logo web

Dipublikasikan oleh Benny Suryanto pada on . Dilihat: 9793

Hukum Kewarisan Adat Matrilineal : 

Eksistensi dan Pergeseran

 Benny Suryanto

 

Analis Perkara Peradilan Pengadilan Agama Batang

Abstrak

Hukum waris di Indonesia memunyai 3 sistem hukum yang masih eksis hingga kini, yakni sistem waris menurut hukum islam, hukum perdata (Burgerlijk Weetbook) dan sistem hukum adat. Salah satu hukum kewarisan sistem adat adalah melalui jalur matrilineal, dimana pembahasan kali ini fokus pada eksistensinya dan pergeseran yang terjadi. Hukum kewarisan adat matrilineal adalah sistem warisan yang berlandaskan pada garis keturunan ibu, di mana harta dan hak waris ditransfer dari ibu kepada anak perempuan. Namun, dalam konteks perkembangan sosial dan budaya modern, hukum kewarisan adat matrilineal mengalami berbagai perubahan dan tantangan. Selain itu artikel ini juga mengulas sejarah hukum kewarisan adat matrilineal dan faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensinya termasuk juga mengidentifikasi pergeseran-pergeseran signifikan yang terjadi dalam praktik kewarisan matrilineal, termasuk pengaruh agama, globalisasi, dan modernisasi dalam masyarakat yang mungkin mengancam keberlanjutan sistem ini. Melalui studi kasus dari berbagai budaya yang menerapkan hukum kewarisan matrilineal, artikel ini menganalisis dampak perubahan tersebut terhadap struktur sosial, peran gender, dan identitas budaya. Selain itu, artikel ini juga membahas upaya-upaya untuk melestarikan dan mengadaptasi hukum kewarisan adat matrilineal di era kontemporer. Artikel ini juga menyoroti kompleksitas dan dinamika sistem kewarisan adat matrilineal serta pentingnya memahami perubahan yang terjadi dalam konteks sosial dan budaya yang berubah..

Kata Kunci: Kewarisan, Matrilineal, Eksistensi, Pergeseran

 

  1. Pendahuluan

Di negara Indonesia hukum waris masih melekat dalam sifat pluralistis yaitu dimana masih diterapkannya tiga sumber sistem hukum waris yaitu hukum waris barat yang dicantumkan dalam burgerlijk wetboek (BW), lalu hukum waris islam dan juga hukum waris adat. Dalam ketentuan sistem  hukum  mana  yang  digunakan  hal  itu  bergantung  pada  pengaruh  agama,  kelompok masyarakat  dan  pilihan  sistem  hukum  mana  yang  akan  diterapkan  dalam  pembagian  waris. Banyaknya keragaman budaya suku dan Bahasa di Indonesia ini membuat banyaknya pula sistem hukum atau kebiasaan adat yang dianut oleh masyarakat di Indonesia terutama mengenai sistem hukum pewarisan.              

Salah  satu  sistem  hukum  waris  yang  dianut  oleh  sebagian  masyarakat  Indonesia  merupakan sistem hukum adat. Hukum adat menurut Soepomo merupakan hukum yang tidak tertulis  di  dalam  peraturan  peraturan  legislatif  yang  ada  meliputi  peraturan-peraturan  yang berkembang dan hidup di dalam masyarakat meskipun hukum tersebut tidak disahkan oleh yang berwenang akan tetapi keberadaannya dipatuhi dan diakui oleh masyarakat atas keyakinan bahwa peraturan peraturan tersebut memiliki kekuatan hukum. Hukum waris adat di Indonesia diakui sebagai  sebuah  aturan  hidup  guna  bertujuan  mencapai  kedamaian  dan  ketentraman  dalam masyarakat. 

Sistem hukum waris adat di indonesia memiliki warna sendiri karena pada kenyataanya hukum waris adat masih erat dengan tiga sistem kekeluargaan atau kekerabatan. Sistem hukum waris adat yang hidup dan berkembang di masyarakat yaitu sistem patrilineal dimana sistem ini menarik sistem keturunan dari garis keturunan leluhur laki-laki atau dari garis ayah atau disebut patriarchaat. Kedua yaitu sistem matrilineal yaitu sistem dimana sistem yang ditarik dari garis ibu atau keturunan perempuan atau disebut dengan matriarchaat. Ketiga yaitu sistem parental atau birateral yaitu sistem yang menarik dari dua sisi keturunan garis keturunan ayah dan Ibu atau disebut dengan ouderlijk.     

Minangkabau  merupakan  daerah  yang  menganut  hukum  waris  adat  dengan  sistem matrilineal seperti yang disebutkan pada uraian diatas sistem hukum waris adat yang diterapkan oleh  daerah  Minangkabau  merupakan  sistem  dimana  kedudukan  dari  anak  perempuan  lebih memiliki pengaruh atau menonjol daripada kedudukan anak laki-laki. Sistem matrilineal dalam perkawinan pihak suami akan mengikutu si istri namun tetap menjadi bagian dari kerabat asal dan tidak tertarik masuk kedalam kerabat si istri. Berbeda dengan kedudukan anak-anak dari hasil perkawinan  tersebut  anak-anak  mengikuti  kerabat  anggota  pihak  ibu.  Sistem  matrilineal  ini memiliki tujuan untuk keselamatan hidup dari kaum perempuan. Tujuan tersebut memiliki latar belakang tersendiri karena diyakini perempuan memiliki tulang lemah meskipun esok sang ibu tidak lagi memiliki suami si ibu masih mampu untuk menghidupi keluarga dirinya beserta anak-anaknya karena ia memiliki harta pusaka yang menjadi kepemilikannya. Sistem matrilineal ini bukan  dimaksudkan  untuk  meperkuat  dari  keberadaan  para  perempuan  melainkan  untuk melindungi dan menjaga harta pusaka suatu kaum dari kepunahan, tanah pusaka, baik rumah gadang maupun sawah ladang.

Dengan sistem matrilineal ini anak-anak hanya dapat mendapatkan warisan dari sang ibu. Warisan yang diperoleh adalah harta pusaka tinggi, dan harta yang didapat dari turun-temurun dari generasi-genenerasi  sebelumnya.  Ahli  waris  juga  mendapatkan  harta  pusaka  rendah  yang merupakan harta  yang  didapat turun dari satu generasi sebelumnya. Harta pencaharian  yang diperoleh taruko atau pembelian, akan jatuh kepada keturunannya yang tergolong sebagai harta pusaka rendah jika si pemilik harta telah wafat. Bila yang meninggal dunia merupakan laki-laki maka anak serta istrinya tidak menjadi ahli waris untuk harta pusaka tinggi yang menjadi ahli warisnya adalah seluruh kemanakannya.                                        

Sistem pewarisan matrilineal yang dianut oleh adat Minangkabau ini sudah ditetapkan dalam musyawarah besar Urang Nan Ampek Jinih seluruh Provinsi Sumatera Barat tertanggal 2 sampai 4 Mei 1953 Bukittinggi ditunjang pula dengan seminar hukum adat Minangkabau pada tanggal 21 sampai 25 juli 1968 di padang yang menetapkan (1) harta pusaka (Pusako Tinggi) di Minangkabau merupakan harta badan hukum, diatur dan diwakili oleh mamak kepala waris, mamak kepala waris maupun kemanakannya bukanlah pemilik dari harta badan hukum tersebu; (2) harta pencaharian (pasako rendah) diwariskan menggunakan hukum faraidh yang disebut sebagai  harta  pencaharian  merupakan  seperdua  dari    harta  yang  didapat  selama  perkawinan berlangsung  ditambah  oleh  harta  bawaan  sendiri;  (3)  seorang  dibenarkan  berwasiat,  kepada kemenakannya  atau  kepada  yang  lain  sebanyak-banyaknya  sampai  dengan  sepertiga  harta pencaharian itu.

Sistem matrilineal yang dianut oleh warga Minangkabau ini cukup menyita perhatian masyarakat  pasalnya  sistem  matrilineal  yang  dianutnya  ini  hidup  ditengah  dengan  sistem patrilineal  yang  dianut  oleh  kebanyakan  masyarakat.  Keberadaan  perempuan  dalam  sistem matrilineal daerah Minangkabau ini dinilai sangat penting karena keberadaan kaum, suku, dan paruik ini depengaruhi oleh perempaun Minangkabau. Derajat kaum perempuan yang menjamin adanya keberadaan kaum atau suku hal tersebut menyebabkan perempuan di daerah Minangkabau dijuluki sebagai “Limpapeh rumah nan gadang” keberlangsungan kehidupan perempuan tersebut juga memengaruhi harta benda kaum yang disebut sebagai “amban paruak aluang bunian” bagi rumah gadang.     

  1. Pembahasan

    1. Ahli waris menurut sistem matrilineal adat Minangkabau

Sistem matrilineal pada adat Minangkabau mempunyai beberapa ciri-ciri yaitu keturunan yang dihitung dari garis ibu, suku terbentuk menurut dari garis ibu, warga Minangkabau diharuskan untuk menikah dengan warga luar sukunya atau disebut exogami, kekuasaan dalam suku berada ditangan ibu, matrilokal dimana suami berkunjung ke si pihak istri, pusaka dan hak- hak diwariskan oleh mamak untuk kemenakannya dari saudara laki-laki pihak ibu kepada anak saudara perempuan.7 Didalam ciri-ciri dan uraian diatas sebelumnya terlihat bahwa sistem matrilineal yaitu ahli warisnya terdapat pada garis keturunan sang ibu.

Ahli waris dari harta peninggalan Minangkabau akan mendapat dua macam harta yaitu harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi akan menjadi milik anggota keluarga dari garis si ibu setelah meninggal jika si ibu wafat maka ahli waris yang pertama ialah anaknya lalu yang kedua cucunya dan yang ketiga ahli waris yang dekat. Pelaksana dalam penentuan herta waris diatur atau diwakili oleh ninik mamak ia yang mengatur keberlangsungan dan kelanjutan dari harta waris tersebut namun ia tidak berhak dan tidak berkuasa atas harta waris tersebut.

Hukum waris adat daerah Minangkabau menentukan bahwa harta warisan yang akan didapat oleh ahli waris ada dua macam salah satunya yaitu harta pusaka tinggi yang pembagiannya diturunkan secara turun-temurun dari garis keturunan sang ibu yang menurut hukum adat Minangkabau yaitu terdiri dari:

  • Anak-anak perempuan Ibu

  • Cucu-cucunya perempuan

  • Anak perempuan dari cucu perempuan

  • Dan seterusnya ditarik berdasarka garis keturunan sang ibu

Namun ketika sudah tidak ada lagi warih nan dakek (ahli waris yang dekat) maka akan dicari warih nan jauh atau ahli waris yang jauh. Warih nan jauh merupakan anggota keluarga jauh yang sedarah dengan ibu namun tidak langsung pada keturunan ibu yang meninggal atau ahli warisnya tersebut. Warih nan jauh atau ahli waris yang jauh yaitu ibu dan ahli waris jika masih hidup atau jika sudah tidak ada maka akan dgantikan dengan saudara laki-laki maupun perempuan dari si ibu ahli waris. Jika tidak ada akan digantikan lagi oleh anggota keluarga yang masih ada dalam garis lingkungan garis keturunan sang ibu.

Terdapat   pula   harta   pusaka   rendahyang cara pembagiannya diatur dengan menggunakan hukum waris islam, maka ahli waris dari pusaka rendah yaitu sebagai berikut:

  1. Ahli waris dari golongan laki-laki

  2. Anak-anak laki-laki

  3. Cucu laki-laki dari anak lai-laki dan seterusnya

  4. Kakek (pihak ayah) dan seterusnya ke ayah dari pihak sang laki-laki saja

  5. Saudara laki-laki kandung

  6. Saudara laki-laki sebapak

  7. Saudara laki-laki seibu

  8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah sekandung

  9. Paman saudara kandung bapak

  10. Paman saudara sebapaknya bapak

  11. Anak laki-laki dari paman saudara kandung bapak

  12. Anak laki-laki dari paman saudara sebapknya bapak

  13. Suami

  14. Ahli waris golongan perempuan

  15. Anak perempuan

  16. Cucu perempuan dari sang anak laki laki

  17. Ibu

  18. Nenek (ibunya ibu)

  19. Nenek (ibunya bapak)

  20. Saudara perempuan sekandung

  21. Ahli waris menurut hukum waris

 

  1. Pembagian warisan dalam sistem matrilineal adat Minangkabau

Terdapat dua jenis warisan yang ada di adat Minangkabau yaitu disebut dengan suko dan pasuko. Suko merupakan sebuah warisan gelar kebesaran adat yang terdiri dari dubalang, manti, malin, penghulu dan lain sebagainya. Gelar ini merupakan gelar yang diberikan turun- temurun menurut garis keturunan ibu dari suatu kaum. Sako ini memiliki fungsi sebagai gelar yang diberikan kepada kepala kaum, sako ini merupakan unsur adanya sebuah kaum. Sako adalah identitas sebuah kaum maka dari itu penghulu memiliki kewajiban untuk menjaga dan melestarikan sako kepada masyarakat. Terdapat pula gelar kebesaran yaitu sangsako, sangsako ini gelar yang diberikan kepada sesorang yang diperoleh melalui kesepakatan bersama dengan cara mufakat, sifat dari sangsako ini tidak turun-temurun. Sangsako merupakan gelar yang tidak tetapk atau bisa berpindah-pindah dari satu lingkungan kelingkungan lain. Sangsako bukan termasuk kedalam harta pusaka tinggi karena sangsako bukan merupakan gelar yang didapat dari nenek moyang.

Pasuko atau disebut juga dengan pusaka, merupakan satu jenis warisan diantara lainnya, pasuko ini memiliki sifat material yang dimiliki orang yang telah meninggal dunia dan dapat beralih kepemilikan ke orang lain karena akibat peristiwa hukum yaitu kematian.Perbedaan dari sako dan pusako adalah jenisnya sako sendiri merupakan jenis warisan immaterial sedangkan pusako merupakan warisan yang berbentuk material penyebutan dibedakan karena untuk pembeda hibah yang bukan disebabkan oleh kematian tapi disebabkan pada tindakkan hukum yang ia lakukan saat masih hidup di dunia.

Minangkabau awalnya hanya memiliki satu jenis harta yaitu pusaka harta ini diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan merupakn milik bersama seluruh anggota keluarga. Wajibnya laki-laki yang sudah dewasa memiliki tanggug jawab untuk mengembangkan harta pusaka. Lambat laun berjalannya waktu muncul istilah baru mengenai harta pusaka ini yaitu harta pusaka rendah. Harta pusaka rendah ini muncul karena berkembannya kebutuhan anggota keluarga sehingga diperlukan harta pencaharian yang juga disebut sebagai harta pusaka rendah. Dengan begitu dikenalah sebuah istilah harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah.

Harta pusaka tinggi merupakan segala harta pusaka yang diwarisi secara turun-temurun harta pusaka tinggi adalah harta yang pengelolaannya diwariskan kepada wanita atau bundo kandung harta pusaka tinggi merupakan harta yang diperoleh oleh nenek moyang diturunkan kepada anak dan cucunya ditarik dalam garis ketrunan ibu. Harta ini menjadi milik bersama seluruh anggota keluarga tidak dapat dimiliki secara pribadi. Harta pusaka yang termasuk kedalam harta pusaka tinggi adalah rumah gadang ladang, sawah, kolam ikan, sawah, dan peralatan atau perlengkapan penghulu itu sendiri harta pusaka tinggi ini merupakan bentuk jaminan untuk kehidupan anak kemenakan di Minangkabau.

Daerah Minangkabau sendiri merupakan daerah yang sebagian besar warganya merupakan agraris sehingga di Minangkabau ini kedudukan sawah, lading sangat penting untuk memenuhi kebutuhan hidup di daerah Minangkabau. Harta pusaka tinggi di Minangkabau tidak diperbolehkan untuk diperjualbelikan kecuali ditemukan kondisi yang sangat mendesak seperti untuk penyelenggaraan pembiayaan mayat, untuk memperbaiki rumah adat yang rusak, dana untuk perjodohan wanita yang telah dewasa dan untuk memperbaiki rumah adat yang rusak serta mengangkat penghulu yang sudah lama terpendam.

Berikutnya penjelesan mengenai harta pusaka rendah, harta pusaka rendah merupakan hasil dari pencaharian dari bapak maupun ibu selama dalam ikatan perkawianan yang sah. Harta pusaka rendah ini dapat berubah menjadi harta pusaka tinggi. Setelah bapak wafat maka harta waris dibagi menjadi dua antara pihak bapak yang akan mencari nafkah untuk si pihak istri dan juga anak yang telah ditinggalkan,karena yang akan mencari nafkah adalah pihak laki-laki. Harta pusaka rendah ini dapat berupa macam-macam misalnya dalam bentuk rumah, mobil, dan lain sebagainya.

Pembagian harta waris yang dilakukan oleh adat meningkabau dibedakan menjadi harta pusaka dan harta mata pencaharian. Menyangkut harta warisan mata pencaharian harus ditinjau terlebih dahulu apakah harta tersebut sebagaian atau seluruhnya telah dihibahkan kepada anak- anaknya atau kemenakannya. Ketika sudah dihibahkan tentunya bagian yang dihibahkan tersebut merupakan hak dari yang bersangkutan. Jika ditemukan sisa maka dibagikan terhadap anak- anaknya, pihak bako (persaudaraan dari keluarga ayah) meminta atau menuntut sebuah bagian harta waris maka akan diselesaikan di litigasi. Adat Minangkabau ini berbeda dengan adat lainnya yaitu dimana bagian dari pihak perempuan lebih banyak daripada pihak laki-laki. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh perempuan yang dianggap tidak mampu untuk mencari harta, bekerja, maupun mencari nafkah, sedangkan laki-laki dianggap mampu dituntut sebagai tulang punggung untuk bekerja dan mencari nafkah.

  1. Eksistensi dan Pergeseran Kewarisan Matrilineal di Minangkabau

Pada dasarnya masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang menganut agama Islam. Masyarakat Minangkabau dilingkupi oleh dua kekuatan secara simultan, yaitu adat dan agama. Kedua kekuatan ini mempunyai tata nilai yang disebut hukum yang menuntut dari masyarakat Minangkabau itu loyalitas yang tinggi, yaitu patuh kepada agama sebagai seorang muslim dan patuh kepada adat sebagai masyarakat Minangkabau. Hal inilah yang merupakan makna dari falsafah hidup masyarakat Minangkabau, yaitu Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Bahwa hukum adat yang ada harus tunduk kepada Syariat, yaitu hukum Islam yang bersumber kepada Alquran dan Sunnah sebagai Kitabullah.

Untuk itu setiap aturan yang ada dalam masyarakat Minangkabau harus sesuai dengan Syariat Islam, kemudian aturan tersebut diundangkan melalui hukum Adat. Setiap aturan adat tidak boleh menyimpang dari syariat Islam, termasuk juga dalam hukum waris. Selain waris harus mengikuti ketentuan adat, juga harus sejalan dengan hukum waris dalam syariat Islam yang dalam hal ini adalah Hukum Waris Islam (Faraidh)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pewarisan harta pusaka tinggi dalam adat Minangkabau tidak menggunakan konsep waris Islam, karena harta pusaka tinggi bukanlah harta warisan sebagaimana yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan untuk harta pusaka rendah, harus diwariskan sesuai dengan konsep faraaidh, yaitu bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan.

Akan tetapi pada sebagian masyarakat Minangkabau, mereka tidak mewariskan harta pusaka rendah yang dimiliki secara faraaidh, melainkan diwariskan secara kolektif untuk dimiliki secara bersama oleh seluruh anggota kaum, dan pewarisan seperti ini sudah berjalan lama dalam masyarakat Minangkabau dengan persetujuan ahli waris. Hal ini terlihat dari tidak adanya penolakan anak laki-laki terhadap tindakan orang tuanya yang mewariskan harta pusaka rendah kepada anak perempuan untuk dimiliki bersama secara kolektif oleh anggota kaum menurut garis matrilineal. Hal ini juga yang dijelaskan dalam “Lokakarya Penyamaan Persepsi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” pada tanggal 6 Februari 2022 di Padang, bahwa untuk pusaka rendah walaupun sudah diberlakukan faraaidh, tapi tidak tertutup kemungkinan pembagiannya menurut kesepakatan ahli waris atau orang yang berhak menerimanya

Dalam menjalankan sistem kewarisannya, adat Minangkabau telah sejalan dengan hukum Islam tanpa menghapuskan nilai-nilai adat itu sendiri, apalagi dalam persoalan pewarisan harta pusaka rendah atau harta pencaharian di Minangkabau yang memang sudah menerapkan sistem pewarisan hukum Islam (faraaidh). 

Sedangkan untuk harta pusaka tinggi memang tidak diberlakukan sistem waris dalam faraaidh, karena harta pusaka tinggi sendiri bukanlah termasuk Milk al-Raqabah yang bisa dijadikan harta warisan menurut hukum Islam, sehingga tidak bisa dilekatkan faraaidh kepadanya, kecuali seseorang menghibahkan harta pusaka tinggi milik kaumnya kepada anaknya atas persetujuan semua anggota kaum dengan niat sebagai mewariskannya dengan alasan bahwa keturunan kaum tersebut telah punah, maka hal ini bisa dianggap sebagai sebuah bentuk kewarisan berdasarkan pasal 211 Kompilasi Hukum Islam.

 

  1. Kesimpulan

Didalam hukum kewarisan adat, penulis mengambil studi kasus literatur di daerah Minangkabau, walaupun banyak pula kewarisan adat dari daerah lain yang menganut asas matrilineal dalam pembagian waris seperti daerah Enggano, Petalangan, Aneuk Jame dan Sakai. Hal ini dikarenakan cukup banyaknya literatur yang bisa penulis gali dan dapatkan dari Kewarisan adat Minangkabau.

Agama Islam masuk ke Minangkabau pada akhir abad ke-7. Sejak abad ke-7 itu mulai dan makin berkembang ke seluruh pelosok. Dalam tahap awal Islam dianut penduduk, kepercayaan lama, baik aninisme, dinanisme, Hindu-Buddha, termasuk kebiasaankebiasaan lama masih berpengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat. Itulah sebabnya pada awal abad ke-19 lahir Gerakan Pemurnian Islam yang dilakukan oleh kaum Paderi. Akhirnya dapat dikatakan bahwa seluruh orang Minangkabau menganut agama Islam. Umar Junus bahkan mengatakan bahwa kalau ada orang Minangkabau yang tidak menganut agama Islam, maka itu adalah suatu keganjilan yang amat mengherankan. Orang Islam boleh dikatakan tidak mengenal unsur-unsur kepercayaan lain, kecuali apa yang diajarkan Islam.

Sehingga bisa disimpulkan bahwa kewarisan matrilineal di Minangkabau masih tetap eksis hingga kini, namun telah mengalami pergeseran dalam tatacara pembagian kewarisan, hal ini dikarenakan islam telah masuk dalam kehidupan mereka sehingga ajaran agama pun tidak boleh ditinggalkan.

 

Daftar Pustaka

 

Sonny D, Judiasih , Pergeseran hukum waris pada masyarakat adat patrilineal, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, RechtIdee, Vol. 16, No. 1, Juni 2021

Ahmad Muliadi, Penerapan sistem Matrilineal Terhadap Pembagian Waris, Jurnal Nuansa Kenotariatan, Vol. 1 No.1, 2015.

Krisna Bhayangkara Yusuf, Pembagian Warisan Hukum Adat Menurut Sistem Matrilineal (Adat Minangkabau), Jurnal Hukum, Politik Dan Ilmu Sosial (JHPIS) Vol.2, No.1 Maret 2023

Cindy Aoslavia, Perbandingan Hukum Waris Adat Minangkabau Sumatera Barat dan Hukum Perdata Barat, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.10 No. 1, 2021

Alif Husni, Pembagian harta pusaka rendah tidak bergerak dalam masyarakat minangkabau kunagarian kurai, The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol.1 No.2, 2016

 

Adeb Davega Prasna, Pewarisan Harta Di Minangkabau Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam, KORDINAT Vol. XVII No.1 April 2018

 

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice