“Al-Imsāku”, Makna Terdalam Puasa
Oleh: Samsul Zakaria, S.Sy., M.H.*
“Allah tetap memancarkan cahaya matahari tanpa memperhitungkan pengkhianatan manusia terhadap-Nya. Allah “berpuasa”, menahan diri dari murka-Nya terhadap manusia…”
(Cak Nun)
Mungkin sulit dimengerti orang yang perutnya kosong tiada terisi, mulutnya haus nan dahaga, justru diminta untuk mengendalikan nafsunya. Sederhana sekali pertanyaannya; siapa yang lebih mudah menahan dirinya, yang kenyang atau yang lapar? Tentu orang yang kenyang perutnya. Disinilah menariknya puasa yang dijalankan oleh umat muslim setiap bulan Ramadhan. Umat muslim ditempa, dididik, digembleng untuk menjadi pribadi mulia dengan mengosongkan perutnya dari makanan dan minuman.
Orang yang terisi perutnya sudah paripurna urusan fisiknya. Sebaliknya, orang yang lapar menyisakan masalah fisik yang tidak sederhana. Sementara orang yang berpuasa, dengan masalah fisik yang “belum tuntas” dilatih untuk mengendalikan emosinya. Bagaimana umat muslim memahami logika ini? Kelompok tertentu mengatakan bahwa kalau Allah sudah bicara A ya sudah lakukan. Tidak perlu banyak tanya, komplain, dan diteliti apa maksudnya. Kelompok lain berpendapat tidak ada salahnya menyelami rahasia Allah untuk memantapkan iman.
Selengkapnya KLIK DISINI