapat Imam Abu Hasan al-Asyari yang menyatakan bahwa akal tidak dapat menemukan kebenarannya sendiri sehingga perlu adanya utusan dan pendapat yang lebih moderat dari Imam Abu al-Manshur Muhammad bin Muhammad al-Maturidi yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak diatur oleh syara’ jika dianggap jelek maka layak untuk dilarang oleh syara dan jika dianggap baik maka layak diatur oleh syara. Lihat lebih lengkap di Jamal Ma’mur Asmani, Ushul Fiqh, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,2019, hal. 28-31.
[19] Rahmat Syafei, Op.Cit, 1999, hal. 110
[20] QS. An-Nisa: 59
[21] Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[22] Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 57 Kompilasi hukum Islam.
[23] Pasal 3 sampai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 40 sampai dengan Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 55 sampai dengan Pasal 59 Kompilasi Hukum Islam.
[24] Hal ini sesuai dengan kaidah al Hukmu Yaduru ma’a illatihi wa sababihi wujudan aw adaman. Lihat M. Mustafa Syalaby, Ta’lil al-Ahkam, Bairut, Dar al-Nahdhah alArabiyah, 1981, hal. 13.
[25] Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam.
[26] Pasal 12 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim
[27] Pasal 12 ayat (3) Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim
[28] Pasal 12 ayat (2) Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim
[29] Kitab Fiqh yang dimaksud seperti Al Mughni karya Ibnu Qudamah, Al Jami’ li Ahkam al Quran Karya Al Qurthubi dan Fiqh al Sunnah Karya Sayyid Sabiq.