logo web

Dipublikasikan oleh PA Rangkas Bitung pada on . Dilihat: 13328

MAKALAH PEMBANDING

Eksekusi anak dan problematikanya di Indonesia

 

 

Description: Description: Description: Description: Fungsi Pengadilan

 

 

 

 

Oleh:

GUSHAIRI, S.H.I.,MCL

(Hakim Pengadilan Agama Rangkasbitung Kelas I.B)

 

 

 

Disampaikan Pada Acara Diskusi Hakim

Dalam Rangka Pembinaan Hakim

Se-Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Banten

 

 

4 November 2022

 


KATA PENGANTAR

 

Assalamu’alaikum wr.wb

Alhamdulillah, puji syukur kehadiran Allah Swt, yang telah memberikan taufik, hidayah serta inayah-Nya, mengantarkan penulis bisa menyelesaikan tulisan sederhana ini dengan waktu yang telah ditentukan. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad Saw.

Dalam penulisan makalah ini, penulis perlu menyampaikan terima kasih kepada:

1.      Yang Mulia Ketua PTA Banten dan Wakil Ketua PTA Banten yang telah memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada kami Pengadilan Agama Rangkasbitung untuk menulis salah satu makalah pembanding dengan topik “Eksekusi Anak dan Problematikanya” untuk disampaikan pada acara Diskusi Hukum Dalam Rangka Pembinaan Hakim Se-Wilayah PTA Banten Tahun 2022 pada tanggal 4 November 2022.

2.      Yang Mulia Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama Rangkasbitung yang telah memberikan dukungan penuh kepada penulis dalam menyelesaikan pembuatan makalah ini.

3.      Para rekan Yang Mulia Hakim Pengadilan Agama Rangkasbitung yang telah memberikan support dan masukan terhadap tulisan ini.

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dalam memberikan solusi untuk penyelesaian problematikan eksekusi anak di Pengadilan Agama dan mohon masukan dari pembaca seluruhnya.

 

    Rangkasbitung, 28 November 2022

 

Gushairi, S.H.I.,MCL

      Hakim PA Rangkasbitung

 

 

 


Eksekusi anak dan problematikanya di Indonesia

Oleh: GUSHAIRI, S.H.I.,MCL[1]

 

Latar Belakang Masalah

Dalam hal terjadinya perceraian, bagi sebagian pasangan dengan berakhirnya kehidupan rumah tangga mereka dengan bercerai telah berhasil menyelesaikan masalah mereka masing-masing, akan tetapi banyak juga sebuah pasangan pasca perceraian menghadapi masalah baru yakni masalah pemeliharaan anak (hadhanah) yang lahir dari hasil pernikahan tersebut.

Bagi orang tua tentunya menginginkan anak-anaknya tetap berada di dekat dan berada dalam asuhannya, tetapi mau tidak mau antara kedua orang tua yang telah bercerai harus merelakan anak-anaknya berada dalam penguasaan salah satu dari mereka, atau dengan jalan pembagian hak asuhnya berdasarkan putusan Hakim yang memutuskan perceraian mereka.

Menurut Faridaziah Syahrain dalam sebuah tulisannya di Jurnal Lex et Societatis, tahun 2017, Pemeliharaan anak (hadhanah) pasca perceraian ini, perlu menjadi perhatian yang serius karena harus dilihat dari kepentingan yang terbaik bagi anaknya, karena ketentuan normative hak asuh anak sudah tidak berjalan selaras lagi dengan perkembangan masyarakat Indonesia dewasa ini sehingga harus dilakukan pembaharuan hukum atas ketentuan hukum hak asuh anak tersebut.[2]

Hal ini bisa dilihat dalam beberapa kasus perebutan hak asuh anak di Indonesia, seperti perebutan hak asuh anak yang terjadi di PA Jakarta Barat,[3] di Pengadilan Agama Ngawi yang hak asuh diberikan kepada ibunya, akan tetapi anak tersebut tetap ingin tinggal bersama ayahnya,[4] dan beberapa kasus pelaksanaan eksekusi hak asuh anak lainnya.

Selain itu, eksekusi putusan hak asuh anak tidak diatur secara tegas dalam HIR-R.Bg maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku khusus bagi Peradilan Agama, dengan belum adanya hukum yang mengatur secara jelas mengenai eksekusi putusan hadhanah tidak berarti bahwa putusan hak asuh anak tersebut tidak bisa dijalankan melainkan harus dapat dilaksanakan berdasarkan aturan hukum yang berlaku secara umum. Namun demikian, masih dapat ditemukan kendala-kendala atau hambatan yang membuat eksekusi terhadap putusan hak asuh anak tersebut tidak bisa dieksekusi dengan baik, seperti proses eksekusi hak asuh anak di Pengadilan Agama Ngawi pada 15 April 2021 yang lalu.

 Dengan melihat latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk membahas bagaimana proses eksekusi hak asuh anak dan apa saja yang menjadi hambatan dalam proses pelaksanaan eksekusi tersebut.

Pembahasan

Eksekusi hak asuh anak di Indonesia

            Proses pelaksanaan eksekusi hak asuh anak masih menjadi perdebatan dikalangan ahli hukum, ada yang mengatakan bahwa anak tidak dapat di eksekusi dengan alasan bahwa selama ini dalam praktik peradilan yang ada tentang eksekusi semunya hanya dalam bidang hukum benda, bukan terhadap orang. Sedangkan sebagian lagi mengatakan bahwa putusan mengenai hak asuh anak dapat di eksekusikan, dengan alasan bahwa penguasaan anak yang putusannya bersifat menghukum (condemnatoir), jika sudah berkekuatan hukum tetap, maka putusan tersebut dapat di eksekusi.

Dalam pembahasan ilmu hukum. suatu putusan Hakim dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu;

1.      Secara sukarela, adalah putusan yang mana oleh para pihak yang kalah dengan sukarela menaati putusan tanpa pihak yang menang harus meminta bantuan pengadilan atau mengeksekusi putusan tersebut.

2.      Secara paksa, adalah putusan yang mana pihak yang menang dengan meminta bantuan alat Negara atau pengadilan untuk melaksanakan putusan, apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan scara sukarela.

Perkara yang putusannya berkaitan dengan hak asuh anak di Pengadilan Agama Rangkasbitung pada tahun 2022 berjumlah 40 perkara,[5] seperti tabel dibawah ini;

NO

Pemegang hak asuh anak

eksekusi

Isteri

Suami

1

35 putusan

5 putusan

Tidak ada

 

Berdasarkan tabel tersebut, dapat terlihat bahwa ada 35 putusan yang hak asuh anak jatuh kepada ibunya, dan hak asuh kepada ayahnya ada 5 putusan, dan tidak ada upaya permohonan eksekusi terhadap putusan hak asuh anak tersebut di Pengadilan Agama Rangkasbitung. Hal ini jika dilihat lebih mendalam bahwa penentuan hak asuh anak banyak diselesaikan dalam tahap proses mediasi, maupun dalam pemeriksaan perkara hingga putusan ditetapkan.

Ada beberapa hal yang ditetapkan dalam penentuan hak asuh anak yang terjadi di Pengadilan Agama Rangkasbitung;

1.      Pemegang hak asuh anak diberikan kepada ibu karena anak tersebut tinggal bersama ibunya.

2.      Pemegang hak asuh anak diberikan kepada ayahnya karena anak tersebut tinggal bersama ayahnya.

3.      Pemegang hak asuh anak yang lebih dari 1 orang anak diberikan kepada  masing-masing kepada ayah dan ibunya disebabkan anak-anak tersebut sudah tinggal dan sekolah di lingkungan ayah maupun ibunya.

Namun demikian, di beberapa pengadilan agama lainnya tentu tidak tertutup kemungkinan terjadinya perebutan hak asuh anak yang membuat pelaksanaan eksekusi hak asuh anak tidak berjalan dengan baik, karena hal ini berbeda dengan eksekusi perdata lainnya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya eksekusi putusan hak asuh anak;

Pertama, sebagian besar masyarakat Indonesia apabila merasa dikalahkan dalam persidangan, mereka mengganggap putusan yang diberikan majelis hakim tidak adil atau hukum tidak adil, maksudnya adalah kesadaran atau ketaatannya kepada hukum masih rendah. Kedua, adanya perlawanan dari anak atau anak-anak tersebut yang masih ingin tinggal dengan termohon eksekusi atau keluarganya yang disebabkan kedekatan psikologi anak tersebut. Ketiga, keberadaan anak sudah tidak diketahui lagi karena karena si anak sudah pindah alamat atau pindah wilayah dan sulit untuk mencarinya. dan, keempat, belum adanya aturan formal secara khusus masalah eksekusi anak sampai saat ini dapat dikatakan tengah terjadi kekosongan aturan.

Dengan melihat permasalahan pelaksanaan eksekusi hak asuh anak tersebut, diperlukan pembangunan kembali atau rekonstruksi hukum. Selanjutnya Friedman mengemukakan tiga elemen sistem hukum yang menentukan berfungsinya dan memfungsikan suatu hukum. Adapun tiga elemen yang dimaksud: Legal substance (substansi hukum), Legal structure (struktur hukum) dan Legal culture (budaya hukum).;[6]

1.      Legal substance (substansi Hukum),

Maksudnya adalah sistem substansial dimana hal tersebut yang menentukan berjalan atau tidaknya suatu hukum, subsatansi dibuat oleh orang-orang yang ada dalam sistem hukum untuk mendukung satu sama lain dalam menjalankan sistem hukum, di dalamnya meliputi aturan hukum, norma, asas-asas, baik itu tertulis maupun non tertulis, termasuk putusan pengadilan. Dalam hal ini adalah adanya perubahan dalam beberapa hal;

-       Aturan terkait prosedur eksekusi hak asuh anak

Secara prosedur, proses pengajuan permohonan eksekusi hadhanah sampai pada tahap perintah pelaksanaan eksekusi tidak banyak hambatan karena sudah dilaksanakan sesuai aturan yang berlaku. Namun, secara fakta, ketika proses pelaksanaan eksekusi di lapangan terdapat beberapa kesulitan seperti pihak termohon eskekusi enggan menyerahkan anak kepada pemohon eksekusi, pihak termohon eksekusi menghalang-halangi dengan memberikan ancaman untuk melakukan tindakan kekerasan apabila anak tersebut diambil secara paksa, anak disembunyikan oleh pihak termohon eksekusi dan anak sendiri tidak mau kembali kepada pemohon eksekusi.

Dengan demikian, dalam proses eksekusi harus didasarkan pada rasa kemanusiaan dan mendasarkan kepentingan terbagi bagi anak penggunaan bantuan pihak keamanan, psikolog, merupakan cara terakhir yang dapat dilakukan apabila jalan damai dan pendekatan melalui mediasi gagal dilakukan.

Dengan demikian demi kepastian hukum, pelaksanaan eksekusi terhadap putusan hak asuh anak harus melalui prosedur hukum yang berlaku, adapun prosedur eksekusinya secara kronologis dapat dirinci sebagai berikut;

1.      Putusan hadhanah tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

2.      Pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan hadhanah secara sukarela.

3.      Pihak yang menang mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Agama yang memutus perkara hadhanah.

4.      Ketua Pengadilan Agama menetapkan sidang aanmaning

5.      Telah melewati tenggang waktu atau teguran sesuai.

6.      Ketua Pengadilan Agama mengeluarkan surat perintah eksekusi

7.      Pelaksanaan eksekusi di tempat termohon eksekusi yang dihukum untuk menyerahkan anak

8.      Pelaksanaan eksekusi dibantu oleh dua orang saksi, didampingi oleh psikolog,

9.      Jurusita mengambil anak tersebut secara baik-baik, sopan dan dengan tetap berpegang kepada adat istiadat yang berlaku.

10.  Jurusita membuat berita acara eksekusi yang ditanda tangani oleh jurusita beserta dua orang saksi.

-       Perubahan pemegang hak asuh anak dalam KHI

Menurut KHI pasal 105 biasanya Pengadilan akan memberikan hak asuh pengurusan dan pemeliharaan kepada ibu jika anak masih dibawah umur (belum 12 tahun), setelah berusia 12 tahun diberikan kebebasan memilih untuk diasuh oleh ayah atau ibunya.

Tujuan peradilan adalah untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Lahirnya suatu putusan sangat dipengaruhi oleh proses pengajuan gugatan, pemeriksaan perkara sampai pada tahap pengambilan putusan hadhanah. Salah satu yang bisa diterapkan adalah konsep shared parenting/join custody perlu menjadi solusi dalam sengketa hak asuh anak.

Bahwa putusan-putusan Pengadilan Agama di Indonesia sekarang telah mengalami pembaruan yang cukup signifikan, seperti putusan hak asuh anak diserahkan kepada ibunya, ada juga putusan hak asuh anak diberikan kepada ayahnya dengan pertimbangan bahwa ibunya tersebut sibuk dengan bekerja, atau ada juga dua orang anak atau lebih dibagi antara ayah dan ibunya.

Dalam psikologi hukum, kebutuhan pemeliharaan anak dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pertama: legal custody, yakni kebutuhan pemeliharaan anak seutuhnya menurut hukum yang meliputi kebutuhan biaya penghidupan, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan hukum pada umumnya yang hal ini menjadi tanggung jawab bersama ayah dan ibunya, namun demikian pada umumnya kebutuhan ini lebih dominan diperoleh dari ayahnya dan kedua: fisical custody, yakni kebutuhan pemeliharaan anak secara fisik karena belum mampu merawat dirinya sendiri baik secara jasmani maupun rohani seperti kebutuhan menyusu pada ibu, mandi, memakai pakaian, merawat diri sendiri, memelihara kesehatan, pelayanan makan dan minum, belajar berkomunikasi, teman bermain dan belajar, kebutuhan tumbuh kembang anak dan lain sebagainya.

Secara umum bahwa pengasuhan anak diserahkan kepada salah satu pihak, maka saat ini juga perlu dikemukakan pengasuhan anak bersama (shared parenting, joint custody), dengan melatar belakangi bahwa pengasuhan anak itu berdasarkan kepentingan yang terbaik bagi anak. Hal ini juga didasarkan bahwa paradigma masyarakat siapa yang memegang hak asuh anak maka itu menjadi tanggung jawab penuh dia untuk mengurus anak tersebut, maka sering didengar bahwa seorang ayah atau ibunya tidak bisa berjumpa dengan anaknya karena dihalang-halangi oleh pemegang hak asuh atau keluarganya. Oleh sebab itu, Konsepsi pengasuhan bersama menawarkan paradigm baru dalam tata laksana pengasuhan anak.

Menurut Edwark Kurk dalam bukunya: Child custody, access and parental responsibility: The search for a just and equitable standard, The University of British Columbia, 2008, menyatakan setidaknya ada beberapa kriteria dalam pengasuhan anak secara bersama, yaitu:

-       Legal presumption of shared parental responsibility

Pengasuhan bersama merupakan konsep yang didasarkan pada keinginan agar hubungan orang tua-anak tetap berlanjut setelah terjadi perceraian. Pengasuhan bersama dapat memberikan kesempatan bagi anak agar dapat hidup dan berkembang bersama kedua orang tuanya secara berimbang dan untuk kebaikan maupun kemaslahatan anak.

-       Parenting plans, mediation, and support/intervention in high complicit cases

Pengasuhan bersama merupakan konsep yang komprehensif, mencakup upaya-upaya perencanaan pengasuhan anak sebelum, saat, dan setelah proses peradilan. Kedua orang tua diharapkan bersama-sama mengembangkan suatu model kerangka pengasuhan bersama sebelum proses persidangan dengan tujuan agar kedua orang tua telah mempunyai pilihan yang cukup mengenai model pengasuhan setelah terjadi perceraian.

-       Shared parenting education

Shared parenting education merupakan program pembinaan bagi orang tua dalam mengasuh anak. Dalam hal ini, orang tua pasca perceraian ditekankan agar menemukan peranannya dalam pengasuhan anak. Orang tua tidak fokus pada siapa yang lebih berhak mengasuh tetapi bagaimana penatalaksaanaan pengasuhan demi kemaslahatan si anak.

Di sisi lain, konsep hak asuh bersama ini untuk menepis kalangan masyarakat berasumsi bahwa pemegang hak asuh anak berhak sepenuhnya terhadap kehidupan anaknya, sehingga melahirkan kebiasaan pemegang hak asuh anak berhak mengatur secara ketat pertemuan anak dengan orang tua lain yang tidak memegang hak asuh anak. Hal ini tidak selaras dengan upaya memberikan keluasan bagi anak untuk mengekspresikan dirinya, bersosialisasi dengan kedua orang tuannya. Sebaliknya, anak seolah terkungkung oleh kekuasaan pemegang hak asuh terhadapnya, diwajibkan tunduk pada aturan-aturan tidak tertulis yang dibuat oleh pemegang hak asuhnya.

2.      Perubahan Struktur Hukum

Struktur hukum yaitu merupakan keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, seperti pengadilan dengan para hakimnya, termasuk mediator hakim, kejaksaan dengan para jaksanya  dan lain sebagainya. Lembaga penegak hukum dalam menjalankan wewenangnnya dijamin oleh Undang-Undang, sehingga dalam proses menjalankan tugas serta tanggung jawab bersih dari pengaruh kekuasaan baik pemerintah maupun yang lainnya, karena ada adagium, “fiat justitia et pereat mundus”, (meskipun dunia runtuh hukum harus ditegakkan).

Dalam hal ini, salah satu penentu untuk suksesnya eksekusi hak asuh anak adalah dilihat dari mediator maupun hakim yang menyidangkan perkara tersebut. Peran mediator juga sangat penting dalam memediasi para pihak yang mengajukan proses perceraian, terutama terkait masalah hak asuh anak, karena pada saat mediasilah para pihak bisa diberikan pencerahan terkait kepentingan terbaik bagi si anak, baik perkembangan psikologinya, psikis, mental maupun pendidikan dan kesehatannya.

3.      Perubahan Budaya Hukum

Budaya hukum yaitu perilaku atau sikap seseorang terhadap sebuah hukum, nilai, kepercayaan, pemikiran serta harapan. Budaya atau kultur hukum ini adalah kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu dijalankan, dihindari atau disalahgunakan. Budaya hukum adalah bagian yang sangat berkaitan dengan kesadaran hukum masyarakat. Karena semakin tinggi kesadaran masyarakat akan hukum, maka akan semakin mudah menciptakan budaya hukum yang baik serta dapat memperbaiki citra hukum yang selama ini dipandang tidak seimbang di hadapan masyarakat selama ini. Perbaikan terhadap budaya hukum ini, bisa ditujukan kepada beberapa hal, seperti, peningkatan kesadaran dan komunikasi sebuah arti pemegang hak asuh anak baik kepada seorang ayah, ibu, maupun dari keluarga masing-masing pihak, kesadaran hukum bagi advokat dalam mengurus perkara perceraian dan hak asuh anak juga menjadi faktor penentu dalam menetralkan pikiran masing-masing pihak, bahwa perebutan hak asuh akan memberikan dampak yang negative terhadap anak ke depannya.

 

 

 

 

 

 

 

Penutup

Kesimpulan

Eksekusi terhadap pemeliharaan anak merupakan jenis eksekusi yang jarang terjadi dimasyarakat, akan tetapi dalam pelaksanannya bisa menggemparkan masyarakat. Eksekusi ini juga termasuk dalam jenis eksekusi yang rumit dalam pelaksanaannya, karena disatu sisi tata cara pelaksanaannya tidak diatur secara spesifik dalam hukum positif Indonesia, selain itu faktor-faktor penghambat terlaksanannya eksekusi tersebut disebabkan karena kesadaran atau ketaatannya kepada hukum masih rendah. adanya perlawanan dari anak atau anak-anak tersebut yang masih ingin tinggal dengan termohon eksekusi atau keluarganya yang disebabkan kedekatan psikologi anak tersebut. keberadaan anak sudah tidak diketahui lagi karena karena si anak sudah pindah alamat atau pindah wilayah dan sulit untuk mencarinya.

Rekomendasi

            Dengan melihat permasalahan-permasalahan pelaksanaan eksekusi hak asuh anak tersebut, diperlukan rekonstruksi sistem hukum pelaksanaan penetapan eksekusi hak asuh anak tersebut, baik dalam Legal substance (substansi hukum), Legal structure (struktur hukum) dan Legal culture (budaya hukum). seperti;

-       Perubahan aturan eksekusi hak asuh anak

-       Judicial review ketentuan hak asuh anak dengan menerapkan konsep shared parenting atau hak asuh bersama

-       Peningkatan kompetensi mediator yang berkaitan dengan penentuan hak asuh anak.

-       Peningkatan kesadaran dan komunikasi pemegang hak asuh anak maupun dari keluarga masing-masing pihak,

-       Peningkatan kesadaran hukum bagi advokat dalam mengurus perkara perceraian dan hak asuh anak juga menjadi faktor penentu dalam menetralkan pikiran masing-masing pihak.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Buku

 

Ali, Abi al-Hasan bin Muhammad bin Habibal-Mawardi. 1994. al-Hawial- Kabir. Bairut: Daaral-Kitabal-Ilmiyah

 

Anshori, Abdul Ghofur. 2011. Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fiqih dan Hukum Positif, Yogyakarta: UII Press

 

az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqh Islam wa adillatuhu, alih bahasa oleh Abdul Hayyi al-Kattani, Cet. Ke-1, jilid 10. Depok: Gema Insani

 

Ghazali, Abdul Rahman. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana,

 

Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawwir, Cet. Ke-4. Surabaya: Pustaka Progresif

 

M. Zein, Satria Effendi. 2004. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah. Jakarta: Prenada Media

 

Nasution, Khoiruddin. 2008 Smart dan Sukses. Yogyakarta: Tazzafa dan Academia

 

Rofiq, Ahmad. 2013. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada

 

Sabiq, Sayyid. 1996. Fikih Sunnah, Jilid 8. Bandung:Al-Ma’arif

 

Summa, Muhammad Amin. 2005. Hukum Keluarga Islam di Dunia Muslim, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

 

Syarifuddin, Amir. 2001. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Group

 

Yanggo, Huzaemah Tahido. 2010. Fikih Perempuan Kontemporer. Jakarta: Ghalia Indonesia,

 

Zuhaili, Wahbah. 1997. Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Jilid X. Beirut: Dar al-Fikr

 

Jurnal

 

 

Burhanuddin, Pemenuhan Hak-Hak Dasar Anak Dalam Perspektif Islam, Adliya, Vol. 8 No.1, Edisi: Januari-Juni 2014

 

Esti Kurniati, Perlindungan Hak Anak Pasca Perceraian Orang tua, Authentica Vol. No. 1 2018

 

Faridaziah Syahrain, Penetapan Hak Asuh Anak di Bawah Umur Akibat Perceraian Perspektif Hukum Islam, Lex et Societatis, Vol. V/No.7/Sep/2017

 

HM. Budiyanto. Hak-hak Anak dalam Perspektif Islam, Jurnal IAIN Pontianak, Vol. 149

 

Juanda Wiranata, Perlindungan Hukum Anak Akibat Perceraian dari Perkawinan, Lex et Societatis, Vol.1/ No.3/ Juli/ 2013,

 

Khoiruddin Nasution, Perlindungan Terhadap Anak Dalam Hukum Keluarga Islam Indonesia, Al’Adalah Vol. XIII, No. 1 Juni 2016

 

Lalu Muhammad Ariadi, Hadhanah di Dunia Islam pada era kontemporer; Komparasi Kebijakan Hukum di Timur Tengah dan Asia Tenggara, Maqosid, Volume 8, No. 2 (Juli) 2016

 

Muchsin, Perlindungan Hukum terhadap anak pasca perceraian orang tuanya, Varia Peradilan: Majalah Hukum, Ikatan Hakin Indonesia, No. 301, Desember 2010

 

Muhammad Zaki. Perlindunan Anak Dalam Perspektif Islam. IAIN Raden Intan Lampung, ASAS, Vol. 6, No. 2, Juli 2014

 

Nurlaila Harun, Perlindungan Anak Perpektif Hukum Islam dan Perundangundangan, Jurnal Harkat: Media Komunikasi Gender, 14 (1), 2018.

 

Rufia Wahyunign Pratiwi, Perlindungan Hukum Terhadap Kelalaian Pemenuhan Pembayaran Nafkah Anak Pasca Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Blitar, Jurnal Negara dan Keadilan, Voluem 9 Nomor 1/ Februari 2020

 

Syafi‟ah Sukaimi, Peran Orang tua Dalam Pembentukan Kepribadian Anak: Tinjauan Psikologi Perkembangan Islam, jurnal Marwah Vol. XII No. 1 Juni Th. 2013

 

Tinuk Dwi Cahyani, Komariah, Upaya Hukum Permohonan Eksekusi Terhadap Putusan Nafkah Hadhanah, Legality, ISSN: 2549-4600. Vol. 25, Maret 2017-Agustus 2017

 

 



[1]Hakim Pengadilan Agama Rangkasbitung dan Mahasiswa S.3 UIN SUSKA RIAU Program Hukum Keluarga

[2] Faridaziah Syahrain, Penetapan Hak Asuh Anak di Bawah Umur Akibat Perceraian Perspektif Hukum Islam, Lex et Societatis, Vol. V/No.7/Sep/2017, h. 106

[5] Data diambil melalui sistem SIPP Pengadilan Agama Rangkasbitung pada tanggal 27 Oktober 2022

[6] Lihat Sabian Utsman, Restorative Justice Hukum Masyarakat Nelayan Saka dalam Hukum Nasional (Hukum Penguasaan, Pemilikan dan Konflik Saka), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, h. 26. Lihat Lawrwnce M. Friedman, The Legal System (A Social Socience Perspectiva), New York: Russel Sage Foundation, 1975, h. 3-4.

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice